Saddu al-Dzari'ah : Pengertian, Ketentuan, Dan Pengelompokkan Saddu al-Dzari'ah, Serta Pandangan Para Ulama Tentang Saddu al-Dzari'ah

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Saddu al-Dzari’ah. Allah berfirman dalam QS. Al An'am : 108, yang artinya :

Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan”.

Dalam QS. Al An’am : 108 tersebut menjelaskan bahwa mencaci atau memaki sesembahan selain Allah merupakan dzari'ah yang akan menimbulkan mafsadah. Sehingga Allah melarang untuk memaki sesembahan selain Allah, karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah bahkan mungkin lebih, maka perbuatan tersebut menjadi dilarang.

Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal tersebut karena tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah).
  • Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum yang demikian dikenal dengan istilah saddu al-dzari’ah (sadd adz-dzari’ah).
  • Jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Metode hukum yang demikian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.

Secara etimologi, istilah saddu al-dzari’ah berasal dari bahasa Arab, yaitu sadd adz-dzari’ah yang terdiri dari dua kata, "sadd" yang berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak, dan "adz-dzari’ah" yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Berdasarkan pengertian tersebut, saddu al-dzari’ah atau sadd adz-dzari’ah dapat berarti menutup jalan terjadinya kerusakan.

Sedangkan secara terminologi, saddu al-dzari’ah dapat diartikan sebagai mencegah sesuatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan kerusakan (al-mafsadah), apabila perbuatan dimaksud akan menimbulkan kerusakan. Pencegahan terhadap kerusakan dilakukan karena perbuatan tersebut bersifat terlarang. Ibnu Qayyim mengartikan saddu dzari’ah dengan segala sesuatu yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu. Saddu al-dzari’ah juga dapat berarti suatu usaha yang sungguh-sungguh darri seorang mujtahid untuk menetapkan hukum dengan melihat akibat hukum yang ditimbulkan yaitu dengan menghambat sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan.


Ketentuan dalam Saddu al-Dzari’ah. Menurut Nasrun Haroen, dalam "Ushul Fiqh I", disebutkan bahwa setiap perbuatan manusia mengandung dua sisi, yaitu :
  • sisi yang mendorong untuk berbuat.
  • sasaran atau tujuan yang menjadi natijah (kesimpulan/akibat) dari perbuatan tersebut. Sedangkan menurut natijahnya, perbuatan dapat dibedakan menjadi 2 bentuk, yaitu : 1. natijahnya baik, maka segala sesuatu yang mengarah kepadanya adalah baik dan oleh karenanya dituntut untuk mengerjakannya. 2. natijahnya buruk, maka segala sesuatu yang mendorong kepadanya adalah juga buruk, dan karenanya dilarang.

Berdasarkan hal tersebut, Syarmin Syukur, dalam "Sumber-Sumber Hukum Islam", menyebutkan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan saddu al-dzari’ah untuk menetapkan hukum (jalan/sarana), yaitu sebagai berikut :
  • tujuan. Jika tujuannya dilarang, maka jalannyapun dilarang dan sebaliknya jika tujuannya wajib, maka jalannyapun diwajibkan.
  • niat atau motif. Jika niatnya untuk mencapai yang halal, maka hukum sarananya halal dan sebaliknya jika niat yang ingin dicapai haram, maka sarananyapun haram.
  • akibat dari suatu perbuatan. Jika akibat suatu perbuatan menghasilkan kemaslahatan seperti yang diajarkan syari’ah, maka wasilah hukumnya boleh dikerjakan dan sebaliknya jika akibat perbuatan adalah kerusakan, walaupun tujuannya demi kebaikan, maka hukumnya tidak boleh.


Pengelompokkan Saddu al-Dzari’ah. Saddu al-dzari’ah dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian yang didasarkan pada :

1. Akibat atau dampak yang ditimbulkan.
Berdasarkan akibat atau dampak yang ditimbulkan-nya, Ibnu Qayyim berpendapat bahwa al-dzari’ah dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
  • suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah).
  • suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi suatu keburukan (mafsadah).
  • suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak sengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih.
  • suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya.

2. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan.
Berdasarkan tingkat kerusakan yang ditimbulkannya, Abu Ishaq al-Syathibi berpendapat bahwa al-dzari’ah dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu :
  • perbuatan yang membawa kerusakan secara pasti.
  • perbuatan yang kemungkinan besar mengakibatkan kerusakan.
  • perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemslahatan.
  • perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan. Tetapi dilihat dari pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang.

3. Kesepakatan ulama.
Berdasarkan kesepakatan para ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi berpendapat bahwa al-dzari’ah dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu :
  • sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana teradinya suatu perbuatan yang diharamkan.
  • sesuatu yang disepakati untuk dilarang.
  • sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan.


Pandangan Para Ulama tentang Saddu Dzari’ah. Terdapat perbedaan pandangan di antara para ulama berkaitan dengan saddu dzari’ah, terutama berkaitan dengan kehujjahan atau kedudukan dari saddu dzari’ah sebagai dalil atau sumber hukum dalam Islam. Ibnu Taimiyyah berpandangan bahwa saddu al-dzari'ah dapat digunakan sebagai dalil untuk menetapkan hukum syar'i. Pendapat Ibnu Taimiyyah tersebut dilandaskan pada HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud, yang artinya :

"Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang, "Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya?" Rasulullah menjawab, "Seseorang mencaci-maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci-maki orang itu, dan seseorang mencaci-maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicaci-maki orang itu."


Hadits di atas, menurut Ibnu Taimiyyah menunjukkan bahwa saddu al-dzari’ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum syar'i, karena sabda Rasulullah SAW tersebut sifatnya masih dugaan, namun dasar dugaan itu Rasulullah SAW melarangnya.

Selain pendapat dari Ibnu Taimiyyah tersebut, berikut beberapa pandangan para ulama berkaitan dengan saddu al-dzari’ah :
  • Imam Malik dan Imam Ahmad Dzari’ah, berpandangan bahwa saddu al-dzari’ah adalah salah satu dalil fiqih.
  • Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, berpandangan bahwa saddu al-dzari’ah merupakan seprempat agama.
  • Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, berpandangan bahwa pada keadaan tertentu saddu al-dzari’ah dapat digunakan, tetap dalam keadaan yang lain menolaknya.
  • Ibnu Hazm al-Zahiri, berpandangan bahwa saddu al-dzari’ah secara mutlak tidak dapat digunakan sebagai salah satu dalil hukum islam. Ibnu Hazm al-Zahiri mengatakan bahwa segolongan orang mengharamkan beberapa perkara dengan jalan ikhtiyath dan karena khawatir menjadi wasilah kepada yang benar-benar haram.

Baca juga : Pengertian Istishab

Ditempatkannya saddu al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum meskipun masih diperselisihkan penggunaannya oleh para ulama, mengandung arti bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, tetapi karena perbuatan tersebut ditetapkan sebagai sarana (washilah) dari suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal tersebut menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum washilah tersebut adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok.

Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian saddu al-dzuri’ah, ketentuan dan pengelompokkan saddu al-dzuriah, serta pandangan para ulama berkaitan dengan saddu al-dzuriah.

Semoga bermanfaat.