Pengertian Hujjah. Allah berfirman dalam QS. Al An’am : 149, yang artinya :
“Katakanlah: “Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat, maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.”
Dalam bahasa Arab, “hujjah” diartikan sebagai keterangan, alasan, bukti, tanda, dalil, atau argumentasi. Sedangkan kata kerja “berhujjah” berarti “memberikan alasan-alasan”. Istilah hujjag banyak digunakan di dalam Al Quran dan literatur Islam. Kadang kala kata “hujjah” disinonimkan dengan kata “burhan” yang berarti argumentasi yang valid, sehingga dihasilkan kesimpulan yang dapat diyakini dan dipertanggung-jawabkan akan kebenarannya.
Ketika menyampaikan argumentasi atau menetapkan suatu perkara agama, seorang muslim harus menyampaikan hujjah atau alasan yang bisa dipertanggung-jawabkan. Hujjah merupakan bukti absah sebagai landasan bahwa argumentasi tersebut bisa diterima khalayak.
Bentuk Hujjah. Dalam Islam, hujjah dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk. Basiq Djalil, dalam “Logika Ilmu Mantiq”, menjelaskan bahwa hujjah dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu :
1. Hujjah Naqliyah.
Hujjah naqliyah atau argumentasi dengan dogmatikal/doktrin merupakan hujjah yang berisi argumentasi dan dalil yang bersumber dari Al Quran dan hadis. Kebenaran dari hujjah naqliyah bersifat mutlak atau qath’I (pasti), maksudnya apabila disampaikan hujjah naqliyah, maka seorang muslim harus menerima argumentasi tersebut karena berasal dari wahyu Allah. Setiap hal yang berasal dari Al Quran dan hadis dapat dijadikan hujjah dalam perkara agama dan muamalah.
Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam QS. Al An’am : 149 tersebut di atas. Hujjah naqliyah juga tercermin dalam sabda Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan dalam HR. Bukhari dan Muslim, yang artinya :
“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu : persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, naik haji, dan puasa Ramadhan.”
Berdasarkan hal tersebut, umat Islam wajib untuk melaksanakan shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah tersebut.
2. Hujjah Aqliyah.
Hujjah aqliyah atau argumentasi dengan rasional/akal merupakan hujjah yang berisi argumentasi yang berdasarkan pada logika metodik atau berdasarkan pada hasil pemikiran manusia secara logis dan sistematis, maksudnya ketika menyampaikan argumentasi tertentu, seseorang menggunakan premis-premis rasional untuk meyakinkan orang lain. Berfikir seperti inilah yang kemudian menjadikan sebuah metode pengembangan ilmu sebagai salah satu bukti akan berkembangnya konsep epistimologi dalam Islam.
Hujjah aqliyah dapat dibedakan menjadi lima hal, yaitu :
- khitabiyyah atau argumentasi retorikal, merupakan hujjah yang disusun dari muqodimah (premis-premis) yang dinisbatkan atau diatas namakan kepada orang yang dianggap dipercaya. Misalnya : diskusi tentang ilmu apa yang lebih dahulu dipelajari untuk memudahkan pembelajaran ilmu-ilmu selanjutnya.
- syi’riyah atau argumentasi poetikal, merupakan hujjah yang tersusun dari muqodimah (premis-premis) yang bisa menyenangkan hati. Misalnya : obat ini meskipun pahit tetapi menyembuhkan.
- jadaliyyah atau argumentasi topikal, merupakan hujjah yang tersusun dari muqodimah (premis-premis) yang sudah terkenal dan diakui kebenarannya oleh orang banyak atau yang biasanya dipakai untuk mematahkan argumentasi yang dikeluarkan oleh lawan diskusi atau bahkan membuat orang awam tunduk kepadanya.
- safsataniyah atau argumentasi sufistik, merupakan hujjah yang tersusun dari muqodimah (premis-premis) yang seakan-akan benar tapi sebenarnya salah. Misalnya : seorang penjual berkata pada si pembeli bahwa barang ini asli, karena itu harganya mahal padahal barang palsu.
- burhaniyah atau argumentasi demonstratif, merupakan hujjah yang tersusun dari muqodimah yaqiniyat (premis-premis yang disertai fakta yang meyakinkan) yang dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan pula.
Dari kelima argumentasi rasional/logis tersebut, yang dapat dipertanggung-jawabkan validitas kebenarannya secara ilmiah hanyalah hujjah aqliyah burhaniyyah, karena argumentasi yang dipakainya terdiri dari premis-premis yang bobot validitas kebenarannya sangat meyakinkan. Sedang premis-premis yang validitas kebenarannya berbobot tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu :
1. Burhan Dloruriy.
Burhan dloruriy (nacessarium-demontratif) adalah premis-premis yang validitas kebenarannya dapat diyakini dan dipercaya secara mudah dan tentunya tanpa berfikir panjang. Burhan dloruriy dapat dibedakan menjadi enam bentuk, sebagai berikut :
- dloruriy awwaliyyah (introduction), yaitu suatu premis yang secara sepintas saja langsung dapat diyakini akan kebenarannya.
