Upaya Hukum Banding

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa. Hakim adalah manusia biasa, maka dalam menjatuhkan suatu putusan dimungkinkan hakim membuat kesalahan, oleh karena itu pembuat undang-undang mengadakan suatu lembaga yang disebut banding. Dengan adanya lembaga banding ini dimungkinkan bagi pihak yang dikalahkan dalam persidangan di Pengadilan Negeri untuk mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi.

Dengan diajukannya permohonan banding, maka perkara menjadi mentah kembali. Putusan Pengadilan Negeri tidak dapat dilaksanakan, kecuali apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, atau putusan tersebut adalah suatu putusan provisionil. Dalam proses banding, yang diperiksa oleh hakim Pengadilan Tinggi adalah semua surat-surat atau berkas-berkasnya. Dalam pengadilan banding, sangat jarang terjadi hakim memeriksa tergugat dan penggugat. Tergugat dan penggugat akan diperiksa oleh hakim Pengadilan Tinggi apabila hakim yang menangani permohonan banding tersebut menganggap bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri belum sempurna, dan menjatuhkan putusan sela dengan maksud untuk memperlengkapi pemeriksaan tersebut sendiri. 

Jika pemeriksaan perkara dianggap kurang lengkap, sehingga perlu dilengkapi, maka berkas perkara akan dikirim kembali ke Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk dilengkapi atau bisa juga Pengadilan Tinggi akan melakukan pemeriksaan tambahan sendiri. Untuk memerintahkan hal tersebut akan dijatuhkan suatu putusan sela, yang dengan jelas memuat hal-hal yang dianggap kurang dan perlu ditambah pemeriksaannya. Namun pada umumnya, seandainyapun dilakukan pemeriksaan tambahan berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi, pemeriksaan tersebut akan dilakukan oleh Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Pengadilan Tinggi dalam taraf banding akan meneliti apakah apakah pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri tersebut telah dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh undang-undang, selain itu juga akan diperiksa apakah putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri sudah tepat dan benar atau putusan tersebut adalah salah sama sekali atau kurang tepat. Dalam hal putusan Pengadilan Negeri dianggap telah benar, maka hakim Pengadilan Tinggi akan menguatkan putusan Pengadilan Negeri tersebut. Sedangkan apabila putusan Pengadilan Negeri tersebut dianggap salah, maka putusan tersebut akan dibatalkan dan hakim Pengadilan Tinggi akan memberi peradilan sendiri atau memberikan putusan yang lain yang berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri. 

Perihal banding semula diatur dalam pasal 188 sampai dengan pasal 194 H.I.R untuk Jawa dan Madura dan dalam pasal 199 sampai dengan pasal 205 R.Bg untuk daerah di luar Jawa dan Madura yang dengan adanya Undang-Undang Nomor : 1 tahun 1951 (semula Undang-Undang Darurat Nomor : 1 tahun 1951) semua ketentuan-ketentuan tersebut di atas dihapuskan atau tidak berlaku lagi. Peradilan banding yang saat ini berlaku adalah didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 20 tahun 1947 yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. 

Permohonan banding dapat diajukan oleh salah satu pihak atau oleh kedua belah pihak. Hal tersebut berarti bahwa permohonan banding yang diajukan oleh salah salah satu pihak, tidak menutup kemungkinan bagi pihak yang lain untuk mengajukan permohonan banding juga. Dalam ketentuan pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947 tersebut menyebutkan bahwa yang bisa mengajukan permohonan banding adalah pihak yang berkepentingan. Maksudnya adalah bahwa pihak yang dikalahkan yaitu yang gugatannya ditolak atau dikabulkan sebagian atau yang gugatannya dinyatakan tidak dapat diterima, yang dapat mengajukan permohonan banding.

Pemeriksaan banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi yang berkuasa dalam daerah hukumnya masing-masing. Permohonan untuk pemeriksaan banding harus disampaikan dengan surat atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan tersebut. Permohonan banding dapat diajukan sendiri oleh pihak yang berkepentingan atau oleh kuasanya, yaitu orang yang telah diberi kuasa khusus untuk mengajukan permohonan banding. 

Permohonan banding diajukan dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, yaitu sebagai mana ketentuan pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor : 20 tahun 1947, yang menyatakan bahwa permohonan banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung mulai hari berikutnya setelah pengumuman putusan kepada yang berkepentingan. Bagi pemohon banding yang tidak berdomisili di daerah tempat Pengadilan Negeri tersebut bersidang, waktu yang diberikan untuk mengajukan permohonan banding adalah 30 hari.

Permohonan banding hanya dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri, sedangkan yang bersifat penetapan, yaitu putusan declatoir yang diberikan hakim Pengadilan Negeri atas suatu surat permohonan, seperti penetapan ahli waris, penetapan wali, atau penetapan lainnya tidak dapat diajukan permohonan banding, melainkan yang bersangkutan harus langsung mengajukan permohonan kasasi.

Semoga bermanfaat.