Kumulasi Gugatan Dan Penggabungan Perkara

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Gugatan diajukan oleh seseorang karena ia merasa haknya dilanggar. Dalam hal ini ada kepentingan dari yang bersangkutan sehubungan dengan pengajuan gugatan tersebut, yaitu adanya suatu fakta hukum yang menjadi dasar gugatan, misalnya fakta hukum bahwa yang bersangkutan tidak membayar. Berkaitan dengan kumulasi (cumulatie) gugatan, hal tersebut tidak diatur di dalam H.I.R (Het Herziene Indonesisch Reglement), hukum acara yang berlaku khusus untuk daerah Jawa dan Madura, maupun dalam R.Bg (Rechtsreglement Buitengewesten), hukum acara untuk daerah lain di luar Jawa dan Madura. 

Mahkaman Agung Republik Indonesia dalam putusannya :
  • Nomor : 201 K/Sip/1974, tertanggal 28 Januari 1976, menentukan bahwa kumulasi gugatan dalam perkara yang tidak ada hubungannya satu sama lainnya tidak dapat dibenarkan. 
  • Nomor : 1652 K/Sip/1975, tertanggal 22 September 1976, menentukan bahwa kumulasi dari beberapa gugatan yang berhubungan erat satu dengan lainnya tidak bertentangan dengan hukum acara yang berlaku. 


Pada umumnya setiap gugatan harus berdiri sendiri. Penggabungan gugatan hanya diperkenankan sepanjang masih dalam batas-batas tertentu, yaitu : 
  • apabila pihak penggugat atau para penggugat dan tergugat atau para tergugat sama orangnya. Apabila suatu gugatan ditujukan kepada seseorang dua kualitas, hal tersebut tidak diperkenankan. Misalnya : menggugat A selaku wali dari anaknya dan A selaku pribadi. Demikian juga sebaliknya, satu orang penggugat dalam dua kualitas yang berbeda juga tidak diperkenankan. Misalnya : A selaku penggugat, bertindak untuk atas nama dirinya sendiri dan selaku wali dari anaknya. Hal-hal semacam itu tidak diperkenankan kerena melanggar tertib hukum acara (proces orde).


Tidak dibenarkan juga apabila beberapa penggugat secara bersama-sama menggugat beberapa tergugat dalam satu surat gugatan, agar mereka membayar utang masing-masing, kepada masing-masing penggugat. Kumulasi semacam itu tidak dibenarkan oleh hukum acara perdata, karena perkara-perkara tersebut tidak mempunyai koneksitas yang satu dengan yang lainnya. Perkara-perkara tersebut masing-masing berdiri sendiri, sehingga masing-masing tergugat harus digugat secara sendiri pula. Hal tersebut diatur dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, tertanggal 20 Juni 1979, Nomor : 415 K/Sip/1975.

Lain halnya, apabila suatu warisan diperebutkan oleh banyak ahli waris. Hal ini diperkenankan, oleh karena yang diperebutkan oleh mereka adalah satu warisan. Sudah menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung, bahwa dalam gugatan mengenai warisan, penggugat harus menggugat semua ahli waris sebagai pihak dalam perkara tersebut. Hal tersebut tercantum dalam putusan Mahkamah Agung, tertanggal 22 Maret 1982, Nomor L 2438 K/Sip/1980 dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, tertanggal 19 Juli 1985, Nomor : 546 K/Pdt/1984.


Prof. Dr. R. Supomo, SH dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri di dalam prosedure perdata di muka pengadilan landraad dahulu, Raad Justisi (Kamar ketiga) Jakarta dalam putusannya tertanggal 10 Juni 1939 mangatakan, bahwa antara gugatan-gugatan yang digabungkan itu harus ada hubungan batin atau 'connexiteit'. Misalnya : beberapa gugatan perlawanan terhadap suatu pembeslahan tidak dapat digabungkan oleh karena tidak ada hubungan batin antara gugatan yang satu dengan gugatan yang lainnya. 


Mahkamah Agung dalam salah satu putusannya menyatakan, bahwa gugatan mengenai perceraian tidak dapat digabungkan dengan gugatan mengenai harta benda perkawinan. Hal ini termuat dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, tertanggal 21 Mei 1983, Nomor : 913 K/Sip/1982.

Apabila pada satu pengadilan ada dua perkara yang satu sama lain saling berhubungan, lebih-lebih, apabila kedua perkara tersebut berlangsung antara penggugat dan tergugat yang sama, maka salah satu pihak atau keduanya dapat mengajukan permohonan kepada majelis agar kedua perkara tersebut digabungkan. Permohonan penggabungan tersebut, apabila diajukan oleh penggugat harus diajukan dalam surat gugatan yang kedua atau gugatan yang berikutnya, sedangkan apabila diajukan oleh pihak tergugat, maka hal itu harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama. Jika permohonan dikabulkan, maka perkara yang baru itu akan diserahkan kepada majelis yang memeriksa perkara yang pertama untuk digabungkan. Penggabungan perkara dan kumulasi gugatan diatur dalam pasal 134 dan pasal 135 R.V, yang dalam bahasa Belanda disebut voeging van zaken. Untuk menggabungkan perkara tersebut, hakim akan menjatuhkan putusan sela, yang disebut putusan insidentil.


Demikian penjelasan berkaitan dengan kumulasi gugatan dan penggabunganperkara.

Semoga bermanfaat.