Pengecualian Atas Pasal 1329 KUH Perdata Tentang Kecakapan Bertindak Dalam Perjanjian

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Perikatan atau verbintenis adalah suatu hubungan hukum, maksudnya adalah hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Prof. Subekti, SH menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Suatu perikatan dapat lahir melalui dua cara, yaitu karena undang-undang dan karena perjanjian.

Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian menurut pendapat Prof. Subekti, SH adalah  suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) disebutkan bahwa :
  • Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Ketentuan Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
  • Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, kecuali jika ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap

Pasal 1329 KUH Perdata tersebut menentukan bahwa kecakapan merupakan prinsip dalam kewenangan seseorang membuat suatu perjanjian. Atau dengan kata lain, setiap orang pada asasnya adalah cakap untuk bertindak atau cakap melakukan tindakan hukum.
Pengecualian Atas Pasal 1329 KUH Perdata. Ketidak-cakapan merupakan pengecualian dari ketentuan Pasal 1329 KUH Perdata tersebut. Seorang dikatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum, apabila memenuhi ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa : "Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 
  1. orang-orang yang belum dewasa.
  2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
  3. orang-orang perempuan, dalam hal-hal ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu."

Jadi menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut seorang dianggap tidak cakap, apabila ia pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu membuat sendiri perjanjian-perjanjian dengan akibat-akibat hukum yang sempurna.

Baca juga : Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Penjelasan dari ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata tentang ketidak-cakapan seseorang dalam membuat perjanjian atau seorang dikatakan tidak cakap hukum, apabila dalam keadaan :

1. Seorang di Bawah Umur atau Belum Dewasa.
Yang dapat dikatakan orang di bawah umur atau belum dewasa, adalah sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 330 ayat (1) KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : 
  • Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap duapuluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah menikah.

Sehingga secara a contrario dapat disimpulkan bahwa dewasa adalah mereka yang :
  • telah berumur 21 tahun.
  • telah menikah, termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun, tetapi telah menikah.

Jadi, berdasarkan ketentuan Pasal 1330 dan Pasal 330 ayat (1) KUH Perdata tersebut, seorang dikatakan dewasa adalah orang-orang yang pada asasnya cakap untuk bertindak atau melakukan perbuatan hukum.
  • Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana jika orang sebelum berumur 21 tahun sudah menikah dan pernikahannya putus (cerai) sebelum mereka berumur 21 tahun, apakah dalam kondisi demikian, seorang tersebut masih dikatakan dewasa ? Dalam kondisi putusnya pernikahan (cerai) sebelum berumur 21 tahun tersebut, maka status seorang tersebut tidak kembali menjadi belum dewasa atau dianggap tetap dewasa.

Baca juga : Teori-Teori Untuk Menentukan Telah Terjadinya Kata Sepakat Dalam Perjanjian

Penyimpangan ketentuan mengenai ketetapan umur tersebut terdapat dalam :
  • KUH Perdata sendiri, dimana menetapkan syarat umur untuk menikah, yang kurang dari 21 tahun (untuk pria 18 tahun, untuk wanita 15 tahun). Hal tersebut  merupakan suatu penyimpangan atas asas umum tersebut yang diberikan oleh undang-undang sendiri. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa ketentuan umum mengenai kedewasaan, dan syarat umum untuk menikah, tidak berjalan paralel. Keduanya merupakan dua masalah yang berbeda, walaupun sebagai akibat dari suatu pernikahan, menurut undang-undang, orang menjadi dewasa.
  • Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketentuan pasal 50 menyatakan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun. Hal tersebut berarti bahwa anak yang telah mencapai umur 18 tahun telah lepas dari perwalian, dengan kata lain, ia dapat melakukan tindakan hukum sendiri dengan sah. 

Baca juga : Teori Kehendak (Wilstheorie)

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tersebut  menimbulkan keragu-raguan mengenai batas umur dewasa.  Bagaimana kedudukan anak yang berumur antara 18 tahun - 21 tahun ? Ada masa vakum, di mana orang lain tidak dapat bertindak untuk mewakli dirinya, sedang ia sendiri tidak cakap untuk bertindak sendiri.
  • Untuk mengatasi hal tersebut, Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam sutu keputusannya tanggal 13 Oktoberr 1976, Nomor : 477 K/Sip/1976 dalam perkara "Batas Berakhirnya Perwalian", menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974, maka batas seseorang berada di bawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun.

