Pengertian Gegar Budaya. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lainnya sesuai dengan kebutuhan hidup dan lingkungan sosialnya. Ketika seorang individu memasuki lingkungan sosialnya yang baru dan ia tidak bisa beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan baik dengan lingkungan baru tersebut, maka kemungkinan ia akan mengalami apa yang disebut dengan gegar budaya atau “culture shock”.
Gegar budaya atau “culture shock” merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perasaan terkejut, gelisah, keliru yang dirasakan apabila seseorang bersentuhan dengan kebudayaan yang berlainan sama sekali. Perasaan tersebut timbul akibat adanya perbedaan dan kesukaran dalam beradaptasi dengan budaya baru.
Pemahaman tentang “gegar budaya” atau “culture shock” pertama kali dikemukakan oleh Edward Hall dalam “Silent Language”, pada tahun 1959. Dalam bukunya tersebut, Edward Hall memberikan pemahaman bahwa gegar budaya atau “culture shock” adalah gangguan ketika segala hal yang biasa dihadapi ketika di tempat asal menjadi sama sekali berbeda dengan hal-hal yang dihadapi di tempat yang baru dan asing. Sedangkan untuk istilah “culture shock” atau gegar budaya pertama kali diperkenalkan oleh Kalvero Oberg, seorang Antropolog, dalam “Culture Shock: Adjustment to New Cultural Environment”, yang dimuat dalam Practical Antropology, Volume : 7, Tahun 1960. Kalvero Oberg menggunakan istilah “culture shock” untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru. Istilah ini menyatakan ketiadaan arah, merasa tidak mengetahui harus berbuat apa atau bagaimana mengerjakan segala sesuatu di lingkungan yang baru, dan tidak mengetahui apa yang tidak sesuai atau sesuai.
Berdasarkan hal tersebut di atas, gegar budaya atau “culture shock” dapat diartikan sebagai reaksi emosional, berupa stres, putus asa atau ketakutan yang berlebihan yang disebabkan proses penyesuaian diri ketika memasuki lingkungan baru yang memiliki perbedaan budaya sehingga individu menghadapi situasi yang membuatnya mempertanyakan kembali asumsi-asumsinya, tentang apa yang disebut kebenaran, moralitas, kebaikan, kewajaran, kesopanan, kebijakan, dan lain sebagainya. Gegar budaya juga berarti suatu bentuk adanya kebingungan atau adanya disorientasi yang muncul pada saat seorang individu memasuki lingkungan baru dengan budaya yang berbeda-beda dari lingkungan asalnya.
Selain itu, pengertian gegar budaya atau “culture shock” juga dapat dijumpai dalam beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah :
- Peter S. Adler, dalam “The Transitional Experiemce: An Alternative View of Culture Shock”, yang dimuat dalam Jurnal Of Humanistic Psychology, Volume : 15, Tahun 1975, menyebutkan bahwa gegar budaya adalah reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak terduga dan kesalah-pahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutan akan ditipu, dilukai ataupun diacuhkan.
- Adrian Furnham dan Stephen Bochner, dalam “Culture Shock”, menyebutkan bahwa gegar budaya adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika ia mengenalnya maka ia tak dapat atau tidak bersedia menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu. Pengertian ini menolak penyebutan gegar budaya atau “culture shock” sebagai gangguan yang sangat kuat dari rutinitas, ego, dan self-image individu.
- Colleen Ward, Stephen Bochner, dan Adrian Furnham, dalam “The Psychology of Culture Shock”, menyebutkan bahwa gegar budaya adalah suatu proses aktif dalam menghadapi perubahan saat berada di lingkungan yang tidak familiar. Proses aktif tersebut terdiri dari affective, behavior, dan cognitive individu, yaitu reaksi individu tersebut merasa, berperilaku, dan berpikir ketika menghadapi pengaruh budaya kedua.
- Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, dalam “Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya”, menyebutkan bahwa gegar budaya adalah kegelisahan yang dialami karena kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan dalam sehari-hari, misalnya kapan kita harus berjabat tangan, dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang, bagaimana membeli, kapan dan dimana kita tidak perlu merespon.
Indikator Gegar Budaya. Terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai indikator telah terjadinya gegar budaya. Kalvero Oberg menjelaskan bahwa beberapa indikator yang dapat menjelaskan terjadinya gegar budaya adalah :
- adanya ketegangan karena upaya untuk beradaptasi secara psikologis.
- rasa kehilangan terhadap teman, status, profesi, dan harta.
