Budaya Hukum (Legal Culture) : Pengertian Dan Bentuk Budaya Hukum (Legal Culture)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Budaya Hukum. Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas dan teratur. Akan tetapi apa yang pantas dan teratur bagi seseorang belum tentu pantas dan teratur bagi orang yang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu patokan tentang kepantasan dan keteraturan tersebut yang merupakan pedoman atau takaran-takaran tentang tingkah laku yang secara umum disebut dengan “hukum”.

Hukum merupakan konkritisasi nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya kesesuaian antara hukum dengan sistem nilai-nilai tersebut. Konsekuensinya adalah perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan perubahan hukum atau di lain pihak hukum harus dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut.

Kajian tentang hukum telah mengalami perkembangan dengan pesat. Salah satu perspektif yang mulai banyak dikembangkan adalah hukum dalam perspektif budaya. Dalam perspektif ini, hukum tidak saja dilihat sebagai bagian dari kebudayaan, tetapi hukum itu sendiri mengandung suatu komponen budaya yang disebut dengan “budaya hukum” atau “legal culture”, sebagai persenyawaan antara variabel hukum dan kebudayaan.

Istilah “budaya hukum” lahir sebagai akibat adanya kekuatan-kekuatan sosial atau “social forces” yang mempengaruhi bekerjanya hukum di masyarakat. Adalah Lawrence M. Friedman, seorang ahli sosiologi hukum, yang pertama kali mengemukakan konsep tentang “budaya hukum”. Dalam bukunya yang berjudul “The Legal System: A Social Science Prespective”, Lawrence M. Friedman menjelaskan bahwa untuk dapat melakukan kajian yang holistik tentang hukum dan kenyataan sosial, diperlukan suatu pendekatan empiris yang memungkinkan untuk dapat dilakukan pengamatan terhadap beroperasinya hukum. Untuk itu, hukum harus dipandang sebagai suatu sistem yang memiliki tiga komponen, sebagai berikut :
  • legal structure atau structur hukum, yaitu komponen sistem hukum yang berupa institusi atau penegak hukum, seperti : polisi, hakim, jaksa, pengacara, dan lain sebagainya.
  • legal substantive atau substansi hukum, yaitu komponen sistem hukum yang berupa aturan-aturan dan norma-norma.
  • legal culture atau budaya hukum, yaitu komponen sistem hukum yang berupa ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan, nilai-nilai, harapan, dan pandangan tentang hukum.


Dalam praktik, hubungan antara hukum dan budaya sudah lama dikaji oleh para ahli, diantaranya oleh  Baron de Montesquieu. Dalam bukunya yang berjudul “Esprit des Lois”, yang terbit pada tahun 1748, Baron de Montesquieu menjelaskan bahwa bahwa hukum positif harus mengalami penyesuaian dengan fitur geografis dan budaya masyarakat setempat.

Secara umum, budaya hukum dapat diartikan sebagai keseluruhan sikap masyarakat dan sistem nilai yang ada pada masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Budaya hukum juga dapat berarti keseluruhan faktor- faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima di dalam kerangka budaya masyarakat. Budaya hukum tidak hanya berfungsi sebagai “jiwa” yang akan menghidupkan komponen-komponen lain dalam sistem hukum, akan tetapi juga dapat “mematikan” seluruh mekanisme pelaksanaan hukum yang ditetapkan untuk diberlakukan dalam masyarakat. Melalui budaya hukum akan dapat dilakukan monitoring terhadap tingkat pelaksanaan atau penegakkan hukum dalam masyarakat, apakah hukum itu efektif atau tidak.


Selain itu, terdapat beberapa pendapat dari para ahli yang berkaitan dengan budaya hukum, diantaranya adalah :

1. Eugen Ehrlich.
Eugen Ehrlich, dalam “Fundamental Principles of The Sociology of Law”, menjelaskan bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih lanjut Eugen Ehrlich menjelaskan bahwa pusat perkembangan hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif atau keputusan-keputusan badan yudikatif, akan tetapi terletak di dalam masyarakat itu sendiri, yaitu tata tertib di dalam masyarakat yang didasarkan pada peraturan-peraturan yang diterima oleh masyarakat, bukan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara.

2. Hilman Hadikusuma.
Hilman Hadikusuma, dalam “Antropologi Hukum Indonesia”, menyebutkan budaya hukum merupakan tanggapan yang bersifat penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa hukum, yang merupakan sikap dan perilaku manusia terhadap masalah hukum yang terbawa ke dalam masyarakat. Oleh karena sistem hukum merupakan hubungan yang berkaitan di antara manusia, masyarakat, kekuasaan, dan aturan-aturan, maka titik perhatian dalam budaya hukum adalah perilaku manusia yang terlibat dalam peristiwa hukum. Kaitan antara perilaku hukum manusia dengan budaya hukumnya terletak pada tanggapan terhadap hukum yang ideologis dan hukum yang praktis, yang antara keduanya bertemu dalam peristiwa hukum yang terjadi.

3. Darji Darmodiharjo dan Shidarta.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, dalam “Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia”, menyebutkan bahwa budaya hukum sebenarnya identik dengan kesadaran hukum, yaitu kesadaran hukum dari subyek hukum secara keseluruhan. Lebih lanjut, Darji Darmodiharjo dan Shidarta membedakan antara kesadaran hukum (rechtbewutzijn) dan perasaan hukum (rechtsgevoel). Perbedaan dimaksud adalah : 
  • kesadaran hukum (rechtbewutzijn) merupakan abstraksi mengenai perasaan hukum dari suatu subyek hukum, yang dapat berupa individu, sekelompok individu (masyarakat) dan juga badan hukum tertentu.
  • perasaan hukum (rechtsgevoel) merupakan penilaian masyarakat yang timbul secara spontan, langsung, dan apa adanya.

