Kekuatan Hukum Putusan Hakim, Serta Teori Tentang Kekuatan Mengikat Putusan Hakim

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Dalam hukum perdata, yang dimaksud dengan putusan hakim atau putusan pengadilan atau dikenal juga dengan sebutan “vonnis” adalah suatu produk dari perkara contensius, yaitu perkara perdata yang mengandung sengketa di antara para pihak yang berperkara, yang pemeriksaan penyelesaiannya diajukan dalam bentuk gugatan. Sedangkan gugatan merupakan suatu surat yang diajukan oleh orang atau pihak atau kuasanya pada ketua pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.

Putusan hakim
juga berarti suatu pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Sudikno Mertokusumo, dalam “Hukum Acara Perdata Indonesia”, menyebutkan bahwa putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

Secara umum, suatu putusan hakim pada hakekatnya adalah :
  • pernyataan hakim karena jabatannya.
  • pernyataan hakim yang diucapkan dalam persidangan perkara perdata yang terbuka untuk umum.
  • bertujuan untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara perdata.
  • dijatuhkan setelah melalui proses dan prosedural hukum acara perdata pada umumnya.
  • dibuat dalam bentuk tertulis.


Kekuatan Hukum Putusan Hakim. Dalam suatu perkara perdata, putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap mempunyai beberapa macam kekuatan. H. Zainuddin Mappong, dalam “Eksekusi Putusan Serta Merta (Proses Gugatan Dan Cara Membuat Putusan Serta Pelaksanaan Eksekusi Dalam Perkara Perdata)”, menyebutkan bahwa putusan hakim dalam perkara perdata mempunyai tiga macam kekuatan, yaitu :

1. Kekuatan Mengikat.
Kekuatan mengikat atau “bindende kracht”, maksudnya adalah suatu putusan hakim dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa atau perkara dan menetapkan hak atau hukumnya atas dasar permintaan dari pihak yang berperkara (penggugat) untuk diselesaikan perkaranya di pengadilan. Terhadap putusan hakim tersebut para pihak yang berperkara harus taat dan tunduk, menghormati, serta menjalankannya dengan sebagaimana mestinya.

Putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum mengikat atau “bindende kracht” tidak bisa ditarik kembali, walaupun ada perlawanan (verzet), banding, atau kasasi. Dengan kata lain para pihak yang berperkara terikat dengan keputusan hakim dimaksud. Terikatnya para pihak yang berperkara terhadap putusan hakim dimaksud menimbulkan beberapa teori yang memberikan dasar tentang kekuatan mengikat dari putusan hakim. 

Teori tentang Kekuatan Mengikat Putusan Hakim. Teori tentang kekuatan mengikat dari putusan hakim, diantaranya adalah :

1.1. Teori Hukum Materiil.
Menurut teori hukum materiil, kekuatan mengikat dari putusan hakim yang umumnya disebut dengan “gezag van gewijisde” mempunyai sifat hukum materiil, karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan. Putusan hakim menurut teori ini, dapat :
  • menetapkan,
  • menghapuskan, atau ;
  • mengubah hubungan hukum,
sehingga putusan merupakan sumber hukum materiil.

Teori hukum materiil hanya mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga. Karena sifatnya yang demikian, dewasa ini teori hukum materiil sudah banyak ditinggalkan. Hal tersebut dikarenakan teori ini tidak memberi wewenang kepada seseorang untuk mempertahankan haknya terhadap pihak ketiga.

1.2. Teori Hukum Acara.
Menurut teori hukum acara, suatu putusan hakim bukanlah merupakan sumber hukum materiil melainkan sumber dari pada wewenang prosesuil. Teori ini juga menyebutkan bahwa putusan hakim menimbulkan akibat yang sifatnya hukum acara, yaitu diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesuil.

