Sifat Putusan Hakim Dalam Tuntutan Pembatalan Suatu Perjanjian

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Dalam proses pengadilan, setelah pemeriksaan perkara, saksi-saksi, dan bukti-bukti yang diajukan, hakim akan memutuskan perkara tersebut berdasarkan peraturan-peraturan yang ada dan keyakinan hakim dalam mendalami perkara tersebut. Dalam hal memutuskan tuntutan pembatalan suatu perjanjian, hakim akan menentukan  sikap apakah tuntutan itu dikabulkan atau tidak.

Keputusan hakim dalam hal pembatalan suatu perjanjian, hakim akan memutuskan yang sifatnya dua kemungkinan, yaitu :

1. Keputusan Declaratoir.
Maksud putusan declaratoir adalah hakim hanya menyatakan bahwa perjanjian itu batal. Hakim sifatnya hanya menyatakan batal, sesuai dengan permintaan pihak kreditur.

2. Keputusan Konstitutif.
Maksud putusan konstitutif adalah hakim dalam memutuskan, menilai terlebih dahulu apakah terjadi suatu wanprestasi. Jadi keputusan itu merupakan keputusan yang berdiri sendiri dan tidak terikat atau menurut pada permintaan pihak kreditur. Di dalam putusan konstitutif ini akan terlihat bahwa kekuasaan hakim besar sekali, sebab ia dapat menerima permintaan kreditur atau menolak, maupun memberi waktu kesempatan bagi debitur untuk melaksanakan perjanjian itu (terme de grace). Karena kekuasaan hakim yang besar dalam keputusan konstitutif, maka disebut bahwa hakim mempunyai kekuasaan "discretionair".


Dari penilaian hakim terhadap wanprestasi, maka akan terlihat bahwa putusan hakim berdiri sendiri (konstitutif), dan ada tiga kemungkinan, yaitu :
  1. Menolak permintaan pembatalan dari kreditur. Adapun pertimbangannya, karena oleh hakim dinilai wanprestasi itu kecil atau mungkin tidak terdapat adanya wanprestasi. Dalam hal ini hakim mempunyai pertimbangan karena debitur beritikad baik seperti dimaksud dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang berbunyi : suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
  2. Membatalkan perjanjian sesuai dengan permintaan kreditur. Dalam hal ini oleh hakim dinilai bahwa debitur melakukan wanprestasi atau sikap dan tindakannya beritikad tidak baik. Hal tersebut melanggar ketentuan pasal 1338 ayat (3) KUH Peradata tersebut di atas.
  3. Memberi kesempatan kepada debitur untuk melaksanakan perjanjian dalam batas waktu tidak boleh lebih dari 30 hari. Hal ini dinilai oleh hakim bahwa debitur beritikad baik sesuai dengan ketentuan pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, hanya ada faktor-faktor tertentu sehingga ia tidak bisa memenuhi perjanjian tersebut. Karena adanya itikad baik itulah oleh hakim diberi kesempatan untuk memenuhi perjanjian dalam waktu paling lama 30 hari untuk melaksanakan itikad baik tersebut.


Keputusan yang dikeluarkan oleh hakim adalah berkekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, oleh karenanya hakim harus benar-benar memutuskan suatu perkara dengan seadil-adilnya untuk kepentingan para pihak yang bersengketa.

Demikian penjelasan berkaitan dengan sifat putusan hakim dalam tuntutan pembatalan suatu perjanjian.

Semoga bermanfaat.