Hukum Adat Perkawinan : Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Hukum Adat Perkawinan. Hukum  adat   perkawinan   adalah   aturan-aturan  hukum adat yang   mengatur  tentang   bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan, dan putusnya perkawinan menurut masyarakat adat di Indonesia. Aturan-aturan hukum adat perkawinan di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda, dikarenakan :
  • Sifat kemasyarakatan, adat-istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat yang berbeda-beda.
  • Banyak terjadi perkawinan campuran antara suku, adat istiadat, dan agama yang berlainan.
  • Adanya kemajuan jaman, menyebabkan pergeseran-pergeseran adat perkawinan.

Baca juga : Hukum Adat Kekerabatan

Bentuk Perkawinan Adat.  Terdapat beberapa susunan masyarakat yang dikenal di  Indonesia, seperti susunan masyarakat yang bersifat patrilinial, matrilinial, parental, dan campuran. Perbedaan susunan masyarakat tersebut kemusian melahirkan bentuk-bentuk perkawinan adat yang berlaku berbeda-beda pula. Beberapa bentuk perkawinan adat yang ada di dalam masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan Jujur.
Perkawinan Jujur atau perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang (barang) jujur adalah kewajiban adat ketika dilakukan pelamaran yang harus dipenuhi oleh kerabat pria kepada kerabat wanita untuk dibagikan pada tua-tua kerabat (marga atau suku) pihak wanita. Perkawinan jujur pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat yang mempertahankan garis keturunan bapak (lelaki) atau patrilineal, seperti terjadi di daerah Gayo, Batak, Nias, Lampung, Bali, dan Maluku. Uang atau barang jujur di masing-masing daerah disebut dengan nama yang berlainan, misalnya :
  • di Gayo, uang atau barang jujur disebut Unjuk. 
  • di Batak, uang atau barang jujur disebut Boli, Tuhor, Parunjuk, atau Pangoli. 
  • di Nias, uang atau barang jujur disebut Beuli Niha, 
  • di Lampung, uang atau barang jujur disebut Segreh, Seroh, atau Daw Adat. 
  • di Maluku, uang atau barang jujur disebut dengan Beli atau Wilin. 

Uang atau barang jujur dilakukan oleh pihak kerabat (marga atau suku) calon suami kepada pihak kerabat calon isteri sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum suaminya. Setelah perkawinan, maka isteri  berada di bawah kekuasaan kerabat  suami, hidup matinya menjadi tanggung jawab kerabat suami, berkedudukan hukum dan menetap diam di pihak kerabat suami. Pada umumnya dalam bentuk perkawinan jujur berlaku adat 'pantang cerai', jadi senang atau susah selama hidupnya isteri di bawah kekuasaan kerabat suami.

Baca juga : Harta Perkawinan Dalam Masyarakat Adat

2. Perkawinan Semanda.
Perkawinan semanda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang matrilinial, dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu (wanita). Dalam perkawinan semanda, calon mempelai pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, malahan sebagaimana berlaku di Minangkabau berlaku adat pelamaran dari pihak wanita kepada pihak pria. Selama perkawinan terjadi, maka suami berada di bawah kekuasaan kerabat isteri dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semanda yang berlaku.

Bentuk-bentuk perkawinan semanda yang berlaku di Minangkabau adalah :
  • Semanda raja-raja, berarti suami isteri berkedudukan seimbang atau sama, baik di pihak isteri maupun di pihak suami.
  • Semanda lepas, berarti suami mengikuti tempat kediaman isteri  atau matrilokal.
  • Semanda bebas, berarti suami tetap pada kerabat orang tuanya.
  • Semanda nunggu, berarti suami isteri berkediaman di pihak kerabat isteri selama menunggu adik isteri (ipar) sampai dapat mandiri.
  • Semanda ngangkit, berarti suami mengambil isteri untuk dijadikan penerus keturunan pihak ibu suami, yang dikarenakan ibu tidak mempunyai keturunan anak wanita.
  • Semanda anak dagang atau semanda burung, berarti suami tidak menetap di tempat isteri, melainkan datang sewaktu-waktu, kemudian pergi lagi.

Pada umumnya dalam bentuk perkawinan semanda kekuasaan pihak isteri yang lebih berperan. Bentuk perkawinan semanda ini banyak yang sudah tidak berlaku lagi di masa sekarang, terutama sejak berlakunya Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Baca juga : Beberapa Masyarakat Hukum Adat Indonesia

3. Perkawinan Bebas (Mandiri).
Bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yag bersifat parental (keorang-tuaan), seperti berlaku di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi, serta di kalangan masyarakat Indonesia yang moderen, di mana kaum keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam keluarga/rumah tangga.

Bentuk perkawinan ini yang dikehendaki oleh Undang-undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana kedudukan dan hak suami dan isteri berimbang atau sama. Setelah perkawinan suami dan isteri memisah dari kekuasaan orang tua dan keluarga masing-masing dan membangun keluarga atau rumah tangga sendiri dan hidup mandiri. Orang tua kedua pihak hanya memberi bekal bagi kelanjutan hidup rumah tangga kedua mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebagai harta bawaan ke dalam perkawinan mereka. 

Baca juga : Hukum Adat Waris

4. Perkawinan Campuran.
Perkawinan campuran menurut hukum adat adalah perkawinan yang terjadi di antara suami dan isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan atau berbeda agama yang dianut. Sedangkan perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor : 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah perkawinan yang terjadi di antara suami isteri yang berbeda kewarganegaraan .

Terjadinya perkawinan campuran menimbulkan masalah hukum antara tata hukum adat dan atau hukum agama, yaitu hukum mana dan hukum apa yang akan diperlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Pada dasarnya hukum adat atau hukum agama tidak membenarkan terjadinya perkawinan campuran. Tetapi di dalam perkembangannya hukum adat setempat memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalahnya, sehingga perkawinan campuran itu dapat dilaksanakan.

Baca juga : Hukum Adat Ketatanegaraan

5. Perkawinan Lari.
Perkawinan lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat, tetapi yang terbanyak berlaku adalah di kalangan masyarakat Batak, Lampung, Bali, Bugis atau Makasar, dan Maluku. Di daerah tersebut, walaupun perkawinan lari itu merupakan pelanggaran adat, namun terdapat tata tertib cara menyelesaikannya. Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan, melainkan merupakan sistem pelamaran, oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semenda, atau bebas, tergantung pada keadaan dan perundingan kedua pihak.

Sistem perkawinan lari dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu :
  • Perkawinan lari bersama, dalam bahasa Belanda disebut vluch-huwelijk atau wegloop-huwelijk, adalah perbuatan belarian untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis (wanita). Cara melakukan belarian tersebut ialah bujang dan gadis sepakat melakukan perkawinan lari dan pada waktu yang sudah ditentukan melakukan lari bersama. Atau si gadis secara diam-diam diambil oleh kerabat pihak bujang dari tempat kediamannya, atau si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang. Segala sesuatunya berjalan menurut tata tertib adat belarian.
  • Perkawinan lari paksa, dalam bahasa Belanda disebut schaak-huwelijk, adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu, atau dengan paksaan, atau dengan dengan kekerasan, dan tidak atas persetuuan si gadis dan tidak menurut tata tertib adat belarian. Sistem perkawinan lari paksaan ini jika terjadi seringkali diteruskan oleh kerabat yang merasa kehormatannya terganggu kepada pihak kepolisian dengan menggunakan ketentuan Pasal 332 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) sebagai dasar pengaduan.

Demikian penjelasan berkaitan dengan hukum perkawinan adat beserta bentuk-bentuk perkawinan adat.

Semoga bermanfaat.