Perjanjian Pemberian Kuasa (Lastgeving)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Perjanjian pemberian kuasa atau lastgeving diatur dalam Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal 1792 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
  • Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian  dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam  perjanjian pemberian kuasa adalah sebagai berikut :

A. Sifat Pemberian Kuasa.
Dalam ketentuan Pasal 1793 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
  1. Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan.
  2. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-siam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa.

Dengan demikian, sebagaimana tersebut dalam ketentuan pasal tersebut, pemberian kuasa dapat terjadi dengan cara lisan atau dengan tertulis, dalam bentuk surat, akta bawah tangan, maupun akta otentik (akta notaris).


Selanjutnya ketentuan Pasal 1794 KUH Perdata, menyebutkan :
  • Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir, upahnya tidak ditentukan dengan tegas, si kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 KUH Perdata untuk wali.
Sehingga menurut ketentuan Pasal 1794 KUH Perdata tersebut, perjanjian pemberian kuasa (lastgeving) dapat terjadi dengan cuma-cuma tanpa imbalan upah, ataupan dengan imbalan upah. Apabila pemberian kuasa tersebut dilakukan dengan imbalan upah, maka besaran upah tersebut dapat ditetapkan dalam perjanjian yang disepakati oleh pemberi kuasa (lastgever) dengan penerima kuasa (lasthebber) atau berdasarkan ketentuan undang-undang.

Pada asasnya perjanjian pemberian kuasa terjadi, pada saat seseorang (lastgever/pemberi kuasa) menyuruh orang lain (lasthebber/penerima kuasa) untuk melakukan perbuatan hukum guna kepentingan dirinya. Dalam hal demikian, terdapat pengecualian, pemberian kuasa tidak dapat dilakukan, terutama berkaitan dengan hal-hal yang sangat pribadi, misalkan membuat surat wasiat (testamen) atau waris dan dalam hal hukum keluarga, seperti tugas sebagai suami isteri.  


Pemberian kuasa ditinjau dari  persoalan yang dapat diberi kuasa (dikuasakan), dapat terjadi dalam dua hal, yaitu :
  1. Pemberian kuasa khusus, maksudnya dalam bidang tertentu saja. Dala hal ini penerima kuasa tidak boleh bertindak melebihi wewenang yang telah diberikan.
  2. Pemberian kuasa umum, maksudnya dalam segala macam kepentingan atau perbuatan pengurusan.

Sedangkan pemberian kuasa yang berkaitan dengan pemindah-tanganan benda-benda, penjaminan (menghipotikkan) benda tetap, pembuatan perjanjian perdamaian, dan perbuatan yang sifatnya harus dilakukan oleh pemilik sendiri, bentuk pemberian kuasa harus dilakukan secara tegas dan dibuat secara tertulis. Hal tersebut ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1796 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
  1. Pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan.
  2. Untuk memindah-tangankan benda-benda atau untuk meletakkan hipotik di atasnya, atau lagi untuk membuat suatu perdamaian, ataupun sesuatu perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.


B. Terjadinya Pemberian Kuasa.
Perjanjian pemberian kuasa dapat terjadi dalam dua kemungkinan, yaitu :
  1. Perwakilan secara langsung. Penerima kuasa dalam bertindak memberitahukan kepada pihak ketiga bahwa ia berbuat atas suruhan orang lain.
  2. Perwakilan secara tidak langsung. Penerima kuasa tidak memberitahukan kepda pihak ketiga bahwa ia disuruh pemberi kuasa, tetapi ia bertindak keluar terhadap pihak ketiga, seolah-olah untuk kepentingannya sendiri.

Bentuk Perjanjian Pemberian Kuasa. Bentuk perjanjian pemberian kuasa dapat berupa :
  • Perjanjian kuasa dalam arti sempit, yaitu perjanjian pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1792 KUH Perdata.
  • Perjanjian pemberian kuasa dalam arti luas, yaitu termasuk juga meliputi tindakan yang sifatnya mewakili kepentingan orang lain, seperti tindakan orang tua atau wali terhadap anak, tindakan guru terhadap murid, tindakan suami terhadap isteri, dan lain-lain.

