Pengertian Masyarakat Hukum (Persekutuan Hukum) Territorial. Menurut para ahli hukum adat di jaman Hindia Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang territorial adalah :
- Masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terrikat pada suatu darerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.
![]() |
gambar : temukanpengertian.com |
Baca juga : Beberapa Masyarakat Hukum Adat Indonesia
Klasifikasi Masyarakat Hukum (Persekutuan Hukum) Territorial. Menurut van Dijk, masyarakat hukum atau persekutuan hukum territorial dibedakan dalam tiga macam, yaitu :
1. Persekutuan Desa.
Termasuk dalam persekutuan desa adalah seperti desa orang Jawa, yang merupakan suatu tempat kediaman bersama di dalam daerahnya sendiri termasuk beberapa pedukuhan yang terletak di sekitarnya yang tunduk pada perangkat desa yang berkediaman di pusat desa.
2. Persekutuan Daerah.
Termasuk dalam persekutuan daerah adalah seperti kesatuan masyarakat "Nagari" di Minangkabau, "Marga" di Sumatera Selatan dan Lampung, " Negorij" di Minahasa dan Maluku, di masa lampau yang merupakan suatu daerah kediaman bersama dan menguasai tanah hak ulayat bersama yang terdiri dari beberapa dusun atau kampung dengan satu pusat pemerintahan adat bersama.
3. Perserikatan Desa.
Yang dimaksud dengan Perserikatan Desa adalah apabila di antara beberapa desa atau marga yang terletak berdampingan yang masing-masing berdiri sendiri mengadakan perjanjian kerja sama untuk mengatur kepentingan bersama. Misalnya kepentingan dalam mengatur pemerintahan adat bersama, pertanian dan pemasaran bersama, pertanahan bersama, kehidupan ekonomi bersama, dan lain sebagainya. Contoh dari Perserikatan Desa adalah :
- di daerah Lampung ialah Perserikatan Marga Empat Tulangbawang, yang terdiri dari marga-marga adat Buway Bolan, Tegamo'an, Suway Umpu, dan Buway Aji di Menggala Lampung Utara.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, (LN. 1975 - 56) maka ketiga bentuk desa tersebut sudah tidak ada lagi bersifat formal, melainkan berubah menjadi "desa-desa adat" yang informal.
Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1979 tersebut, dikatakan sebagai berikut :
- "Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangga-nya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan Dusun adalah bagian wilayah dalam desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa".
Selanjutnya Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1979 tersebut menjelaskan juga bahwa yang dimaksud dengan Masyarakat Desa adalah :
- semua penduduk (dari segala golongan) yang menempayi suatu wilayah desa termasuk "masyarakat adat" sebagai satu kesatuan masyarakat yang berhak menyelenggarakan rumahtangganya sendiri berdasarkan hukum yang berlaku (termasuk hukum adat, yang moder, yang sesuai dengan perkembangan jaman). Sedangkan dusun tidaklah berdiri sendiri melainkan hanya sebagian dari wilayah desa.
Pada kenyataannya bagi masyarakat adat yang bersifat ketetanggaan semata-mata, seperti desa orang Jawa, pengertian masyarakat desa menurut perundangan tersebut mudah diselaraskan, baik mengenai kewargaan adatnya, sistem kekerabatannya, maupun susunan pemerintahan dan perangkat desanya. Beda dengan masyarakat yang bersifat kekerabatan genealogis atau bersifat keagamaan, tidak begitu saja dapat diselaraskan dengan pengertian masyarakat desa menurut perundang-undangan tanpa memperhatikan ikatan kesatuannya yang khusus yang bersifat genealogis dan atau bersifat agamis.
Demikian penjelasan tentang masyarakat hukum (persekutuan hukum) territorial. Tulisan tersebut bersumber dari buku Pengantar Ilu Hukum Adat Indonesia, karangan Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH.
Semoga bermanfaat.
Demikian penjelasan tentang masyarakat hukum (persekutuan hukum) territorial. Tulisan tersebut bersumber dari buku Pengantar Ilu Hukum Adat Indonesia, karangan Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH.
Semoga bermanfaat.