Posita (Fundamentum Petendi) Dalam Hukum Perdata : Pengertian, Teori, Dan Unsur Posita (Fundamentum Petendi)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Posita. Secara umum, posita atau "fundamentum petendi" dapat diartikan sebagai dasar dari gugatan yang memuat tentang adanya hubungan hukum antara pihak-pihak yang berperkara (penggugat dan tergugat). Posita juga dapat berarti adalah bagian dari surat gugatan yang berisi dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu gugatan. Dengan kata lain, dalam suatu gugatan yang diajukan, penggugat harus menguraikan tentang alasan-alasan atau dalil sehingga ia bisa mengajukan gugatan sebagaimana yang ia maksudkan.

Uraian tentang duduk perkara dalam posita atau fundamentum petendi harus jelas,  ringkas, padat, dan terperinci tentang perihal yang disengketakan, karena jika tidak, dapat mengakibatkan permohonan gugatan akan dianggap kabur dan tidak jelas (obscuur libel).


Dalam surat gugatan, posita harus jelas menyebutkan tentang beberapa hal, seperti :

1. Objek Perkara.
Objek dari suatu perkara atau sengketa merupakan hal yang sangat penting yang harus diuraikan secara jelas dan terperinci, baik tentang letak maupun segala sesuatu yang berhubungan dengan objek perkara yang disengketakan oleh para pihak. Hal tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pelaksanaan eksekusi oleh petugas, apabila gugatan yang diajukan dikabulkan oleh hakim.

2. Fakta Hukum.
Fakta hukum merupakan uraian tentang peristiwa hukum yang dipersengketakan oleh para pihak yang sedang berperkara dan nyata-nyata telah merugikan salah satu pihak. Fakta hukum umumnya menyebutkan tentang duduk perkara yang sebenarnya dihadapi oleh para pihak yang bersengketa, dapat dimulai dari adanya perjanjian yang dibuat oleh para pihak hingga peristiwa wanprestasi atau ingkar janji yang merugikan salah satu pihak.

3. Kualifikasi Perbuatan Tergugat.
Menyebutkan kualifikasi perbuatan tergugat dalam surat gugatan harus dilaksanakan secara cermat dan terinci. Hal tersebut dimaksudkan agar jangan sampai perbuatan tergugat yang telah merugikan pihak penggugat lepas dari tuntutan, khususnya yang berkaitan dengan sebab dan akibat yang ditimbulkan dengan adanya pelanggaran yang telah dilakukan pihak tergugat.

4. Uraian Kerugian.
Uraian kerugian yang diderita oleh pihak penggugat sebagai akibat dari adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak tergugat harus diuraikan secara terperinci. Berkaitan dengan :
  • kerugian materiil, harus diuraikan dengan nominal yang jelas disertai dengan bukti yang akurat. kerugian moril, pada umumnya ditaksir menurut kedudukan dan status seseorang didalam masyarakat, apabila kedudukan dan status seseorang di dalam masyarakat rendah, maka kerugian yang diminta umumnya juga tidak tinggi.

5. Petitum.
Petitum merupakan tuntutan pokok dari surat gugatan yang berisikan tentang tuntutan-tuntutan yang dimohonkan oleh penggugat kepada Ketua Pengadiln Negeri agar tergugat dihukum sesuai dengan apa yang diajukan oleh penggugat. Oleh karena merupakan tuntutan pokok, maka petitum yang diajukan oleh penggugat harus jelas dan sempurna.

6. Denda atau Bunga.
Selain tuntutan pokok yang diajukan dalam surat gugatan, penggugat dapat juga mencantumkan dalam surat gugatan denda atau bunga karena kerugian yang dialaminya dengan menyebutkan jumlah nominal sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat antara penggugat dan tergugat. Penyebutan nominal denda atau bunga karena kerugian yang dialami penggugat dalam surat gugatan harus jelas, karena apabila tidak, maka hakim dalam putusannya tidak diperbolehkan menyinggung tentang jumlah denda atau bunga dimaksud.