Lahirnya Perjanjian Pemberian Kuasa. Perjanjian pemberian kuasa dapat terjadi karena :
  1. Perjanjian, yaitu yang terjadi karena kesepakatan pihak pemberi kuasa dengan penerima kuasa.
  2. Undang-undang, yaitu karena adanya faktor pengertian pemberian kuasa dalam arti luas seperti dimaksud di atas.

Teori penguasaan atau voltmacht adalah  suatu pemberian kuasa yang merupakan sumber kekuasaan untuk mewakili kepentingan orang lain dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum.


C. Kewajiban Penerima Kuasa (Lasthebber).
Kewajiban penerima kuasa (lasthebber) diatur dalam Pasal 1800 sampai dengan Pasal 1806 KUH Perdata dan Pasal 1812 KUH Perdata, yang pada garis besarnya adalah sebagai berikut :
  1. Menanggung segala biaya, kerugian dan bunga selama ia belum dibebaskan dalam melaksanakan kuasa.
  2. Menyelesaikan segala urusan yang telah mulai dikerjakan, sedangkan pemberi kuasa meninggal dunia.
  3. Mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang merupakan kelalaiannya.
  4. Mempertanggungjawabkan perbuatan orang yang ditunjuk sebagai pengganti dalam melaksanakan kuasa itu.
  5. Membayar bunga atas uang pokok yang dipakainya guna keperluan sendiri, uang yang harus diserahkannya pada penutupan perhitungan dan dari kelalaiannya.
  6. Menahan barang kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya, sampai dibayar lunas kepadanya segala sesuatu yang dapat dituntutnya sebagai akibat pemberian kuasa tersebut. Atau biasa disebut hak retensi penerima kuasa.

Penerima kuasa mempunyai hak khusus yang disebut dengan hak retensi. Hak retensi adalah hak penerima kuasa untuk menahan barang-barang kepunyaan pemberi kuasa sampai dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya.


D. Kewajiban Pemberi Kuasa (Lastgever).
Kewajiban pemberi kuasa  diatur dalam Pasal 1807 sampai dengan Pasal 1811 KUH Perdata, yang pada garis besarnya adalah sebagai berikut :
  1. Wajib memenuhi perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa, kecuali di luar tugas yang diberikannya.
  2. Mengembalikan uang muka dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa dan membayar upah penerima kuasa, meskipun tugas penerima kuasa tersebut tidak berhasil.
  3. Memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita penerima kuasa sewaktu menjalankan kuasa, kecuali hal-hal yang merupakan kelalaian atau kekurang hati-hatian.
  4. Membayar bunga atas uang muka yang dikeluarkan penerima kuasa terhitung mulai hari dikeluarkannya uang muka tersebut.


E. Berakhirnya Pemberian Kuasa.
Ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata, menyebutkan :
  • Pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa, dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa, dengan meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan pernikahannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.

Jadi, menurut ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata tersebut, perjanjian pemberian kuasa akan berakhir apabila :
  1. Ditarik kembali kuasa tersebut oleh pemberi kuasa.
  2. Penerima kuasa atau pemberi kuasa meninggal dunia.
  3. Pemberi kuasa atau penerima kuasa berada di bawah pengampuan (curatele).
  4. Pemberi kuasa atau penerima kuasa pailit.


Perbedaan Antara Perjanjian Pemberian Kuasa dan Penjanjian Perburuhan. Apabila perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian perburuhan diperbandingkan, akan terlihat adanya perbedaan mendasar dari kedua perjanjian tersebut. Perbedaan yang dimaksud yaitu :

1. Perjanjian pemberian kuasa :
  • Diperbolehkan dengan upah, atau biasa disebut uang jasa.
  • Tidak ada hubungan peratasan (majikan - buruh) atau dengan kata lain kedudukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa adalah sama.

2. Perjanjian perburuhan :
  • Selalu ada upah yang diterima oleh buruh.
  • Terdapat adanya hubungan peratasan antara majikan dan buruh, majikan sebagai atasan sedangkan buruh sebagai bawahan.


Demikian penjelasan berkaitan dengan perjanjian pemberian kuasa. Tulisan tersebut bersumber dari buku Hukum Perdata Material, karangan Marhainis Abdulhay, SH dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Semoga bermanfaat.