Upaya Hukum Terhadap Penetapan Pengadilan

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu melawan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan atau tidak memenuhi rasa keadilan. Upaya hukum dibedakan menjadi dua bagian yaitu :
  1. upaya hukum biasa, merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan hukum tetap, yang meliputi : perlawanan (verzet), banding, dan kasasi.
  2. upaya hukum luar biasa, biasa dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan pada asasnya upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi. Upaya hukum luar biasa meliputi : peninjauan kembali (request civil) dan perlawanan pihak ketiga  terhadap sita eksekutorial (danderverzet).

Baca juga : Mengajukan Gugatan Di Pengadilan

Dari hasil pemeriksaan pengadilan oleh hakim akan keluar tiga produk hukum, yaitu :
  • Putusan, adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
  • Penetapan, adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).
  • Akta perdamaian, adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.

Baca juga : Upaya Hukum Banding

Upaya Hukum Terhadap Penetapan Pengadilan. Penetapan atau ketetapan (beschikking, decree) merupakan putusan hakim yang di dalamnya memuat tentang pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan.  Diktum dalam suatu putusan hakim tentang penetapan atau ketetapan mempunyai tiga sifat, yaitu :
  • deklarator, yaitu hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta.
  • pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum condemnatoir atau yang mengandung hukuman terhadap siapapun.
  • diktum tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan perjanjian, menyatakan sebagai pemilik atas sesuatu barang, dan lain sebagainya. 

Baca juga : Upaya Hukum Kasasi

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terdapat bebarapa pasal yang menjelaskan tentang penetapan dan akibat hukumnya, sebagai contoh apa yang disebutkan dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan penetapan perwalian, yaitu sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 360 Ayat (1) KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
  • (1) Pengangkatan seorang wali atas permintaan keluarga sedarah anak yang belum dewasa, atas permintaan para kreditur atau pihak lain yang berkepentingan, atas permintaan Balai Harta Peninggalan, atas tuntutan jawatan kejaksaan, ataupun karena jabatan, oleh Pengadilan Negeri yang di daerah hukumnya anak belum dewasa itu bertempat tinggal.

2. Ketentuan Pasal 364 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
  • Ketetapan-ketetapan Pengadilan Negeri tentang perwalian tidak bisa dimintakan banding, kecuali ada ketentuan sebaliknya.
Berkaitan dengan penetapan perwalian tersebut, Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan, dalam putusannya tertanggal 1 Maret 1952, Nomor : 120 Tahun 1950 telah memutuskan berkaitan dengan permohonan banding atas putusan Pengadilan Negeri tentang pengangkatan perwalian berdasarkan ketentuan Pasal 360 KUH Perdata (BW), dengan putusan :
  • dinyatakan niet ontvankelijke verklaard atau tidak dapat diterima, karena menuntut ketentuan Pasal 364 KUH Perdata sendiri dengan tegas mengatakan, bahwa banding atas pengangkatan wali tidak dapat dimohonkan banding.

Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa suatu penetapan pengadilan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir. Dengan keadaan yang demikian, maka dapat ditegaskan pula bahwa terhadap putusan pengadilan yang merupakan penetapan tidak dapat diadakan upaya hukum banding. Dengan begitu, upaya hukum terhadap penetapan pengadilan dapat dilakukan melalui upaya hukum kasasi.  

Dalam ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa :
  • (1) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
  • (2) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.

Dalam penjelasan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tersebut disebutkan bahwa :
  • (1) Pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya putusan pengadilan tingkat pertama yang oleh undang-undang tidak dapat dimohonkan banding.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagaimana dalam praktek yang berlaku, penetapan yang dijatuhkan dalam perkara perdata yang berbentuk permohonan atau voluntair, pada umumnya merupakan putusan yang bersifat tingkat pertama dan terakhir. Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama yang bersifat pertama dan terakhir, tidak dapat diajukan banding. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan terhadap keluarnya penetapan pengadilan tersebut adalah upaya hukum kasasi.

Demikian penjelasan berkaitan dengan upaya hukum terhadap penetapan pengadilan

Semoga bermanfaat.