Kekuatan Hukum Surat Perjanjian Yang Dibuat Tanpa Meterai

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Selama ini banyak yang salah paham tentang fungsi meterai dalam kaitannya dengan surat perjanjian. Sebagian dari masyarakat beranggapan bahwa suatu surat perjanjian yang dibuat yang tidak dibubuhi meterai adalah tidak sah atau tidak berlaku. Benarkah demikian ? Untuk menjawab hal tersebut, pertama-tama perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan perjanjian dan apa yang menjadi syarat sah-nya suatu perjanjian.

Pada prinsipnya, perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), disebutkan bahwa :
  • Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.


Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dikatakan sah dan mengikat para pihak pembuatnya apabila memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.  Pasal 1320 KUH Perdata, menyebutkan bahwa : "Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
  3. Suatu hal tertentu.
  4. Suatu sebab yang halal".

Dua syarat yang pertama, yaitu :
  • sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
  • kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; 

disebut syarat subyektif perjanjian, karena mengenai orang-orangnya atau subyek yang mengadakan atau membuat perjanjian. Apabila syarat subyektif perjanjian tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak pembuatnya.  

Sedangkan dua syarat selanjutnya, yaitu :
  • suatu hal tertentu, 
  • suatu sebab yang halal ; 

disebut syarat obyektif perjanjian, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perjanjian yang dilakukan itu. Apabila syarat obyektif perjanjian tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Atau dengan kata lain dianggap tidak pernah ada perjanjian.

Dari apa yang disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian (surat perjanjian) yang dibuat oleh para pihak dengan tanpa membubuhi meterai dalam surat perjanjian tersebut adalah tetap sah dan mengikat bagi para pihak pembuatnya. Hal tersebut dikarenakan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur tentang syarat-syarat sah-nya suatu perjanjian tidak menyebutkan bahwa meterai merupakan salah satu syarat sah-nya suatu perjanjian.


Lantas, bagaimana kekuatan hukum surat perjanjian yang dibuat dengan tanpa meterai sebagai alat bukti di pengadilan ? 

Kembali lagi, untuk menjawab hal tersebut kita mesti berpatokan pada ketentuan yang diatur KUH Perdata khususnya yang mengatur tentang surat sebagai alat bukti. Salah satu fungsi surat (akta) yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Ketentuan Pasal 1867 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
  • Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.

Ketentuan Pasal 1867 KUH Perdata tersebut mengandung arti bahwa suatu akta (surat) terdiri dari dua macam, yaitu :

1. Akta Otentik (Resmi).
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta tersebut. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
  • Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Suatu akta disebut sebagai akta otentik, apabila memenuhi ciri-ciri (ciri-ciri akta otentik) sebagai berikut :
  • bentuknya tertentu, sesuai dengan ketentuan undang-undang.
  • dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu.
  • bisa dijadikan alat bukti kuat di pengadilan.

Kekuatan pembuktian akta otentik. Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang mempunyai hak dari para pihak. Apabila dalam suatu perkara hukum, para pihak mengajukan akta otentik sebagai bukti, maka hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta tersebut sungguh-sungguh terjadi, dengan demikian hakim tidak boleh memerintahkan untuk penambahan pembuktian lagi.

2. Akta Bawah Tangan (Onderhands).
Akta bawah tangan adalah akta yang dibuat, dipersiapkan, dan ditanda-tangani oleh para pembuatnya, tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang atau notaris. Dikatakan sebagai akta bawah tangan apabila berciri-cirikan (ciri-ciri akta bawah tangan) :
  • format akta bebas atau tidak baku.
  • dibuat sendiri oleh para pihak yang berkepentingan atau dibuat oleh orang atau pejabat yang tidak ditunjuk secara hukum.
  • saksi-saksi bisa siapapun.

Kekuatan pembuktian akta bawah tangan. Apabila suatu akta bawah tangan tidak disangkal oleh salah satu (atau para pihak) pembuatnya, maka berarti mereka mengakui kebenaran atas apa yang tertulis di dalam akta bawah tangan tersebut. Dengan demikian akta bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta otentik. 

Dalam kaitannya dengan surat sebagai alat bukti, penggunaan meterai sangat terkait erat dengan akta bawah tangan. Dalam Undang-Undang Nomor : 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (yang pada tanggal 29 September 2020 lalu, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Bea Meterai menjadi Undang-Undang sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor : 13 Tahun 1985 tersebut, yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2021), disebutkan bahwa :
  • terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterai
 
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa suatu surat perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tidak dibubuhi (tidak ada) meterai, maka akan berakibat surat perjanjian yang dibuat tersebut tidak memenuhi persyaratan untuk dipergunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan. Sedangkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak berkaitan dengan isi perjanjian tetap sah dan mengikat para pihak. 


Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara supaya surat perjanjian yang dibuat dengan tanpa dibubuhi meterai tersebut dapat digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan ?

Jika suatu surat perjanjian yang dari semula tidak bermeterai (yang dibuat tanpa meterai) dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan, maka terhadap surat perjanjian tersebut harus dilakukan pemeteraian kemudian. Ketentuan Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor : 13 Tahun 1985, menyebutkan bahwa :
  • Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Matereinya belum dilunasi sebagaimana mestinya.


Dari apa yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa surat perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tidak dibubuhi meterai tidak memenuhi persyaratan (tidak mempunyai kekuatan hukum) untuk dipergunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan. Untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian (mempunyai kekuatan hukum) di pengadilan, maka surat perjanjian tersebut harus dilakukan pemeteraian kemudian untuk memenuhi persyaratan administrasi yaitu melunasi bea meterai yang terutang.

Demikian penjelasan berkaitan dengan kekuatan hukum surat perjanjian yang dibuat tanpa meterai.

Semoga bermanfaat.