Putusan provisi atau provisionil sudah biasa dikenal dalam praktek hukum acara perdata. Putusan provisi ini tergolong dalam kategori putusan sela. Putusan provisi dijatuhkan oleh hakim karena adanya permohonan penggugat kepada pengadilan agar mengeluarkan tindakan hukum sementara dengan maksud untuk mencegah suatu kerugian yang semakin besar bagi penggugat dan memudahkan pelaksanaan putusan hakim jika penggugat dimenangkan. Oleh karenanya, tindakan sementara ini diperintahkan pelaksanaannya terlebih dahulu sedangkan perkara masih berjalan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan putusan provisi adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sehubungan dengan tuntutan dalam pokok perkara, dan sementara itu diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak atau keduabelah pihak.
Prof. Sudikno Mertokusumo mengartikan putusan provisi sebagai putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan ahir dijatuhkan.
Sedangkan Dr. Lilik Mulyadi, menjelaskan bahwa putusan provisi dan penetapan sementara bersifat segera dan mendesak. Antara putusan povisi dan penetapan sementara mempunyai nuansa yuridis yang identik. Apabila putusan provisi dituangkan dalam bentuk putusan sela, maka hakekatnya identik dengan penetapan sementara. Penetapan sementara adalah penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan berupa perintah yang harus ditaati semua pihak terkait berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemohon, guna mengamankan dan mencegah penghilangan barang bukti oleh pelanggar dan menghentikan pelanggaran untuk mencegah kerugian yang lebih besar.
Aturan tentang putusan provisi tidak diatur secara tegas, melainkan secara implisit yaitu dalam Pasal 180 ayat 1 HIR (Het Herziene Indlandsch Reglement) dan Pasal 191 ayat 1 RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten).
Pasal 180 ayat 1 HIR, berbunyi sebagai berikut :
- Biarpun orang membantah keputusan hakim atau meminta banding, pengadilan boleh memerintahkan supaya putusan hakim itu dijalankan dulu, jika ada suatu tanda alas hak yang otentik atau suatu surat yang menurut peraturan beoleh diterima sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan keputusan hakim yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, atau jika dikabulkan tuntutan sementara, pula dalam hal perselisihan tentang besit.
Pasal 191 ayat (1) RBg, berbunyi sebagai berikut :
- Pengadilan negeri dapat memerintahkan pelaksanaan putusannya meskipun ada perlawanan atau banding jika ada bukti yang otentik atau ada surat yang ditulis dengan tangan yang menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku mempunyai kekuatan pembuktian, atau karena sebelumnya sudah ada keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, begitu juga jika ada suatu tuntutan sebagian yang dikabulkan atau juga mengenai sengketa tentang hak besit.
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 185 HIR disebutkan bahwa :
- Putusan provisionil yaitu keputusan atas tuntutan supaya di dalam hubungan pokok perkaranya dan menjelang pemeriksaan pokok perkara itu, sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Keputusan yang demikian itu banyak digunakan di dalam pemeriksaan singkat.
Sebagaiman putusan sela lainnya, putusan provisi bersifat sementara sampai adanya putusan akhir yang nantinya memutuskan bagaimana pokok perkara yang bisa memutus menolak, mengabulkan, dan tidak dapat menerima. Putusan provisi dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan atau permohonan atas pokok perkara atau dapat juga dilakukan secara terpisah, yaitu dengan permohonan yang diajukan secara lisan atau tertulis setelah permohonan atas pokok perkara diajukan ke pengadilan. Dengan demikian,
- jika permohonan diajukan bersama-sama atau digabung, maka dasar permohonan (fundamentum petendi) dan pokok permohonan (petitum) diajukan bersama-sama sebagai satu kesatuan.
- jika permohonan diajukan secara terpisah, maka setelah permohonan atas pokok perkara diajukan, selanjutnya permohonan provisi diajukan tersendiri, dengan disertai dasar permohonan (fundamentum petendi) dan pokok permohonan (petitum) yang jelas.
Dalam praktek peradilan perdata, putusan provisi hanya dapat dilakukan oleh hakim pada tingkat pertama dan tidak dapat diajukan kepada pengadilan di tingkat banding.
Syarat formil yang harus dipenuhi dalam pengajuan gugatan provisi antara lain :
- harus memuat dasar alasan permintaan yang menjelaskan urgensi dan relevansinya.
- mengemukakan dengan jelas tindakan sementara apa yang harus diputuskan.
- gugatan provisi tidak boleh menyangkut pokok perkara.
Apabila terdapat gugatan provisi maka akan didahulukan pemeriksaan gugatan provisi, yang dilakukan dengan prosedur singkat.
Putusan provisi dapat berupa, sebagai berikut :
- Gugatan provisi tidak diterima, yaitu apabila gugatan provisi bukan tindakan sementara tetapi sudah masik ke dalam pokok perkara.
- Gugatan provisi ditolak, yaitu apabila gugatan provisi tidak ada kaitannya dengan pokok perkara atau tidak ada urgensinya, karena secara pbyektif apa yang dituntut tidak perlu dilakukan, oleh karena itu gugatan ditolak.
- Gugatan provisi dikabulkan, yaitu apabila gugatan provisi berkaitan erat dengan pokok perkara dan jika tidak diambil tindakan sementara akan menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Atas putusan provisi tersebut dapat dimintakan upaya hukum banding, dengan ketentuan harus sudah diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah diucapkan oleh hakim pada peradilan tingkat pertama, atau sejak diberi-tahukannya putusan provisi kepada para pihak.
Semoga bermanfaat.