Perwalian (Voogdij) : Pengertian, Syarat (Kewajiban Dan Kewenangan Seorang Wali), Jenis, Dan Asas Perwalian, Serta Mulai Berlakunya Dan Berakhirnya Perwalian

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Perwalian. Ketentuan Pasal 330 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), menyebutkan bahwa :

Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini.”

Istilah “perwalian”, secara etimologis, berasal dari kata “wali” yang berarti menolong yang mencintai. Dalam literatur fiqih Islam, “perwalian” disebut dengan ”al-walayah” yang berarti orang yang mengurus atau yang menguasai (mengelola) harta dan mengayomi seseorang yang belum cakap bertindak hukum, sedangkan “al-wali” adalah orang yang memiliki kekuasaan. Dari kata inilah, kemudian muncul istilah wali bagi anak yatim dan orang yang belum cakap bertindak hukum. Selain itu, “al-walayah” juga dapat berarti hak untuk menikahkan seorang wanita (wali nikah).

Sedangkan secara terminologis, istilah perwalian atau “voogdij” dapat diartikan sebagai suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tuanya masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Perwalian juga dapat berarti pengawasan terhadap anak yang masih di bawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Anak yang berada di bawah perwalian adalah:
  • anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua.
  • anak sah yang orang tuanya telah bercerai.
  • anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijke kind).

Menurut hukum Islam (fiqih), yang dimaksud dengan perwalian adalah tanggung jawab orang tua terhadap anak, yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki atau perempuan, atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, dan menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.


Selain itu, pengertian perwalian juga dapat dijumpai dalam beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah :
  • H.F.A. Vollmar, dalam “Pengantar Studi Hukum Perdata”, menyebutkan bahwa perwalian adalah pengawasan atas orang sebagaimana diatur dalam Undang-undang, dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa (pupil).
  • Muhammad Amin Suma, dalam “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam”, menyebutkan bahwa perwalian adalah kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas izin orang lain.
  • Ali Afandi, dalam “Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)”, menyebutkan bahwa perwalian adalah pengawasan pribadi dan pengurusan terhadap harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Dengan demikian, anak yang orang tuanya telah bercerai atau salah satu dari mereka atau semuanya meninggal dunia, ia berada di bawah perwalian.


Syarat Perwalian. Perwalian terjadi karena terpenuhinya beberapa persyaratan. Persyaratan dimaksud adalah :

1. Anak yang memperoleh perwalian.
Ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974, menyebutkan bahwa beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk anak yang memperoleh perwalian adalah :
  • anak (laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun).
  • anak-anak yang belum menikah.
  • anak tersebut tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.
  • anak tersebut tidak berada di bawah kekuasaan wali.
  • perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.

2. Wali.
Yang dapat ditunjuk sebagai wali :
  • suami atau istri yang hidup lebih lama. Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak yang belum dewasa demi hukum dipangku oleh orang tua yang masih hidup (Pasal 345 - Pasal 354 KUH Perdata).
  • seseorang yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri (Pasal 355 ayat (1) KUH Perdata).
  • seseorang yang diangkat oleh hakim (Pasal 359 KUH Perdata).

Sedangkan ketentuan Pasal 379 KUH Perdata menyebutkan bahwa terdapat lima golongan orang yang tidak diperbolehkan menjadi wali, yaitu :
  • mereka yang sakit ingatan (krankzninngen).
  • mereka yang belum dewasa (minderjarigen).
  • mereka yang berada dibawah pengampuan.
  • mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua atau perwalian atau penetapan pengadilan.
  • para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku dan agen balai harta peninggalan, kecuali terhadap anak- anak atau anak tiri mereka sendiri.


Kewajiban dan Kewenangan Wali. Dalam sistem hukum Indonesia, wali memiliki tanggung jawab yang bertujuan untuk memelihara akan kesejahteraan dari anak yang di perwalikan, termasuk dalam pemeliharaan harta benda yang dipertinggalkan. Dalam KUH Perdata diatur bahwa seorang wali memiliki beberapa kewajiban sebagai berikut :
  • memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan, apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan wali maka ia dapat dikenakan sanksi berupa wali dapat dipecat dan dapat diharuskan membayar biaya-biaya dan ongkos-ongkos (Pasal 368 KUH Perdata).
  • mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang diperwalikannya (Pasal 386 ayat (1) KUH Perdata).
  • kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (Pasal 335 KUH Perdata).
  • menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan. (Pasal 338 KUH Perdata).
  • menjual perabotan rumah tangga “minderjarigen” dan semua barang bergerak dan tidak memberikan buah atau hasil atau keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura dengan izin Weeskamer (Pasal 389 KUH Perdata).
  • mendaftarkan surat-surat piutang negara apabila ternyata dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara (Pasal 392 KUH Perdata).
  • menanam (belegen) sisa uang milik “menderjarigen” setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut.

Sedangkan kewenangan dari seorang wali menurut KUH Perdata, diantaranya adalah :
  • pengawasan dan atas diri pupil atau orang yang menentukan perwalian serta pengurusan atas segala sesuatu milik anak di mana ia mendapat hak perwalian (Pasal 383 ayat (1) dan Pasal 385 ayat (2) KUH Perdata).

