Pembedaan suatu tindak pidana atau delik, yaitu antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, sudah sejak lama menjadi perdebatan diantara para sarjana hukum. Diantara mereka memandang pembedaan suatu tindak pidana atau delik didasarkan pada :
- Kualitasnya atau diukur berdasarkan penilaian terhadap kesadaran hukum pada umumnya. Berdasarkan hal ini, suatu tindak pidana atau delik dapat digolongkan menjadi dua, yaitu delik hukum dan delik undang-undang.
- Kuantitasnya atau diukur berdasarkan ancaman pidananya. Berdasarkan hal ini, pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran menjadi sangat penting.
Demikian halnya di Indonesia, ada beberapa pendapat mengenai perlu tidaknya diadakan pembedaan antara suatu tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, diantaranya adalah sebagai berikut :
- Resolusi Seminar Hukum Nasional tahun 1963, yang dirumuskan oleh panitia perumus yang diketuai oleh Prof. Satochid Kartanegara, SH, tentang Bidang Asas-asas Tata Hukum Nasional dalam bidang Hukum Pidana, pada poin nomor VI menyatakan : "Mengenai bagian khususnya, yang tidak mengadakan lagi penggolongan-penggolongan dalam dua macam delik (kejahatan dan pelanggaran), maka..."
- Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, menyetujui diadakannya pembedaan suatu tindak pidana secara kuantitatif. Hal tersebut beliau nyatakan dalam bukunya yang berjudul "Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia" yang menyatakan bahwa : "Dengan demikian penggolongan kejahatan terhadap pelanggaran ini adalah penting dengan adanya konsekuensi tersebut di atas. Maka dalam tiap ketentuan hukum pidana dalam undang-undang di luar KUH Pidana harus ditentukan, apakah tindak pidana yang bersangkutan adalah kejahatan atau pelanggaran.
Selain pembedaan suatu tindak pidana (delik) sebagai tindak pidana kejahatan atau tindak pidana pelanggaran tersebut, suatu tindak pidana (delik) juga dapat dibedakan diantaranya berdasarkan :
1. Cara Perumusannya.
Dilihat dari cara perumusannya, suatu tindak pidana (delik) dapat dibedakan sebagai :
- Delik formal. Dalam hal ini yang dirumuskan adalah suatu tindakan yang dilarang dengan tidak mempermasalhkan akibat dari tindakan tersebut. Sebagai contoh adalah ketentuan pasal 362 KUH Pidana tentang pencurian, yang berbunyi : " Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah". Jadi apabila suatu perbuatan sudah memenuhi unsur-unsur pasal 362 KUH Pidana tersebut, maka dapatlah dikatakan suatu perbuatan pencurian telah terjadi, tanpa mempersoalkan lagi apakah korban (orang yang kecurian) tersebut merasa rugi atau tidak, merasa terancam hidupnya atau tidak. Contoh lain dari delik formal adalah ketentuan pasal 160 KUH Pidana tentang penghasutan, pasal 209 KUH Pidana tentang penyuapan, dan pasal 247 KUH Pidana tentang sumpah palsu.
- Delik material. Dalam hal ini, selain merumuskan suatu tindakan yang dilarang untuk dilakukan, juga mesti melihat ada tidaknya akibat yang timbul karena tindakan tersebut. Sebagai contoh adalah ketentuan pasal 338 KUH Pidana tentang pembunuhan, yang berbunyi : "Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun". Dalam hal ini harus timbul akibat dari perbuatan yang dilakukan yang merugikan orang lain. Contoh lain dari delik material adalah ketentuan pasal 378 KUH Pidana tentang penipuan.
2. Cara Melakukan Tindak Pidana (Delik).
Dilihat dari cara melakukannya, suatu tindak pidana (delik) dapat dibedakan sebagai :
- Delik komisi, yaitu suatu tindakan aktif yang dilarang yang untuk pelanggarnya diancam dengan pidana. Contoh suatu tindakan aktif yang dilarang adalah sebagai mana tercantum dalam ketentuan pasal 338 KUH Pidana tentang pembunuhan, pasal 362 KUH pidana tentang pencurian, dan lain-lain.
- Delik omisi, yaitu suatu tindakan pasif yang diharuskan, yang jika tidak melakukannya diancam dengan pidana. Sebagai contoh adalah ketentuan pasal 164 KUH Pidana tentang keharusan melaporkan suatu kejahatan tertentu, pasal 224 KUH Pidana tentang keharusan menjadi saksi di pengadilan apabila dibutuhkan, dan lain-lain.
- Delik campuran komisi dan omisi, yaitu suatu tindakan yang sekaligus termasuk dalam delik komisi dan delik omisi. Sebagai contoh adalah ketentuan pasal 306 KUH Pidana tentang membiarkan seseorang yang wajib dipeliharanya yang mengkibatkan meninggal dunianya orang tersebut.
3. Bentuk Kesalahan Pelaku.
Dilihat dari bentuk kesalahan yang dilakukannya, suatu tindak pidana (delik) dapat dibedakan sebagai :
- Delik sengaja, yaitu suatu tindakan yang dilakukan dengan kesadaran yang berakibat merugikan orang lain.
- Delik alpha, yaitu suatu tindakan yang terjadi sebagai akibat kelalaian yang merugikan orang lain.
4. Perbedaan Subyek.
Dilihat dari perbedaan subyek, suatu tindak pidana (delik) dapat dibedakan sebagai :
- Delik khusus (delict propria)
- Delik umum (commune delicten)
Pembedaan ini penting sehubungan dengan ajaran tentang penyertaan, yaitu mungkinkan seseorang tertentu, dapat dipertanggung jawab pidanakan bersama-sama dengan seorang (subyek) yang melakukan tindak pidana. Atau dengan kata lain bersama-sama melakukan tindak pidana.
Selain pembedaan suatu tindak pidana (delik) berdasarkan hal-hal tersebut, masih banyak lagi pembedaan suatu tindak pidana (delik) berdasarkan sudut pandang yang lain.
Semoga bermanfaat.