Hubungan Hukum Antara Pengusaha Dan Pembantu-Pembatunya

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Untuk menjalankan suatu perusahaan, pengusaha membutuhkan pembantu-pembatu yang mempunyai kualifikasi tertentu untuk mengerjakan suatu pekerjaan dalam perusahaan tersebut sesuai dengan bidang kerjanya masing-masing. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan suatu hubungan hukum. Hubungan hukum antara pengusaha dan pembantu-pembantunya dalam suatu perusahaan adalah hubungan hukum perburuhan yang berintikan perjanjian melakukan pekerjaan dan hubungan hukum pemberian kuasa

1. Perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan.
Perjanjian untuk melakukan pekerjaan sudah umum digunakan dalam suatu lapangan perusahaan. Perjanjian untuk melakukan pekerjaan ini diatur dalam Bab VII A, Buku II Kitab Undang-Undang hukum Perdata (KUH Perdata). Perjanjian untuk melakukan pekerjaan terdiri dari tiga macam perjanjian, yaitu :
  • Perjanjian pelayanan berkala. Perjanjian jenis ini mengikat para pihak atas apa saja yang telah disepakati dalam perjanjian berserta segala syarat-syarat yang diperjanjikan. Kedudukan kedua belah pihak dalam perjanjian jenis ini adalah sama, atau hubungan kedua belah pihak adalah setingkat. Perjanjian pelayanan berkala diatur dalam pasal 1601 KUH Perdata.
  • Perjanjian perburuhan. Perjanjian ini menimbulkan hubungan subordinasi antara majikan dan buruh. Untuk mencegah timbulnya tindakan sewenang-wenang dari majikan terhadap buruh maka pasal 1601 j KUH Perdata menetapkan bahwa aturan yang mengatur bagaimana melaksanakan pekerjaan yang diserahkan kepada buruh, harus disetujui secara tertulis oleh buruh itu sendiri. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam dengan pembatalan perjanjian. Perjanjian perburuhan diatur dalam pasal 1601 a jo pasal 1601 d sampai dengan pasal 1603 z KUH Perdata.
  • Perjanjian pemborongan. Dalam perjanjian ini mengharuskan dihasilkannya suatu benda baru tertentu oleh pihak pemborong. Perjanjian pemborongan diatur dalam pasal 1601 b jo pasal 1604 sampai dengan pasal 1617 KUH Perdata

2. Perjanjian Pemberian Kuasa.
Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Bab XVI Buku III pasal 1792 sampai dengan pasal 1819 KUH Perdata. Menurut ketentuan pasal 1792 KUH Perdata, yang dimaksud dengan perjanjian pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan.

Sedangkan pasal 1794 KUH Perdata menetapkan bahwa :
  • Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. 
  • Jika dalam hal yang terakhir, upahnya tidak ditentukan dengan tegas, si kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih dari pada yang ditentukan dalam pasal 411 untuk wali.

Perjanjian pemberian kuasa ini berbeda dengan perjanjian perburuhan, meskipun sama-sama mengenai melakukan pekerjaan. Perbedaan yang utama dari kedua perjanjian tersebut adalah :
  • Perjanjian pemberian kuasa dapat terjadi tanpa upah (pasal 1794 KUH Perdata), sedangkan dalam perjanjian perburuhan selalu dimaksudkan untuk mendapat upah (pasal 1601 KUH Perdata).
  • Perjanjian pemberian kuasa menimbulkan hubungan yang bersifat sama tinggi atau sederajat, sedangkan dalam perjanjian perburuhan menimbulkan hubungan yang bersifat subordinasi (atasan dan bawahan).
Apabila dalam perjanjian pemberian kuasa diperjanjikan untuk memberikan suatu upah tertentu kepada penerima kuasa, maka upah tersebut haruslah dibayarkan. Undang-undang tidak memberikan larangan untuk pemberian upah dalam perjanjian pemberian kuasa.

Semoga bermanfaat.