Seorang teman menanyakan maksud dari asas legalitas dan kenapa dalam hukum pidana tidak diperbolehkan menggunakan analogi ? Pertanyaan tersebut berkaitan dengan asas-asas hukum pidana yang terkandung dalam pasal 1 ayat 1 KUH Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, haruslah memahami asas-asas dari hukum pidana yang terkandung dalam pasal 1 ayat 1 KUH Pidana. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa dalam ketentuan pasal 1 ayat 1 KUH Pidana terkandung tiga asas pokok hukum pidana, yaitu :
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, haruslah memahami asas-asas dari hukum pidana yang terkandung dalam pasal 1 ayat 1 KUH Pidana. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa dalam ketentuan pasal 1 ayat 1 KUH Pidana terkandung tiga asas pokok hukum pidana, yaitu :
- Hukum pidana bersumber atau berdasarkan peraturan-peraturan tertulis (asas legalitas).
- Hukum pidana tidak berlaku surut.
- Hukum melarang digunakannya analogi.
Asas-asas hukum pidana tersebut terutama muncul dari ajaran seorang sarjana Jerman yang bernama Anselm von Feurbach, yang terkenal dengan bukunya yang dalam bahasa Latin dirumuskan sebagai "Nullun Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali".
1. Asas Legalitas.
Asas pertama dari pasal 1 ayat 1 KUH Pidana adalah hukum pidana harus bersumber pada peraturan tertulis atau undang-undang, disebut juga sebagai asas legalitas. Maksudnya adalah sebuah pemidanaan harus berdasarkan undang-undang (lege). Undang-undang dimaksud adalah dalam pengertian yang luas, yaitu bukan saja yang secara tertulis telah dituangkan dalam bentuk produk perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif, tetapi juga produk perundang-undangan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan lain sebagainya. Karena pemerintah dalam menjalankan tugasnya, dalam hal peradilan, terkait kepada ketentuan perundang-undangan, maka pemerintah tidak akan bertindak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana. Dengan begitu terciptalah suatu kepastian hukum bagi setiap pencari keadilan, yang juga terikat dengan ketentuan perundang-undangan tersebut.
Pidana adalah alat pamungkas untuk menegakkan hukum. Hal itu berarti bahwa penentuan pidana dalam undang-undang untuk suatu tindakan tertentu harus sedemikian rupa perlunya, karena alat penegak hukum (sanksi) lainnya sudah tidak serasi lagi. Suatu tindakan dapat merupakan pelanggaran terhadap norma hukum perdata, hukum tata negara, hukum agama, hukum adat, dan lain-lain, akan tetapi sampai batas tertentu tindakan yang merupakan pelanggaran norma hukum tersebut tidak perlu diancam dengan pidana dan tidak perlu diadakan ketentuan pidana terhadapnya. Pidana akan dijatuhkan apabila pelanggaran terhadap norma-norma tersebut sudah melampaui batasan tertentu, sudah merugikan masyarakat dan kepentingan umum.
2. Asas Tidak Berlaku Surut.
Asas hukum pidana yang kedua adalah ketentuan pidana dalam undang-undang tidak berlaku surut. Asas ini merupakan asas undang-undang pada umumnya. Asas hukum tidak berlaku surut, dimaksudkan untuk menegakkan kepastian hukum bagi seluruh justisiabel. Setiap orang yang melakukan suatu tindakan tertentu, yang baru di kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, maka orang yang melakukan tindakan tertentu tersebut tidak dapat dipidana berdasarkan ketentuan yang baru tersebut.
Terhadap asas hukum pidana tidak berlaku surut ini terdapat pengecualiannya. Sebagaimana adagium yang berbunyi " tidak ada suatu peraturan yang tanpa pengecualian", pengecualian terhadap asas ini secara tegas tercantum dalam pasal 1 ayat 2 KUH Pidana, yang berbunyi : "Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa".
