Suatu perjanjian akan berlaku dan mengikat para pihak yang membuatnya (telah lahir suatu perjanjian), apabila memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyebutkan bahwa : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
- sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
- suatu hal tertentu.
- suatu sebab yang halal.
Baca juga : Ketentuan Umum Dan Sistem Terbuka Buku III KUHPerdata Tentang Perikatan
Dari ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tersebut, suatu hal tertentu merupakan syarat ketiga dari sahnya suatu perjanjian. Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak jika timbul suatu perselisihan. Suatu hal tertentu adalah obyek prestasi dari perjanjian, suatu pokok diadakannya suatu perjanjian. Demikian itu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Ketentuan untuk suatu hal tertentu adalah menyangkut mengenai obyek hukum atau mengenai bendanya. Para pihak dalam membuat perjanjian harus menegaskan mengenai benda yang dipakai sebagai obyek perjanjian, apakah benda berwujud atau tidak berwujud, benda bergerak atau tidak bergerak. Obyek perjanjian tersebut juga harus ditegaskan, setidaknya mengenai jenis dan uraian tentang benda yang terutama mengenai ciri-ciri dan hakekat dari benda yang menjadi obyek perjanjian tersebut.
Undang-undang tidak mewajibkan benda yang dipakai sebagai obyek perjanjian tersebut ada atau tidak ditangan salah satu pihak, juga tidak disyaratkan mengenai berapa jumlah benda tersebut, hanya saja dikemudian hari benda tersebut harus bisa ditetapkan. Demikian itu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1333 ayat (2) KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Obyek perjanjian adalah isi dari prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi tersebut merupakan suatu perilaku tertentu, yaitu bisa berupa memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Jadi, dalam kaitannya dengan hal tertentu, sebagai syarat lahirnya suatu perjanjian, prestasi tersebut haruslah tertentu dan dapat ditentukan.
Suatu hal tertentu sebagai obyek perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
demikian juga ketentuan Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
juga bisa dipakai sebagai obyek perjanjian, asalkan barang-barang tersebut dibolehkan oleh ketentuan perundang-undangan. Sehingga dari ketentuan pasal-pasal tersebut, dapat dikatakan jika barang terlarang yang dipakai sebagai obyek perjanjian maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Sebagai ukuran dari benda yang dapat diperdagangkan sebagaimana ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata tersebut adalah pada saat dibuatnya perjanjian, di mana digunakan asas bahwa sekalipun saat perjanjian dibuat benda tersebut merupakan barang yang dapat diperdagangkan, tetapi jika di kemudian hari benda tersebut menjadi benda yang dilarang oleh perundang-undangan yang berlaku, maka perjanjian tersebut tetap dinyatakan tidak sah.
Jadi, suatu perjanjian yang obyeknya tidak memenuhi ketentuan Pasal 1333 KUH Perdata tersebut adalah batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat ketiga dari Pasal 1320 KUH Perdata mengenai suatu hal tertentu. Sedangkan obyek perjanjian yang tidak diperbolehkan, pada prinsipnya adalah segala benda yang dilarang berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya ijon dalam pertanian, yaitu menjual hasil panen musim depan dengan harga tertentu, termasuk di dalamnya adalah yang ditentukan dalam Pasal 1334 ayat (2) KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, atau pun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu, dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan pasal 169, 176, dan 178.
Demikian penjelasan berkaitan dengan suatu hal tertentu sebagai syarat sahnya perjanjian.
Semoga bermanfaat.