Pengecualian terhadap seorang yang dianggap telah dapat melakukan perbuatan hukum sendiri (dewasa atau berumur lebih dari 21 tahun) tersebut adalah :
  • mereka yang belum berumur 21 tahun, dapat menutup perjanjian kerja sebagai buruh, sekalipun untuk itu harus ada kuasa dari orang-orang yang menurut undang-undang seharusnya mewakilinya, sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1601 g KUH Perdata.
  • mereka yang belum dewasa, asal telah mencapai syarat umur untuk menikah, dapat membuat perjanjian nikah, asal untuk itu ia mendapat bantuan dari orang yang ijinnya diperlukan untuk melangsungkan penikahan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 151 KUH Perdata, sedangkan untuk membuat wasiat, sudah cukup kalau ia telah berumur 18 tahun. 
2. Orang Yang Ditaruh di Bawah Pengampuan/Curatele.
Ketentuan Pasal 452 (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa :
  • Setiap orang yang ditaruh di bawah pengampuan, mempunyai kedudukan yang sama dengan seorang belum dewasa

Orang yang ditaruh di bawah pengampuan atau curatele adalah orang yang sudah dewasa atau telah berumur 21 tahun tetapi tidak mempu yang disebabkan karena pemabuk, sakit mental atau sakit ingatan, dan pemboros.

Pengampuan tidak pernah terjadi demi hukum, tetapi selalu didasarkan atas pemohonan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 434 - 445 KUH Perdata, dan ia baru mulai berlaku sejak ada ketetapan pengadilan mengenai hal tersebut, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 446 KUH Perdata. Sehingga, ketidak-cakapan seorang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1330 sub 2 KUH Perdata,  harus diartikan sebagai orang-orang yang oleh pengadilan telah ditetapkan ditaruh di bawah pengampuan. Sedangkan mengenai ketidak-cakapan orang-orang yang terganggu jiwanya/lemah akalnya, tetapi belum mendapat ketetapan pengampuan dari pengadilan, tidak diatur oleh undang-undang.
3. Istri-Istri Sepanjang Undang-Undang Menentukan Seperti Itu.
Menurut ketentuan Pasal 108 KUH Perdata, seorang wanita yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau ijin dari suaminya. Dalam hal ketidakcakapan dalam melakukan perbuatan hukum, seorang istri berbeda dengan anak yang belum dewasa.  Perbedaannya adalah :
  • Seorang istri dalam melakukan perbuatan hukum harus dibantu oleh suaminya, dalam arti bahwa dalam membuat suatu perjanjian ia bertindak sendiri, hanya saja ia didampingi oleh orang lain (suaminya) yang membantunya. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau ijin tertulis dari suaminya.
  • Seorang anak yang belum dewasa dalam melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh orang tua atau walinya. Jadi ia tidak membuat perjanjian sendiri tetapi yang membuat adalah orang tua atau walinya.

Ketidak-cakapan seorang istri  dalam KUH Perdata, ada hubungannya dengan sistem yang dianut di negara Belanda, di mana dalam keluarga, kepemimpinan diserahkan pada suami. Sistem tersebut dinamakan maritale macht, yang saat ini di negara Belanda sudah dihapuskan dengan Undang-Undang tanggal 14 Juni 1956, S.343, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1957, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Demikian juga di Indonesia, ketentuan tentang ketidak-cakapan seorang istri tersebut juga sudah mulai dihapuskan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1971, memberikan penegasan bahwa baik suami maupun istri berhak melakukan perbuatan hukum.

Baca juga : Pengertian Wanprestasi (Ingkar Janji) Dan Akibat-Akibat Wanprestasi

Demikian penjelasan berkaitan dengan pengecualian atas ketentuan Pasal 1329 KUH Perdata tentang kecakapan bertindak dalam perjanjian.

Semoga bermanfaat.