Mengenai pengecualian asas tidak berlaku surut yang tercantum dalam pasal 1 ayat 2 KUH Pidana tersebut, banyak terjadi perdebatan di antara para sarjana. Mereka memperdebatkan sampai sejauh manakah pengertian yang terkandung dalam pasal 1 ayat 2 KUH Pidana tersebut, sampai di manakah batasan-batasan penggunaan atau penerapan ketentuan tersebut ? Dari perumusan ayat tersebut terlihat bahwa undang-undang yang harus digunakan pada saat hakim menjatuhkan putusannya tidak tergantung pada saat terjadinya sesuatu tindakan, melainkan tergantung kepada kepentingan terdakwa. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa asas hukum pidana tidak berlaku surut tersebut, tidak secara mutlak dianut.
3. Asas Larangan Penggunaan Analogi.
Asas hukum pidana yang ketiga adalah dilarang menggunakan analogi dalam penerapan hukum pidana, Menggunakan analogi dalam hukum pidana berarti menganggap sesuatu sebagai termasuk dalam pengertian dari suatu istilah atau ketentuan undang-undang hukum pidana, karena sesuatu tersebut banyak sekali kemiripannya atau kesamaannya dengan istilah atau ketentuan tersebut. Analogi terjadi, bilamana menganggap bahwa sesuatu peraturan hukum tertentu juga meliputi suatu hal yang banyak kemiripan atau kesamaannya dengan yang telah diatur, padahal semulanya tidak demikian. Analogi biasanya terjadi dalam hal ada sesuatu yang pada saat pembuatan peraturan hukum, sesuatu yang baru tersebut tidak terpikirkan atau tidak dikenal oleh pembuat undang-undang pada jaman itu.
Contoh kasus terkenal berkaitan dengan penerapan analogi adalah tentang pencurian aliran listrik. Yang dipersoalkan dalam kasus tersebut adalah apakah aliran listrik dianggap sebagai barang, dan apakah terlah terjadi tindakan "mengambil" ? HR (Hoge Raad) memutuskan bahwa aliran listrik termasuk dalam pengertian barang dan dengan demikian terlah terjadi pengambilan sesuai istilah yang digunakan dalam pasal 362 KUH Pidana. Pertimbangan HR adalah bahwa maksud pasal 362 KUH Pidana adalah untuk melindungi harta orang lain, tanpa merumuskan apa yang dimaksud dengan barang.
Berkaitan dengan asas larangan menggunakan analogi, dikalangan para sarjana juga terjadi perbedaan pandangan tentang boleh atau tidaknya menggunakan analogi. Para sarjana yang berpegang teguh pada asas legalitas, pada umumnya tidak dapat menerima penggunaan analogi, seperti :
- Taverne, berpendapat bahwa penggunaan analogi yang telah dilakukan oleh HR tersebut, bisa dianggap kapasitas HR sebagai pembentuk undang-undang.
- Van Hattum, meskipun ia menyetujui putusan HR tersebut, namun ia tidak sependapat bahwa dalam pengambilan putusan tersebut telah digunakan analogi.
Sedangkan Pompe berpendapat, bahwa pada umumnya analogi diperbolehkan dalam hal penyempurnaan undang-undang. Sedangkan Wirjono mengemukakan, dapat juga dimengerti, bahwa tidak selalu memuaskan, apabila setiap analogi dilarang. Adakalanya dirasakan benar-benar sebagai adil, apabila dalam suatu hal tertentu analogi itu diperbolehkan. Masih menurut Wirjono, bahwa ukuran bagi boleh tidaknya suatu analogi adalah apakah analogi inconcreto tidak bertentangan dengan yang sekedar dapat diketahui dari maksud dan tujuan pembentuk undang-undang dalam merumuskan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang bersangkutan.
Jika diperhatikan dengan seksama, analogi merupakan penyelundupan terhadap asas kedua melalui asas pertama pasal 1 ayat 1 KUH Pidana, artinya sesuatu hal dianggap termasuk dalam pengertian peraturan hukum atau undang-undang yang sudah ada. Dengan demikian, sesuatu hal tersebut dianggap sebagai merupakan peraturan hukum, yang mulai berlaku sejak berlakunya peraturan hukum yang diboncenginya. Anggapan tersebut adalah suatu konstruksi hukum yang dikehendaki oleh mereka yang memegang teguh asas legalitas, untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan baru.
Demikian penjelasan berkaitan dengan penjelasan umum asas-asas hukum pidana.
Semoga bermanfaat.