Menurut ketentuan Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam (KHI), disebutkan bahwa :
  1. wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada dibawah perwaliannya.
  2. wali dilarang mengikat, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari.
  3. wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahan dan kelalainnya.
  4. dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974, pertanggung jawaban wali tersebut ayat (3) harus di buktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap tahun sekali.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974, menyebutkan bahwa :
  1. wali wajib mengurus anak yang berada di bawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu.
  2. wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubhanharta benda anak tersebut.
  3. wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.

Selain kewajiban dan kewenangan tersebut di atas, seorang wali dilarang atau tidak diperbolehkan untuk memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan pernikahan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa (Pasal 52 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974).


Jenis Perwalian. Perwalian dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis. Ali Afandi menjelaskan bahwa menurut KUH Perdata perwalian dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis perwalian, yaitu :
  • perwalian menurut undang-undang, terjadi apabila salah satu orang tua meninggal maka perwalian demi hukum dilakukan oleh orang tua yang masih hidup terhadap anak yang belum dewasa (Pasal 345 KUH Perdata).
  • perwalian dengan wasiat, terjadi apabila sebelum meninggal orang tua mengangkat seorang wali bagi anaknya yang belum dewasa, yang dilakukan dengan surat wasiat atau dengan akta notaris (Pasal 355 KUH Perdata).
  • perwalian datif, terjadi apabila tidak ada wali menurut undang-undang atau wali dengan wasiat, maka oleh hakim akan ditetapkan seorang wali (Pasal 359 KUH Perdata).

Sedangkan Muhammad Amin Summa menjelaskan bahwa menurut hukum Islam, “perwalian” terbagi dalam tiga kelompok, yaitu :
  • perwalian terhadap jiwa (al-walayah ‘alan nafs), merupakan jenis perwalian yang berkaitan dengan pengawasan terhadap urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan, pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang hak pengawasannya berada ditangan ayah, kakek, dan para wali yang lain.
  • perwalian terhadap harta (al-walayah ‘alal-mal), merupakan jenis perwalian yang berhubungan dengan ihwal pengelolaan kekayaan tertentu dalam hal pengembangan, pemeliharaan (pengawasan), dan pembelanjaan.
  • perwalian terhadap jiwa dan harta (al-walayah ‘alan-nafsi wal mali ma’an), merupakan jenis perwalian yang meliputi urusan-urusan pribadi dan harta kekayaan, kekuasaan ini hanya berada ditangan ayah dan kakek.


Asas Perwalian. Terdapat beberapa asas yang berlaku dalam perwalian. R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, dalam “Hukum Orang dan Keluarga”, menjelaskan bahwa dalam sistem perwalian menurut KUH Perdata, dikenal beberapa asas perwalian, yaitu :

1. Asas tak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid).
Maksud dari asas ini adalah pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 331 KUH Perdata. Asas tak dapat dibagi-bagi memiliki pengecualian dalam dua hal, yaitu :
  • jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama maka kalau ia menikah lagi suaminya menjadi medevoogd (wali serta/wali peserta) berdasarkan ketentuan Pasal 351 KUH Perdata.
  • jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-barang “minderjarige” di luar Indonesia didasarkan ketentuan Pasal 361 KUH Perdata.

2. Asas persetujuan dari keluarga.
Maksud dari asas ini adalah keluarga harus dimintai persetujuan perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada, maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu. Sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan, dapat dituntut berdasarkan ketentuan Pasal 524 KUH Perdata.


Mulai Berlakunya Perwalian. Menurut ketentuan Pasal 331.a KUH Perdata, perwalian mulai berlaku dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. bila oleh hakim diangkat seorang wali yang hadir, pada saat pengangkatan itu dilakukan, atau apabila pengangkatan itu dihadirinya, pada waktu pengangkatan diberitahukan kepadanya.
  2. bila seorang wali diangkat oleh salah satu dari orang tua, pada saat pengangkatan itu, karena meninggalnya pihak yang mengangkat, memperoleh kekuatan untuk berlaku dan pihak yang diangkat menyatakan kesanggupannya untuk menerima pengangkatan itu.
  3. bila seorang perempuan bersuami diangkat menjadi wali oleh Hakim atau oleh salah seorang dan kedua orang tua, pada saat ia, dengan bantuan atau kuasa dari suaminya, atau atas kuasa Hakim, menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu.
  4. bila suatu perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial, bukan atas permintaan sendiri atau pernyataan bersedia, diangkat menjadi wali, pada saat menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu.
  5. dalam hal termaksud dalam Pasal 358 KUH Perdata, pada saat Pengesahan.
  6. bila seorang menjadi wali demi hukum, pada saat terjadinya peristiwa yang mengakibatkan perwalian itu.


Berakhirnya Perwalian. Perwalian berakhir karena dua kondisi sebagai berikut :

1. Berkaitan dengan keadaan si anak.
Dalam kaitannya dengan keadaan si anak, perwalian akan berakhir apabila :
  • si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig).
  • matinya si anak.
  • timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.
  • pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui.

2. Berkaitan dengan tugas wali.
Dalam kaitannya dengan tugas wali, perwalian akan berakhir apabila :
  • ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali.
  • ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 380 KUH Perdata.


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian perwalian, syarat, kewajiban, jenis, dan asas perwalian, serta mulai berlakunya dan berakhirnya perwalian.

Semoga bermanfaat.