- ditolak atau menolak anggota budaya baru.
- kebingungan dalam peran, harapan dan nilai.
- cemas hingga jijik dan marah saat menyadari adanya perbedaan budaya.
- adanya perasaan tidak berdaya karena kurang atau bahkan tidak mampu dalam mengatasi lingkungan baru.
Dimensi Gegar Budaya. Terdapat beberapa dimensi dalam gegar budaya. Colleen Ward, Stephen Bochner, dan Adrian Furnham membagi gegar budaya ke dalam beberapa dimensi yang disebut dengan “ABCs of Culture Shock”, yaitu :
1. Affective.
Dimensi ini berhubungan dengan perasaan dan emosi yang dapat menjadi positif atau negatif. Individu mengalami kebingungan dan merasa kewalahan karena datang ke lingkungan yang tidak familiar.
2. Behavior.
Dimensi ini berhubungan dengan pembelajaran budaya dan pengembangan keterampilan sosial. Individu mengalami kekeliruan aturan, kebiasaan dan asumsi-asumsi yang mengatur interaksi interpersonal mencakup komunikasi verbal dan non verbal yang bervariasi di seluruh budaya.
3. Cognitive.
Dimensi ini adalah hasil dari aspek “affectively dan behaviorally” yaitu perubahan persepsi individu dalam identifikasi etnis dan nilai-nilai akibat kontak budaya. Saat terjadi kontak budaya, hilangnya hal-hal yang dianggap benar oleh individu tidak dapat dihindarkan. Individu akan memiliki pandangan negatif, kesulitan bahasa karena berbeda dari negara asal, pikiran individu hanya terpaku pada satu ide saja, dan memiliki kesulitan dalam interaksi sosial.
Baca juga : Pengertian Akulturasi, Strategi Dan Dampak Akulturasi, Serta Perbedaannya Dengan Asimilasi
Penyebab Terjadinya Gegar Buadaya. Menurut Kalvero Oberg, terdapat tiga aspek yang menjadi penyebab terjadinya gegar budaya, yaitu :
- kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti : tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gesture), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak pada situasi tertentu.
- krisis identitas. Dengan pergi ke daerah lain, seorang individu akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya.
- putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari atau tak disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan-gangguan ini.
Baca juga : Budaya Hukum (Legal Culture)
Tahapan Gegar Budaya. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilewati dalam proses terjadinya gegar budaya. Edward Hall menjelaskan bahwa terdapat empat tahapan yang akan dilalui oleh individu pada tahap gegar budaya, sebagai berikut :
- the honeymoon phase, yaitu adanya perasaan bahagia ketika sampai di tempat baru,
- the crisis phase, yaitu perasaan tidak berdaya yang disebabkan karena adanya perbedaan yang sangat signifikan dengan daerah asal, namun individu akan segera melaluinya ketika individu mampu menyesuaikan diri dengan baik.
- the adjustment place, yaitu individu mulai mampu membangun interaksi dengan lingkungan barunya.
- bi-cultural phase, yaitu individu merasa nyaman dengan memiliki dua kebudayaan, keadaan ini merupakan indikasi yang baik, karena individu berhasil melewati seleksi alam kecil.
Kalvero Oberg menjelaskan bahwa gegar budaya terjadi dalam beberapa fase yang dapat digambarkan sebagai “U Curve Hypothesis”, yaitu :
- fase optimistik, di mana individu merasa gembira, memiliki rasa penuh harapan dan euphoria saat baru memasuki lingkungan baru.
- fase krisis, di mana individu mulai memiliki permasalahan dengan lingkungan barunya.
- fase recovery, di mana individu mulai mengerti budaya barunya, pada tahap ini individu secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan untuk menanggulangi budaya baru.
- fase penyesuaian diri, di mana individu mampu memahami budaya barunya, ketika individu mampu menyesuaikan diri dengan dua kebudayaan yang dimilikinya, individu tersebut akan merasa puas dan menikmati dua kebudayaan yang dimiliki.
Sedangkan Peter S. Adler menjelaskan terdapat lima tahap dalam gegar budaya, yaitu :
- tahap kontak, yang ditandai dengan kesenangan, keheranan, dan kekagetan, karena seseorang melihat hal-hal yang eksotik, unik, dan luar biasa.
- tahap disintregasi, yang ditandai dengan kebingungan dan disorientasi. Perbedaan menjadi lebih nyata ketika perilaku, nilai, dan sikap yang berbeda mengganggu realitas perseptual individu.