- dloruriy musyahadah (observasi), yaitu suatu premis yang validitas kebenarannya lnangsung dapat diyakini, lantaran disaksikan langsung oleh pancaindra atau dengan observasi langsung di lapangan.
- dloruriy mujarrobat (eksperimental), yaitu suatu premis yang validitas kebenarannya dapat diyakini karena sudah dilakukan eksperimen berulang-ulang.
- dloruriy mutawatiroh (informatif), yaitu suatu premis yang validitas kebenarannya dapat diterima akal lantaran adanya berita yang diterima oleh banyak informan yang mana tidak mungkin mereka bersepakat untuk membuat kebohongan publik.
- dlorury hadatsiyyah (sensasi sensasional), yaitu suatu premis yang validitas kebenarannya dapat diyakini berdasarkan pada adanya penemuan ilmiah yang solid.
- dloruriy wijdaniyyah (sufistik), yaitu suatu premis (muqoddam) yang validitas kebenarannya langsung bisa diyakini lantaran bisa dirasakan oleh perasaan atau indra bathin.
2. Burhan Nadloriy.
Burhan nadloriy (kontemplatif) adalah premis-premis yang validitas kebenarannya dapat diyakini dengan melalui pemikiran yang panjang dengan berbagai pertimbangan.
Hamba Allah yang Dijadikan Hujjah oleh Allah. Allah telah menyiapkan empat orang hamba-Nya yang akan menjadi hujjah-Nya dihadapan mereka (umat manusia) di hari kiamat kelak. Hujjah dalam hal ini berarti argumentasi kokoh yang membungkam seseorang yang berusaha membantah atau mencari-cari alasan. Syaikh Muhammad Nawawi, dalam “Nashaihul‘Ibad”, menjelaskan bahwa keempat hamba Allah dimaksud adalah :
1. Nabi Sulaiman as.
Allah akan menampik alasan para hambanya yang kaya dengan sosok Nabi Sulaiman as.
Kelak di akhirat, Allah akan bertanya kepada para hamba-Nya dari kalangan penguasa dan agniya (orang kaya), “Mengapa sewaktu di dunia, kalian tidak beribadah ?” Mereka berkilah, “Kami sibuk, ya Allah, dengan kekayaan dan kekuasaan.” Namun, Allah ber-hujjah, “Adakah kekuasan yang lebih besar, dan adakah kekayaan yang lebih banyak dari kekuasaan dan kekayaan Sulaiman? Namun, dia tak pernah mengabaikan perintah Kami dan meninggalkan ibadah.” Akibatnya, para hamba dari kalangan penguasa dan orang-orang berharta bungkam tak bisa bicara.
2. Nabi Yusuf as.
Allah akan menampik alasan para budak dan orang-orang yang sibuk melayani majikan mereka dengan sosok Nabi Yusuf.
Kelak di akherat, Allah akan bertanya kepada para hamba sahaya, para pelayan, dan para suruhan, “Mengapa sewaktu di dunia kalian tidak beribadah ?” Mereka menjawab, “Ya Allah, kami sibuk melayani tuan-tuan kami, sehingga tak sempat beribadah.” Allah kemudian menghujjah, “Sesungguhnya hamba-Ku Yusuf berada dalam kekuasaan penguasa Mesir dan istrinya. Namun, dia tidak pernah mengabaikan perintah dan meninggalkan ibadah.”
3. Nabi Ayyub as.
Allah akan menampik alasan para hamba-Nya yang diuji penyakit dengan sosok Nabi Ayyub as.
Kelak di akherat, Allah akan bertanya kepada orang-orang yang semasa di dunia repot dengan berbagai ujian, “Mengapa kalian tidak beribadah ?” Mereka menjawab, “Kami sibuk, ya Allah, dengan ujian yang menimpa. Kami repot dengan penyakit.” Namun, Allah menghujjah, “Hamba Kami Ayyub diuji dengan penyakit yang berat. Namun, dia tidak pernah lengah menjalankan perintah dan mengabaikan ibadah.”
4. Nabi Isa as.
Allah akan menampik alasan para hamba-Nya dari kalangan kaum papa dan orang-orang fakir dengan sosok Nabi Isa as.
Kelak di akhirat, Allah akan bertanya kepada orang-orang fakir yang lalai beribadah, “Mengapa semasa di dunia, kalian tidak beribadah ?” Mereka menjawab, “Kami repot dengan kekurangan dan kefakiran, ya Allah. Sehingga tak sempat beribadah.” Namun, Allah menghujjah mereka, “Tahulah kalian hamba-Ku Isa yang paling fakir di muka bumi? Saking miskinnya, dia tak punya harta sedikit pun. Begitu pula istri dan kediaman. Namun, dia tetap beribadah dan tak melalaikan perintah.”
Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian dan bentuk hujjah, serta hamba Allah yang dijadikan hujjah oleh Allah.
Semoga bermanfaat.