Banyak ahli berpendapat bahwa teori hukum acara merupakan ajaran yang sangat sempit. Hal tersebut dikarenakan anggapan dalam teori ini bahwa suatu putusan hakim semata-mata hanyalah sumber wewenang prosesuil, karena menuju kepada penetapan yang pasti tentang hubungan hukum yang merupakan pokok perkara atau sengketa.

1.3. Teori Hukum Pembuktian.
Menurut teori hukum pembuktian, suatu putusan hakim merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan di dalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Teori hukum pembuktian menyebutkan bahwa pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau pasti, tidak diperkenankan atau tidak diperbolehkan (dilarang). Dewasa ini, teori hukum pembuktian sudah tidak banyak penganutnya, karena dianggap sebagai teori yang sudah kuno dan tidak relevan lagi.

1.4. Terikatnya Para Pihak Pada Putusan Hakim.
Menurut teori terikatnya para pihak pada putusan hakim, suatu putusan hakim akan mengikat bagi para pihak yang berperkara. Terikatnya para pihak yang berperkara kepada putusan hakim mengandung dua arti, yaitu :
  • arti positif, maksud positif dari kekuatan mengikat suatu putusan adalah bahwa apa yang telah diputus di antara para pihak berlaku sebagai sesuatu hal yang benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur). Pembuktian lawan tidak dimungkinkan. Terikatnya para pihak pada putusan hakim didasarkan pada ketentuan Pasal 1917 sampai dengan Pasal 1920 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
  • arti negatif, maksud negatif dari kekuatan mengikat suatu putusan adalah bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama. Ulangan dari hal tersebut, tidak akan mempunyai akibat hukum “nebis in idem” (Pasal 134 Rv). Selain itu, kekuatan mengikat dalam arti nagatif juga didasarkan asas “litis finiri oportet” yang menjadi dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum. Dengan kata lain, terikatnya para pihak yang berperkara pada putusan hakim dalam arti yang negative adalah apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi kepada hakim.

Dalam hukum acara perdata di Indonesia, putusan hakim mempunyai kekuatan hukum mengikat baik dalam arti positif maupun dalam arti negatif.

1.5. Kekuatan Hukum yang Pasti.
Menurut teori kekuatan hukum yang pasti, suatu putusan hakim memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (inkracht van gewisjde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Yang termasuk dalam upaya hukum biasa adalah perlawanan (verzet), banding, dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga.


2. Kekuatan Pembuktian.
Kekuatan pembuktian atau “bewijzende kracht”, maksudnya adalah suatu putusan hakim dituangkan dalam bentuk tertulis yang merupakan akta autentik, yang bertujuan untuk dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berperkara, baik untuk mengajukan banding, kasasi, atau pelaksanaannya.

Dalam hukum pembuktian, putusan hakim merupakan suatu hal diperoleh atau diputuskan berdasarkan kepastian tentang suatu peristiwa, karena setiap sarana yang memberi kejelasan atau kepastian sesuatu peristiwa mempunyai kekuatan pembuktian, walaupun putusan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga, tetapi mempunyai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga.


3. Kekuatan Eksekutorial.
Kekuatan eksekutorial atau “executoriale kracht”, maksudnya adalah suatu putusan hakim dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya, terutama putusan hakim tersebut harus dapat diselesaikan atau dilaksanakan atau dieksekusi, meskipun secara paksa. Putusan hakim belum cukup mempunyai kekuatan mengikat dan tidak berarti, apabila putusan dimaksud tidak (tidak dapat) direalisasikan atau dilaksanakan, karena pada prinsipnya, putusan hakim menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisasikan. Putusan hakim yang demikian itulah yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut oleh alat negara.

Suatu putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, apabila di dalam kepala putusan yang dibuat secara tertulis memuat title eksekutorial, yaitu : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal tersebut sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa :

(1) Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.



Demikian penjelasan berkaitan dengan kekuatan hukum putusan hakim serta teori tentang kekuatan mengikat putusan hakim.

Semoga bermanfaat.