Budaya hukum yang sehat diwujudkan dalam bentuk kesadaran hukum (rechtsbewustzijn), sedangkan budaya hukum yang tidak sehat (sakit) ditunjukkan melalui perasaan hukum (rechtsgevoel). Budaya hukum yang baik akan berkontribusi membentuk sistem hukum yang sehat, sedangkan budaya hukum yang tidak baik akan mendorong timbulnya sistem hukum yang sakit.

Kesadaran hukum seseorang atau masyarakat dapat diketahui dari beberapa indikator sebagai berikut :
  • law awareness atau pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum, maksudnya adalah mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu diatur oleh hukum (hukum tertulis atau tidak tertulis). Pengetahuan tersebut menyangkut perilaku yang dilarang atau diperbolehkan oleh hukum.
  • law acquaintance atau pengetahuan tentang isi peraturan hukum, maksudnya adalah mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu terutama dari segi isinya.
  • legal attitude atau sikap terhadap peraturan-peraturan hukum, maksudnya adalah mempunyai kecendrungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum. 
  • legal behavior atau pola perilaku hukum, maksudnya adalah berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku.

Keempat indikator tersebut, selain dapat digunakan untuk mengetahui sekaligus mengukur kesadaran hukum seseorang atau masyarakat, juga dapat digunakan sebagai indikator tingkat budaya hukum seseorang atau masyarakat.


Bentuk Budaya Hukum. Budaya hukum dapat dibedakam menjadi beberapa bentuk. Hilman Hadikusuma, menyebutkan bahwa budaya hukum dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :

1. Budaya Parokial.
Budaya parokial (picik) atau “parochial culture” yang ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut :
  • cara berpikir masyarakat masih terbatas.
  • kaidah hukum warisan leluhur pantang diubah.
  • belum banyak diadakan pembagian kerja (pemimpin bertindak serba guna).
  • ketergantungan warga masyarakat pada pemimpin sangat besar.
  • kegiatan pengetahuan sangat kecil, penilaian terhadap sejarah dan penerapan hukum setempat didasarkan pada ingatan, dan semuanya dikembalikan kepada sesepuh adat, kepala adat yang terbatas lokasi pengaruhnya.
  • masukan (input) masyarakat terhadap hukum dan keadilan sangat kecil. Apalagi terhadap konsepsi hukum dan sistem hukum tidak ada sama sekali, semuanya dipercayakan kepada pemimpin, pemimpin merasa dirinya paling pintar, dan merasa ada kekuatan lain yang melindunginya sehingga apa yang diaturnya sudah benar; semua aturan yang merupakan output pemimpin jarang dibantah (takut pada sanksi gaib).


2. Budaya Subyek.
Budaya subyek (takluk) yang ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut :
  • sudah ada kesadaran hukum umum terhadap keluaran penguasa yang lebih tinggi
  • masukan warga masyarakat masih sangat kecil atau belum ada sama sekali karena pengetahuan, pengalaman, dan pergaulan anggota masyarakat terbatas pada ruang lingkup yang kecil atau takut pada ancaman tersembunyi dari penguasa.
  • orientasi pandangan mereka terhadap aspek hukum yang baru sudah ada sikap menerima atau menolak, pengungkapannya secara pasif, tidak terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, karena perilakunya takluk.
  • karena perilakunya takluk, menganggap dirinya tidak berdaya untuk mempengaruhi, apalagi berusaha untuk mengubah sistem hukum, konsepsi hukum, keputusan hukum, norma hukum yang dihadapinya walaupun yang dirasakannya bertentangan dengan kepentingan pribadinya dan masyarakat.
  • merasa kedudukan pribadinya telah ditakdirkan tunduk saja pada susunan hirarkhis masyarakat yang telah digariskan dari atas.
  • mereka merasa tidak berhak mengubah takdir.

3. Budaya Partisipan.
Budaya partisipan (berperan serta) yang ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut :
  • cara berpikir dan perilaku masyarakatnya berbeda-beda.
  • orang-orang sudah merasa mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
  • tidak mau dikucilkan dalam kegiatan, tanggapan terhadap masukan dan keluaran hukum.
  • masyarakat ikut menilai peristiwa hukum dan keadilan, merasa terlibat dalam kehidupan hukum baik yang menyangkut kepentingan umum, keluarga, maupun dirinya sendiri.

Satjipto Rahardjo, dalam “Ilmu Hukum”, menyebutkan bahwa budaya hukum dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu :
  • budaya hukum lokal.
  • budaya hukum umum.

Sedangkan Daniel S. Lev, dalam “Lembaga Peradilan dan Budaya Hukum di Indonesia”, menyebutkan bahwa budaya hukum terdiri atas dua bentuk, yaitu :
  • nilai-nilai hukum prosedural.
  • nilai-nilai hukum substantif.


Budaya hukum adalah unsur dari sistem hukum yang paling sulit untuk dibentuk karena membutuhkan jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini terjadi karena budaya berkaitan dengan nilai-nilai. Apa yang berkaitan dengan nilai, pasti membutuhkan proses internalisasi agar nilai-nilai itu tidak sekadar diketahui, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian dan bentuk budaya hukum (legal culture).

Semoga bermanfaat.