Ganti rugi, dalam hukum perdata dapat diartikan sebagai penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan. Ganti rugi dapat berupa sebagai pengganti prestasi atau dapat juga berdiri sendiri di samping prestasi. Tidak setiap kerugian yang diderita oleh kreditur harus diganti oleh debitur.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), ketentuan tentang ganti rugi diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
Baca juga : Ganti Rugi Dalam Ingkar Janji (Wanprestasi)
Syarat-Syarat Ganti Rugi. Seorang debitur yang telah melakukan wanprestasi, hanya diwajibkan untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang memenuhi syarat-syarat, yaitu :
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), ketentuan tentang ganti rugi diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Baca juga : Ganti Rugi Dalam Ingkar Janji (Wanprestasi)
Syarat-Syarat Ganti Rugi. Seorang debitur yang telah melakukan wanprestasi, hanya diwajibkan untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang memenuhi syarat-syarat, yaitu :
1. Kerugian yang dapat diduga atau sepatutnya diduga pada waktu perikatan dibuat.
Demikian itu sesuai dengan ketentuan Pasal 1247 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
Berdasarkan ketentuan tersebut, debitur hanya wajib mengganti atas kerugian yang dapat diduga pada waktu perikatan dibuat, kecuali jika ada kesengajaan. Menurut Asser's - Losecaat Vermeer yang dimaksud dengan kesengajaan adalah :
Baca juga : Pengertian Wanprestasi (Ingkar Janji) Dan Akibat-Akibat Wanprestasi
- Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, debitur hanya wajib mengganti atas kerugian yang dapat diduga pada waktu perikatan dibuat, kecuali jika ada kesengajaan. Menurut Asser's - Losecaat Vermeer yang dimaksud dengan kesengajaan adalah :
- jika debitur dengan sengaja dan sadar melanggar akan kewajibannya tanpa menghiraukan ada atau tidaknya maksud dari debitur untuk menimbulkan kerugian.
Baca juga : Pengertian Wanprestasi (Ingkar Janji) Dan Akibat-Akibat Wanprestasi
2. Kerugian yang merupakan akibat langsung dan serta merta dari ingkar janji.
Demikian itu sesuai dengan ketentuan Pasal 1248 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
Teori Tentang Ganti Rugi. Maksud dari akibat langsung dan serta merta adalah sebab-sebab yang langsung. Antara ingkar janji dan kerugian harus mempunyai hubungan causal. Jika tidak, maka kerugian tidak harus diganti. Untuk timbulnya suatu akibat tertentu, terdapat sejumlah syarat-syarat yang tidak terbatas yang mengandung terjadinya akibat tersebut. Mengenai akibat langsung dan serta merta ini terdapat dua teori, yaitu :
a. Conditio Sine qua Non (Von Buri).
Menurut teori ini suatu akibat ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang tidak dapat ditiadakan untuk adanya akibat.
Dalam hal ini yang menjadi penyebab kematian bukan hanya mencuci tangan saja tetapi juga karena ditusuk. Jadi jika salah satu peristiwa tersebut ditiadakan, tidak akan terjadi suatu kematian. Kedua peristiwa tersebut dalam ikatan causalitet, artinya merupakan hubungan yang tidak dapat ditiadakan. Peristiwa yang satu maupun yang lain adalah "conditio sine qua non" dan merupakan sebab dari kematian.
Ajaran conditio sine qua non ini, berpendapat bahwa semua syarat-syarat yang tidak mungkin ditiadakan untuk adanya akibat adalah senilai dan menganggap setiap syarat adalah sebab. Ajaran conditio sine qua non, mendapat tentangan dari berbagai pihak dan tidak mungkin diterapkan dalam praktek hukum. Teori ini juga memperluas pertanggungan jawab.
b. Adequate Veroorzaking (Von Kries).
Teori ini berpendapat bahwa suatu syarat merupakan sebab, jika menurut sifatnya pada umumnya sanggup untuk menimbulkan akibat. Hoge Raad memberikan perumusan, bahwa suatu perbuatan hukum merupakan sebab jika menurut pengalaman dapat diharapkan atau disuga akan terjadinya akibat yang bersangkutan.
- Bahkan jika hal tidak dipenuhnya perikatan itu disebabkan tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi, dan bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak terpenuhinya perikatan.
Teori Tentang Ganti Rugi. Maksud dari akibat langsung dan serta merta adalah sebab-sebab yang langsung. Antara ingkar janji dan kerugian harus mempunyai hubungan causal. Jika tidak, maka kerugian tidak harus diganti. Untuk timbulnya suatu akibat tertentu, terdapat sejumlah syarat-syarat yang tidak terbatas yang mengandung terjadinya akibat tersebut. Mengenai akibat langsung dan serta merta ini terdapat dua teori, yaitu :
a. Conditio Sine qua Non (Von Buri).
Menurut teori ini suatu akibat ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang tidak dapat ditiadakan untuk adanya akibat.
- Misalnya : seseorang tertusuk tangannya dengan pisau, dan kemuadia ia mencuci tangannya di kali, sehingga terkena tetanus dan meninggal.
Dalam hal ini yang menjadi penyebab kematian bukan hanya mencuci tangan saja tetapi juga karena ditusuk. Jadi jika salah satu peristiwa tersebut ditiadakan, tidak akan terjadi suatu kematian. Kedua peristiwa tersebut dalam ikatan causalitet, artinya merupakan hubungan yang tidak dapat ditiadakan. Peristiwa yang satu maupun yang lain adalah "conditio sine qua non" dan merupakan sebab dari kematian.
Ajaran conditio sine qua non ini, berpendapat bahwa semua syarat-syarat yang tidak mungkin ditiadakan untuk adanya akibat adalah senilai dan menganggap setiap syarat adalah sebab. Ajaran conditio sine qua non, mendapat tentangan dari berbagai pihak dan tidak mungkin diterapkan dalam praktek hukum. Teori ini juga memperluas pertanggungan jawab.
b. Adequate Veroorzaking (Von Kries).
Teori ini berpendapat bahwa suatu syarat merupakan sebab, jika menurut sifatnya pada umumnya sanggup untuk menimbulkan akibat. Hoge Raad memberikan perumusan, bahwa suatu perbuatan hukum merupakan sebab jika menurut pengalaman dapat diharapkan atau disuga akan terjadinya akibat yang bersangkutan.
3. Kerugian yang merupakan akibat dari keterlambatan pembayaran sejumlah uang tertentu.
Demikian itu sesuai dengan ketentuan Pasal 1250 ayat (1) KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi, dan bunga sekedar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.
Ketentuan tersebut membatasi, bahwa ganti rugi yang disebabkan karena keterlambatan dalam membayar sejumlah uang tertentu hanyalah berupa bunga.
Kreditur yang menuntut ganti rugi harus mengemukakan dan membuktikan bahwa debitur telah melakukan ingkar janji yang mengakibatkan timbulnya kerugian pada kreditur. Namun demikian, pihak debitur juga mempunyai hak untuk melakukan tangkisan atas tuntutan dari pihak kreditur tersebut, bahwa wanprestasi yang dilakukannya bukan karena kesengajaan. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata, yang berbunyi :
Demikian penjelasan berkaitan dengan syarat-syarat ganti rugi. Tulisan tersebut bersumber dari buku Pokok-Pokok Hukum Perikatan, karangan R. Setiawan, SH dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Semoga bermanfaat.
- Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.
Demikian penjelasan berkaitan dengan syarat-syarat ganti rugi. Tulisan tersebut bersumber dari buku Pokok-Pokok Hukum Perikatan, karangan R. Setiawan, SH dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Semoga bermanfaat.