Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), pasal-pasal yang berkaitan dengan tindak pidana, dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu :
- Kejahatan (diatur dalam Buku II KUH Pidana). Dalam perumusan pasal-pasal tentang kejahatan, selalu disebutkan unsur kesalahan yaitu berupa kesengajaan (dolus) dari pihak pelaku tindak pidana.
- Pelanggaran (diatur dalam Buku III KUH Pidana). Dalam perumusan pasal-pasal tentang pelanggaran, tidak disebutkan adanya unsur kesalahan, baik kesengajaan maupun kealpaan (culpa).
Perumusan pasal-pasal yang berkaitan dengan “pelanggaran” tersebut (dalam Buku III KUH Pidana), menimbulkan suatu pendapat yang berbeda dari para ahli :
- sebagian ahli berpendapat bahwa dalam hal “pelanggaran”, seorang dihukum hanya karena melakukan perbuatan tanpa adanya kesalahan (materiel feit, fait meterielle).
- sebagian ahli yang lain berpendapat bahwa tidak mungkin seorang dihukum tanpa adanya kesalahan sedikitpun.
Untuk mengakhiri perbedaan pendapat tersebut, pada tanggal 14 Februari 1916, Pengadilan Tinggi di Belanda (Hoge Raad) mengeluarkan suatu putusan, yang pada intinya secara tegas membenarkan pendapat yang kedua, yaitu “tidak ada pemidanaan, tanpa adanya kesalahan” atau “geen straf zonder schuld”.
Baca juga : Pengertian Kesalahan (Schuld) Dalam Hukum Pidana
Dengan demikian, dalam menjatuhkan suatu pidana, hakim wajib memiliki keyakinan bahwa terdakwa telah terbukti berbuat kesalahan. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan kesalahan ? Secara umum, kesalahan atau yang dalam bahasa Belanda disebut “schuld” adalah suatu tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang seharusnya dapat dihindari. Suatu perbuatan dapat dikatakan mengandung kesalahan, apabila memenuhi beberapa unsur sebagai berikut :
- adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, maksudnya keadaan jiwa si pembuat harus normal.
- adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut bentuk-bentuk kesalahan.
- tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Kesalahan dapat terjadi karena dua hal, yaitu :
- ketidak-sengajaan, merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan tidak dengan suatu kehendak mengenai kelanjutan perbuatannya atau akibatnya.
- kesengajaan, merupakan suatu tindakan atau perbuatan terlarang yang dilakukan sesuai dengan kehendaknya atau akibat yang ditimbulkan seperti yang dikehendakinya.
Batasan kesalahan adalah perbuatan yang mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, berarti perbuatan tersebut dapat dicelakan kepadanya. Pencelaan dalam hal ini bukanlah pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku untuk adanya kesalahan.
Baca juga : Istilah Perbuatan Pidana Dan Strafbaar Feit
Berdasarkan hal tersebut di atas, menentukan adanya kesalahan adalah sesuatu hal yang penting dalam hukum pidana. Ada atau tidaknya kesalahan, serta macam kesalahan akan menentukan dapat atau tidaknya pelaku dipidana dan menentukan pula berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku. Asas geen straf zonder schuld atau “tidak ada pemidanaan, tanpa adanya kesalahan”, menggambarkan dengan jelas bahwa ada hubungan yang erat antara kesalahan dan pemindanaan.
Asas geen straf zonder schuld berkaitan dengan criminal responsibility atau criminal liability, yaitu bentuk pertanggungjawaban pidana. Menurut :
- Romli Atmasasmita, dalam "Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan : Geen Straf Zonder Schuld", menyebutkan bahwa asas geen straf zonder schuld menggandung arti bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana.
- Masruchin Ruba'i, dalam "Asas-Asas Hukum Pidana", menyebutkan bahwa berkaitan dengan asas geen straf zonder schuld, pemidanaan baru dapat dilakukan apabila orang yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
Baca juga : Alasan Penghapusan Pidana
Asas geen straf zonder schuld tidak dituangkan di dalam pasal-pasal KUH Pidana Indonesia, tetapi dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa :
“Tiada seorangpun yang dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduh atas dirinya.”
Demikian penjelasan berkaitan dengan asas geen straf zonder schuld.
Semoga bermanfaat.