Pengertian Ijma’. Allah berfirman dalam Q.S. An Nisa’ : 59, yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
Kata ulil amri sebagaimana disebut dalam QS. An Nisa’ : 59 tersebut dapat berarti ulil amri dalam urusan dunia yaitu raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, maupun ulil amri dalam urusan agama yaitu para mujtahid. Sehingga dapat dipahami bahwa apabila para ulil amri tersebut telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Secara etimologi, istilah ijma’ berarti kesepakatan. Sedangkan secara terminologi, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh bahwa yang dimaksud dengan ijma’ adalah kesepakatan dari para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW atas hukum syara’ yang tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al Quran dan sunnah. Ijma’ digunakan oleh para ulama untuk menemukan jawaban dari suatu permasalahan dalam hukum syariat yang terjadi dalam masyarakat. Ijma’ diposisikan sebagai salah satu dari sumber hukum Islam selain Al Quran, sunnah, dan qiyas.
Ijma’ sebagaimana tersebut pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar As-Siddiq, ketika terjadi kepadanya dirinya perselisihan :
- pertama ia merujuk kepada kitab Allah (Al Quran), jika ia temukan hukumnya maka ia berhukum padanya.
- jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah SAW, maka ia pun berhukum dengan sunnah Rasul tersebut.
- jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasulullah SAW, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka, lalu ia berhukum memutus permasalahan.
Baca juga : Pengertian Qiyas
Syarat Mujtahid. Mujtahid adalah orang yang melakukan ijma’. Seorang mujtahid sekurang-kurangnya harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
- memahami isi Al Quran dan sunnah, terutama yang berkaitan dengan hukum.
- menguasai bahasa Arab dengan segala kelengkapan untuk menafsirkan Al Quran dan sunnah.
- menguasai ilmu ushul fiqh dan kaidah-kaidah fiqh yang luas.
- mengetahui ijma’ para ulama sebelumnya dan perkembangan hukum dalam Islam.
- memahami keadaan masyarakat, baik dari sisi adat istiadat, kebiasaan, sosial, hingga psikologi masyarakat.
Selain persyaratan tersebut, Al Syatibi menambahkan syarat lain yaitu memiliki pengetahuan dan memahami tentang maqasid al syariah (tujuan syariat). Lebih lanjut Al Syatibi menjelaskan bahwa seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal, yaitu :
- ia harus mampu memahami maqasid al syariah secara sempurna.
- ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al syariah.
Baca juga : Pengertian Al Quran
Obyek Ijma’. Berdasarkan pengertian ijma’ tersebut dapat disimpulkan bahwa obyek ijma’ meliputi :
- peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasar hukumnya atau tidak diatur dalam Al Quran dan sunnah.
- peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadah ghairu mahdhah, yaitu ibadah yang tidak langsung ditujukan kepada Allah, yang meliputi bidang muamalat, bidang kemasyarakatan, atau semua hal yang berkaitan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al Quran dan sunnah.
Baca juga : Pengertian Jihad
Rukun Ijma’. Yang dimaksud dengan rukun ijma’ adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’. Menurut Az Zuhaili, dalam "Ushul Fiqih Islami", menyebutkan bahwa ijma’ dianggap sah apabila memenuhi rukun-rukunnya. Rukun ijma’ adalah sebagai berikut :
- mujtahid berjumlah lebih dari satu orang.
- kesepakatan ulama atas suatu hukum itu dapat direalisasikan.
- adanya kesepakatan semua mujtahid atas suatu hukum syar'i tanpa memandang negeri, kebangsaan, atau kelompoknya.
- kesepakatan tersebut diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya secara jelas dan transparan.
- sandaran hukum ijma’ adalah Al Quran dan sunnah.
Baca juga : Pengertian Adab Dalam Islam
Bentuk Ijma’. Ijma’ dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk yang didasarkan pada :
1. Cara Menghasilkan Ijma’.
Berdasarkan cara menghasilkannya, ijma’ terdiri dari :
1.1. Ijma’ Sharih.
Ijma' sharih atau disebut juga dengan ijma’ qouli atau bayani merupakan bentuk ijma’ di mana para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Misalnya, menetapkan hukum halal dan tidak haram terhadap suatu perkara.
1.2. Ijma’ Sukuti.
Ijma’ sukuti atau disebut juga dengan ijma’ iqrari merupakan bentuk ijma’ di mana para mujtahid seluruh atau sebagian dari mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya.
Para ulama berbeda pendapat berkaitan dengan kedudukan ijma’ sukuti ini, sebagian ulama berpendapat bahwa ijma’ sukuti sebagai dalil qath’i, dan sebagian ulama yang lain berpendapat ijma’ sukuti sebagai dalil dzhanni ;
- ulama madzhab Malikiyah dan Syafi’iyyah, menyatakan bahwa ijma’ sukuti bukan sebagai ijma’ dan dalil.
- ulama madzhab Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa ijma’ sukuti dapat dinyatakan sebagai ijma’ dan dalil qath’i.
Perbedaan pendapat dari para ulama tersebut disebabkan karena anggapan bahwa keadaan diamnya sebagian mujtahid tersebut mengandung kemungkinan adanya persetujuan atau tidak, yaitu sebagai berikut :
- apabila kemungkinan adanya persetujuan, maka ijma’ sukuti sebagai dalil qath’i.
- apabila kemungkinan tidak setuju, maka ijma’ sukuti sebagai bukanlah sebuah dalil.
- apabila kemungkinan adanya persetujuan tetapi dia tidak menyatakan, maka ijma’ sukuti sebagai dalil dzhanni.
2. Keyakinan atau Dalalah Terhadap Ijma'.
Berdasarkan keyakinan atau dalalah , ijma’ terdiri dari :
- ljma' qath'i, merupakan bentuk ijma’ yang menghasilkan hukum sebagai dalil qath'i yang diyakini benar terjadinya.
- Ijma' dzhanni, merupakan bentuk ijma’ yang menghasilkan hukum sebagai dalil dzhanni, yaitu masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
3. Waktu Terjadinya Ijma'.
Berdasarkan waktu terjadinya, ijma’ terdiri dari :
- Ijma’ sahabat, merupakan bentuk ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
- Ijma’ khulafaur rasyidin, merupakan bentuk ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Katthab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
- Ijma’ shaikhan, merupakan bentuk ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Siddiq dan Umar bin Khatthab.
- Ijma’ ahli Madinah, merupakan bentuk ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Menurut madzhab Maliki, ijma’ ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam, sedangkan madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam.
- Ijma’ ulama Kufah, merupakan bentuk ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Menurut madzhab Hanafi, ijma’ ulama Kufah merupakan salah satu sumber hukum Islam.
Baca juga : Pengertian Ijtihad
Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian ijma’, obyek, rukun, dan bentuk ijma’.
Semoga bermanfaat.