Teori Perumusan Posita. Menurut Jeremies Lemek, dalam "Penuntun Membuat Gugatan", disebutkan bahwa terdapat dua teori dalam perumusan posita, yaitu :

1. Substantierings Theorie.
Dalam substantierings theorie disebutkan bahwa suatu gugatan tidak cukup hanya menyebutkan dasar hukum yang menjadi tuntutan, tetapi harus disebutkan pula kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan itu dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut (feitelijke grond). Misalnya : bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, selain menyebutkan sebagai pemilik, ia juga diharuskan untuk membuktikan atau menyebutkan asal-usul pemilikan benda tersebut (karena membeli, warisan dan lain sebagainya).

2. Individualiserings Theorie.
Dalam individualiserings theorie disebutkan bahwa suatu gugatan cukup disebutkan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan (rechts grond), tanpa harus menyebutkan dasar atau sejarah terjadinya hubungan tersebut, karena hal ini dapat dikemukakan dalam sidang-sidang yang akan datang dan disertai dengan pembuktian. Misalnya : bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, ia cukup menyebutkan sebagai pemilik, sedangkan pembuktian atau penyebutan asal-usul benda tersebut bisa dilakukan dalam sidang di pengadilan.

Dalam pelaksanaannya kedua teori tersebut tidak bisa dipisah dan berdiri sendiri-sendiri.


Unsur Posita. Posita merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara, di mana keduanya tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan. M. Yahya Harahap, dalam "Hukum Acara Perdata", menjelaskan bahwa posita atau fundamentum petendi dianggap lengkap apabila memenuhi dua unsur, yaitu :

1. Dasar Fakta (Feitelijke Grond).
Dasar fakta atau feitelijke grond merupakan bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang berupa penjelasan duduk perkara dari perselisihan atau sengketa yang yang terjadi di antara kedua belah pihak.

2. Dasar Hukum (Rechtelijke Grond).
Dasar hukumnya atau rechts grond merupakan bagian yang menguraikan tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan. Berdasarkan hal tersebut, penggugat harus dapat menunjukkan sifat melawan hukum, ketentuan hukum, ataupun asas-asas hukum apa saja yang sudah dilanggar berdasarkan fakta-fakta perbuatan atau peristiwa hukum yang terjadi.

Lebih lanjut, M. Yahya Harahap menyebutkan bahwa dasar hukum menegaskan dan menjelaskan hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat dan hubungan hukum antara penggugat dengan objek gugatan. Hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah hubungan hukum yang menyebabkan penggugat dapat menggugat tergugat. Sedangkan uraian hukum yang menjadi penghubung antara peristiwa hukum dan petitum adalah boleh untuk dicantumkan dan boleh tidak, karena dasar hukum ini bukan hanya sebagai alasan untuk mengajukan gugatan, tetapi juga dalam hal menjawab atau membantah jawaban lawan.

Dasar hukum atau rechtelijke grond bertujuan :
  • untuk dapat mengklasifikasikan gugatan yang disusun tersebut termasuk dalam kategori apa, apakah termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukum, wanprestasi, kewarisan, atau gugatan lainnya.
  • membantu hakim dalam menemukan hukum dalam memutuskan perkara.

Yang perlu diingat bahwa dasar hukum tidak berarti harus berupa pasal-pasal perundang-undangan saja yang menjadi dasar tuntutan, melainkan dapat juga berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, ajaran atau doktrin, serta kebiasaan atau praktik pengadilan.


Membuat dasar fakta yang menjadi pokok perselisihan dan sengketa tidak begitu sulit dan dapat dibuat oleh siapa saja, tetapi merumuskan peristiwa hukum merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena penggugat harus menyebutkan dasar hukum dari gugatannya.

Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian, teori perumusan, dan unsur posita atau fundamentum petendi.

Semoga bermanfaat.