Surat sebagai alat bukti di pengadilan diatur di dalam Herziene Indonesisch Reglement (H.I.R), yaitu di dalam ketentuan Pasal 137 H.I.R dan Pasal 138 H.I.R. Ketentuan Pasal 137 H.I.R menyebutkan bahwa :
- Kedua belah pihak boleh timbal balik menuntut melihat surat keterangan lawannya yang untuk maksud itu diserahkan kepada hakim.
Baca juga : Alat-Alat Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata
Sedangkan ketentuan Pasal 138 H.I.R mengatur tentang bagaimana cara bertindak, apabila salah satu pihak menyangkal keabsahan dari surat bukti yang diajukan oleh pihak lawan. Apabila terjadi demikian, maka pengadilan negeri wajib mengadakan pemeriksaan khusus mengenai hal tersebut. Ayat 2 sampai ayat 5 dari pasal 138 H.I.R, mengatur apa yang harus dilakukan oleh hakim dan oleh penyimpangan surat tersebut, apabila dalam penyelidikan ini diperlukan pula surat-surat resmi yang berada di tangan pegawai yang khusus ditunjuk oleh undang-undang untuk menyimpan surat-surat itu.
Jika ada sangkaan bahwa surat tersebut palsu atau dipalsukan oleh orang yang masih hidup, maka surat tersebut dikirimkan kepada jaksa untuk dilaksanakan penuntutan atas pemalsuan surat tersebut sebagaimana mestinya. Apabila terbukti adanya pemalsuan surat tersebut, maka pemeriksaan perkara perdata, untuk sementara ditangguhkan, sampai perkara pidananya diputus.
Baca juga : Pengertian Dan Sifat Hukum Acara Perdata
Dalam praktek, untuk membuktikan absah tidaknya surat yang dijadikan bukti tersebut akan melibatkan pihak kepolisian untuk memeriksa dengan membandingkan tulisan atau tanda tangan yang satu dengan yang lainnya dan untuk memberi pendapat apakah tanda tangan yang bersangkutan palsu atau tidak. Selain itu sering juga dilakukan pemeriksaan terhadap cap jempol yang mungkin juga dipalsukan.
Dalam proses perdata, bukti tulisan merupakan bukti yang penting dan utama. Khususnya dalam bidang perdagangan,seringkali sengaja disediakan suatu alat bukti yang dapat dipakai apabila di kemudian hari terjadi perselisihan. Bukti yang dimaksud biasanya berbentuk surat.
Dalam hukum acara perdata, bukti surat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
- Surat biasa. Surat biasa dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan bukti. Apabila di kemudian hari surat tersebut dijadikan bukti, hal tersebut merupakan suatu kebetulan saja. Misalnya, surat cinta.
- Akta otentik. Akta otentik diatur di dalam Pasal 165 H.I.R dan Pasal 1867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta (surat) dalam bentuk yang ditentukan undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang. Akta otentik memberikan bukti yang cukup kepada para pihak yang bersangkutan tentang segala hal yang ternyata dalam akta tersebut adalah sah dan mengikat. Contoh akta otentik adalah akta yang dibuat oleh notaris.
- Akta bawah tangan. Akta bawah tangan adalah suatu akta (surat) yang ditandatangani di bawah tangan dan dibuat tidak dengan perantara pejabat umum. Akta bawah tangan merupakan sehelai akta (surat) yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti. Walaupun pada prakteknya akta bawah tangan belum tentu dapat dipergunakan sebagai bukti di persidangan, akan tetapi dengan adanya akta bawah tangan tersebut telah membuktikan bahwa suatu peristiwa hukum telah terjadi. Contoh akta bawah tangan adalah kuitansi, faktur, atau surat-surat perjanjian/kesepakatan yang dibuat antara dua pihak atau lebih, dan lain sebagainya.
Baca juga : Arti Dan Prinsip Pembuktian Dalam Proses Perdata
Perbedaan dari surat biasa, akta otentik, dan akta bawah tangan adalah terletak dalam hal kelompok mana suatu tulisan tersebut termasuk, di mana hal tersebut tergantung dari cara pembuatannya.
1. Akta Otentik.
Dalam pasal 165 H.I.R ditentukan bahwa akta otentik merupakan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang apa yang tersebut di dalamnya perihal pokok soal, dan juga tentang apa yang disebutkan hanya sebagai pemberitahuan apabila hal yang disebut kemudian mempunyai hubungan langsung dengan pokok soal tersebut.
Akta otentik merupakan bukti yang cukup, artinya bahwa akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, tidak perlu penambahan pembuktian lagi. Kekuatan pembuktian sempurna berarti bahwa isi akta tersebut oleh hakim dianggap benar, kecuali apabila diajukan bukti lawan yang lebih kuat. Hal tersebut berarti hakim harus mempercayai apa yang tertulis dalam akta tersebut. Dengan perkataan lain yang termuat dalam akta itu harus dianggap benar, selama ketidak-benarannya tidak dapat dibuktikan.
Akta otentik tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan apa dituliskan dalam akta tersebut, tetapi juga bahwa apa yang diterangkan dalam akta otetik tersebut adalah benar. Akta otentik mempunyai kekuatan bukti formil dan materiil. Formil yaitu bahwa benar para pihak telah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. Materiil berarti bahwa apa yang diterangkan dalam akta tersebut adalah benar.
Kekuatan bukti sempurna dari akta otentik yang bersifat akta partai itu hanya berlaku antara kedua belah pihak atau ahli warisnya, serta orang yang mendapat hak dari mereka. Terhadap pihak ketiga, akta otentik berkekuatan hanya sebagai bukti bebas, artinya penilaiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.
Akta otentik mempunyai tiga kekuatan pembuktian, yaitu :
- Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
- Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
- Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada saat dibuatnya akta tersebut telah menghadap pada pegai umum/pejabat dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2. Akta Bawah Tangan.
Akta bawah tangan yang diakui isi dan tanda tangannya, dalam kekuatan pembuktian hampir sama dengan akta otentik, bedanya terletak pada kekuatan bukti keluar, yang tidak dimiliki oleh akta di bawah tangan.
Akta bawah tangan dapat dibubuhi pernyataan oleh seorang notaris atau pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan yang diadakan oleh undang-undang. Pembubuhan pernyataan oleh notaris atau pegawai lain yag ditunjuk oleh undang-undang sebagaimana dimaksud di atas disebut legalisir, yang berarti pengesahan.
3. Surat Biasa.
Surat-surat lainnya yang bukan merupakan akta, dalam hukum pembuktian mempunyai nilai pembuktian sebagai bukti bebas. Dalam praktek surat-surat semacam itu sering dipergunakan untuk menyusun persangkaan.
Baca juga : Pengertian Akta, Kekuatan Pembuktian Akta, Serta Perbedaan Antara Akta Bawah Tangan Dan Akta Otentik
Demikian penjelasan berkaitan dengan surat sebagai alat bukti di pengadilan.
Semoga bermanfaat.