- tahap reintegrasi, yang ditandai dengan penolakan atas budaya kedua. Individu menolak kemiripan dan perbedaan budaya melalui penstereotipan, generalisasi, evaluasi, perilaku dan sikap yang serba menilai. individu membenci apa yang dialaminya tanpa alasan yang jelas.
- tahap otonomi, yang ditandai dengan kepekaan budaya dan keluwesan pribadi yang meningkat, pemahaman atas budaya baru, dam kemampuan menyesuaikan diri dengan budaya baru seorang individu.
- tahap independensi, di mana individu menghargai perbedaan dan kemiripan budaya, bahkan menikmatinya. Individu menjadi ekspresif, humoris, kreatif, dan mampu mengaktualisasikan dirinya. Hal terpenting adalah ia mampu menjalani transisi lebih jauh dalam kehidupan melewati dimensi-dimensi baru dan menemukan cara-cara baru menjelajahi keberagaman manusia.
Pada tahap independensi tersebut, seorang individu dapat menjadi manusia yang disebut “manusia antar budaya” yang memahami berbagai budaya, mampu bergaul dengan orang-orang dari berbagai budaya lain, tanpa mengorbankan nilai-nilai budaya sendiri. Manusia antar budaya adalah orang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam proses antar budaya yang atribut-atribut internalnya tidak didefinisikan secara kaku, namun terus berkembang melewati parameter-parameter psikologi suatu budaya. Manusia antar budaya dilengkapi dengan kemampuan berfungsi secara efektif dalam lebih dari satu budaya dan memiliki kepekaan budaya yang berkaitan erat dengan kemampuan menunjukkan empati budaya.
Cara Mengatasi Gegar Budaya. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya gegar budaya, diantaranya adalah :
- mencari tahu mengenai tempat dan lingkungan baru yang akan didatangi beserta budaya yang ada di tempat tersebut.
- berpikir terbuka mengenai budaya yang didatangi.
- beristirahat dari perbedaan budaya untuk mengurangi rasa asing terhadap budaya baru.
Faktor yang Mempengaruhi Gegar Budaya. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya gegar budaya. Adrian Furnham dan Stephen Bochner menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya gegar budaya seorang individu saat berinteraksi dengan budaya baru, yaitu :
1. Adanya perbedaan budaya.
Kualitas, kuantitas, dan lamanya gegar budaya yang dialami individu dipengaruhi oleh tingkat perbedaan budaya antara lingkungan asal dan lingkungan baru individu yang bersangkutan.
2. Adanya perbedaan individu.
Berkaitan dengan perbedaan dalam kepribadian dan kemampuan individu menyesuaikan diri di lingkungan barunya. Selain itu, juga merujuk pada variabel demografis seperti usia, jenis kelamin, kelas sosial-ekonomi dan pendidikan.
3. Pengalaman lintas budaya individu sebelumnya.
Pengalaman individu di masa lalu saat berada di lingkungan baru yang sangat berpengaruh pada proses adaptasi, seperti pengalaman bagaimana individu menerima perlakuan dari penduduk lokal.
Sedangkan V.N. Parrillo, dalam “Strangers to These Shores: Race and Ethnic Relations in The United Status”, menjelaskan bahwa beberapa faktor yang dianggap dapat mempengaruhi gegar budaya adalah :
1. Faktor intrapersonal.
Yang termasuk dalam faktor intrapersonal diantaranya adalah :
- keterampilan komunikasi.
- pengalaman dalam setting lintas budaya.
- personal (mandiri atau torelansi).
- akses ke sumber daya.
- karakteristik fisik, seperti : penampilan, umur, kesehatan, serta kemampuan sosialisasi. Individu yang lebih muda cenderung mengalami gegar budaya yang lebih tinggi dari pada individu yang lebih tua dan wanita lebih mengalami gegar budaya dari pada pria.
2. Variasi budaya.
Variasi budaya mempengaruhi transisi dari satu budaya ke budaya lain. Gegar budaya akan terjadi lebih cepat jika budaya tersebut semakin berbeda, hal ini meliputi sosial, perilaku, adat istiadat, agama, pendidikan, norma dalam masyarakat, dan bahasa. Manifestasi sosial politik juga mempengaruhi gegar budaya. Sikap dari masyarakat setempat dapat menimbulkan prasangka, stereotip dan intimidasi.
Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian gegar budaya (culture shock), indikator, dimensi, penyebab terjadinya, tahapan, dan cara mengatasi gegar budaya, serta faktor yang mempengaruhi gegar budaya (culture shock).
Semoga bermanfaat.