Pengertian Dan Sifat Hukum Acara Perdata

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Setiap orang  mempunyai kepentingan yang  berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ada kalanya kepentingan masing-masing orang saling bertentangan, dan hal tersebut memungkinkan terjadinya suatu sengketa di antara mereka. Untuk menghindarkan hal tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan suatu tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaidah hukum, yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat, agar dapat mempertahankan hidup bermasyarakat. Dalam kaidah hukum yang ditentukan itu, setiap orang diharuskan untuk bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi, dan apabila kaidah hukum tersebut dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau hukuman.

Yang dimaksud dengan kepentingan adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata, yang diatur dalam hukum perdata materiil. Sebagai lawan hukum perdata materiil adalah hukum perdata formil.


Hukum Acara Perdata juga disebut hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil. 

Dalam hukum acara perdata, orang yang merasa bahwa haknya itu dilanggar disebut penggugat sedang bagi orang yang ditarik kemuka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang itu, disebut tergugat. Apabila ada banyak penggugat atau banyak tergugat, maka mereka disebut penggugat I, penggugat II, dan seterusnya. Demikian pula apabila ada banyak tergugat maka mereka disebut tergugat I, tergugat II, dan seterusnya.

Menurut Yurisprudensi, gugatan cukup ditujukan kepada yang secara nyata menguasai barang sengketa, demikian sebagaimana termuat dalam putusan Mahkamah Agung, tertanggal 1 Agustus 1983, Nomor : 1072 K/Sip/1982. 


Dalam praktek istilah turut tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, namun hanya demi lengkapnya suatu gugatan harus diikutsertakan. Dalam petitum hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan hakim. Dalam Hukum Acara Perdata tidak dikenal pengertian turut penggugat, yang dikenal adalah sebutan turut tergugat, yaitu orang-orang, bukan penggugat dan bukan pula tergugat, akan tetapi demi lengkapnya pihak-pihak harus diikutsertakan sekedar untuk tunduk dan taat terhadap putusan  Pengadilan.

Yang dimaksud dengan penggugat adalah seorang yang merasa bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang dirasa melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara ke depan hakim. Perkataan 'merasa' dan 'dirasa' dalam artian karena belum tentu yang bersangkutan sesungguh-sungguhnya melanggar hak penggugat.


Dalam hukum acara perdata, yang dimaksud dengan inisiatif yaitu ada atau tidak adanya sesuatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa, bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat. Hal tersebut berbeda dengan sifat Hukum Acara Pidana, yang pada umumnya tidak menggantungkan adanya perkara dari inisiatif orang yang dirugikan. Sebagai contoh, apabila terjadi suatu kecelakaan lalu lintas, tanpa adanya suatu pengaduan dari pihak manapun, pihak yang berwajib dalam hal ini pihak kepolisian akan langsung bertindak, melakukan pemeriksaan, menetapkan tersangka dan terdakwa, selanjutnya dibawa ke depan persidangan. Kecuali pada perkara yang termasuk dalam delik aduan, pihak yang berwajib tidak akan memproses perkara tersebut, sebelum adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan.

Dalam Hukum Acara Perdata inisiatif ada pada penggugat, maka penggugat mempunyai pengaruh yang besar pada jalannya perkara, penggugat dalam batas-batas tertentu dapat merubah atau bahkan mencabut kembali gugatannya. Namun begitu, apabila gugatan telah diajukan ke pengadilan, penggugat terikat oleh 'peraturan permainan" yang sudah baku, yang sifatnya memaksa. Jadi perubahan atau pencabutan kembali gugatan oleh penggugat atau para penggugat tidak bisa dilakukan seenaknya. Apalagi kalau tergugat sudah mengajukan jawaban, maka perubahan atau pencabutan gugatan oleh penggugat atau para penggugat harus seijin dari tergugat. Demikian halnya dengan tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek, banding, kasasi, dan peninjauan kembali, semuanya ditentukan dalam Hukum Acara Perdata secara cermat dan tenggang waktu itu tidak bisa dilanggar. Apabila dilanggar, permohonan yang bersangkutan akan dinyatakan tidak dapat diterima. 


Tidak hanya para pihak dan kuasa hukumnya saja yang terikat pada peraturan dan tata cara Hukum Acara Perdata, namun juga hakim yang memeriksa perkara tersebut juga terikat oleh peraturan dan tata cara Hukum Acara Perdata tersebut, misalnya untuk menjatuhkan putusan gugur dan perstek harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak bisa dilanggar.

Hukum Acara Perdata memang semula sifatnya mengatur, namun apabila sudah digunakan maka sifatnya menjadi memaksa.  

Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian dan sifat hukum acara perdata.

Semoga bermanfaat.