Hak Penguasaan Atas Tanah

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Hukum agraria merupakan suatu kaidah hukum yang mengatur tentang bumi, air, dalam batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terdapat di dalam bumi, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Hukum agraria di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Dalam UUPA terkandung dua pengertian tentang agraria, yaitu : 

1. dalam arti luas
Dalam arti luas, pengertian agraria meliputi bumi, air, dan ruang angkasa. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUPA, yang menyebutkan bahwa :
  • "Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional". 

2. dalam arti sempit.
Dalam arti sempit, pengertian agraria adalah tanah. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UUPA, yang menyebutkan bahwa : 
  • "Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum".
Lebih lanjut diuraikan bahwa hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UUPA tersebut meliputi : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.

Sedangkan berkaitan dengan hak atas air dan ruang angkasa meliputi hak guna air, hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, serta hak guna ruang angkasa.

Baca juga : Pengertian Hak Pakai Atas Tanah Serta Tata Cara Peningkatan (Mengubah) Status Tanah Dari Hak Pakai Menjadi Hak Milik

Hak Penguasaan Atas Tanah. Hukum agraria Indonesia (UUPA) membagi hak atas tanah dalam dua bentuk, yaitu :
  • hak primer, merupakan hak yang bersumber langsung pada hak bangsa Indonesia, dapat dimiliki perorangan atau badan hukum. Yang termasuk hak atas tanah primer adalah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai.
  • hak sekunder, merupakan hak yang tidak bersumber langsung dari hak bangsa Indonesia. Sifat dan penikmatan hak sekunder ini adalah sementara. Yang termasuk dalam hak atas tanah sekunder adalah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa, serta hak  guna bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh pemilik tanah.  
Pengertian "penguasaan" dan "menguasai" dapat digunakan dalam arti "fisik" maupun dalam arti "yuridis", yang nantinya akan berimplikasi pada aspek perdata atau aspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis yaitu penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum yang pada umumnya  memberi kewenangan pada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. 

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun 1945 (UUD 1945), penguasaan atas tanah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, menyebutkan bahwa : 
  • "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". 

Sedangkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUPA, menyebutkan bahwa :
  • "Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat".

Selanjutnya ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UUPA, menyebutkan bahwa : "Hak menguasai dari negara termaksud dalam Ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk :
  • mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.
  • menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
  • menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa".

Dalam ketentuan Pasal 33 Ayat (1)  UUD 1945 maupun dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan (2) UUPA tersebut, pengertian "dikuasai" dan "menguasai" sebagaimana tersebutkan dalam pasal-pasal tersebut di atas, dipakai dalam aspek publik.

Baca juga : Pengertian Hak Guna Usaha

Hierarki hak penguasaan atas tanah dalam hukum agraria Indonesia (UUPA) adalah sebagai berikut : 

1. Hak Bangsa Indonesia.
Hak penguasaan atas tanah sebagai hak bangsa Indonesia merupakan hak penguasaan tanah yang tertinggi, yang berimplikasi pada aspek perdata dan publik. Hak penguasaan atas tanah sebagai hak bangsa Indonesia, dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 UUPA, yang menyebutkan bahwa : 
  • (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
  • (2) Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah buni, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
2. Hak Menguasai dari Negara.
Hak penguasaan atas tanah sebagai hak menguasai dari negara, yang berimplikasi pada aspek publik. Hak penguasaan atas tanah sebagai hak menguasai dari negara dijelaskan dalam ketentuan Pasal 2 UUPA tersebut di atas. Oloan Sitorus menyebutkan bahwa kewenangan negara dalam bidang pertanahan merupakan bentuk pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama yang merupakan kekayaan nasional. 

Baca juga : Perjanjian Utang Piutang

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Hak penguasaan atas tanah sebagai hak ulayat masyarakat hukum adat, yang berimplikasi pada aspek perdata dan publik. Hak penguasaan atas tanah sebagai hak ulayat masyarakat hukum adat, dijelaskan dalam ketentuan Pasal 3 UUPA, yang menyebutkan bahwa :
  • "Dengan mengingat ketentan-ketentua dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi".

Hak ulayat masyarakat hukum adat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Boedi Harsono menyebutkan bahwa hak ulayat hukum adat dinyatakan masih ada apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
  • masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum adat tertentu yang merupakan suatu masyarakat hukum adat.
  • masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum adat tersebut yang disadari sebagai tanah kepunyaan bersama para warga sebagai "lebensraum"-nya.
  • masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan melakukan kegiatannya sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat.
4. Hak Perorangan/Individu.
Hak penguasaan atas tanah sebagai hak perorangan atau individu, yang berimplikasi pada aspek perdata, terdiri dari :

a. Hak-hak atas tanah.
Hak-hak atas tanah sebagai hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 16 dan 53 UUPA.

b. Wakaf.
Wakaf, menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor : 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, diartikan sebagai perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Hal tersebut dijelaskan dalam ketentuan Pasal 49 UUPA, yang menyebutkan bahwa :
  • (1) Hak milik badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula untuk memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidag keagamaan dan sosial.
  • (2) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai.
  • (3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

c. Hak Jaminan Atas Tanah.
Hak jaminan atas tanah disebut juga dengan Hak Tanggungan. Hal tersebut dijelaskan dalam ketentuan :
  • Pasal 25 UUPA, menyebutkan bahwa : "Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan".
  • Pasal 39 UUPA, menyebutkan bahwa : "Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan". 
  • Pasal 51 UUPA, menyebutkan bahwa : "Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan undang-undang".
Demikian penjelasan berkaitan dengan hak penguasaan atas tanah sebagaimana dijelaskan dalam hukum agraria Indonesia (Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria).

Semoga bermanfaat.