Kekhilafan/Kesesatan (Dwaling) Dan Wanprestasi

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pada debitur terletak kewajiban untuk memenuhi prestasi. Jika debitur tidak melaksakan kewajibannya tersebut, bukan karena keadaan memaksa, maka debitur dianggap telah melakukan wanprestasi atau ingkar janji. Atau bisa juga dikatakan, seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, apabila seseorang tersebut melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.

Secara lebih terperinci,  wanprestasi yang dilakukan oleh seseorang dapat berupa :
  1. tidak melakukan  apa yang disanggupi akan dilakukannya.
  2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
  3. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
  4. melakukan suatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.


Dari hal tersebut di atas,  pertanyaan yang muncul adalah apakah orang dapat menuntut atas dasar wanprestasi, karena kekhilafan ? Pada kekhilafan, sebenarnya orang telah memperoleh apa yang menjadi haknya, tetapi ia khilaf atau keliru mengenai ciri-ciri bendanya. Dalam hal salah satu pihak menjamin adanya ciri-ciri tertentu pada benda obyek perjanjian, maka kalau di kemudian hari ternyata ciri-ciri tersebut tidak ada, pihak yang satunya (pihak lawan) dapat menuntut atas dasar wanprestasi, karena janji-janji tersebut menjadi bagian dari isi perjanjian prestasi debitur. Sehingga untuk dapat menuntut  berdasarkan kekhilafan harus dipenuhi dua syarat, yaitu :
  1. pihak lawan mengetahui atau seharusnya mengetahui, bahwa ia justru melakukan perbuatan itu berdasarkan ciri-ciri dan keadaan yang keliru.
  2. dengan memperhatikan semua keadaan, pihak yang melakukan kekhilafan tersebut selayaknya dapat dan boleh membuat kekeliruan tersebut.


Dengan melihat dua syarat tersebut di atas, tidak semua wanprestasi karena kekhilafan dapat dituntut. Misalkan terjadi jual beli atas suatu barang, tidak dapat dilakukan tuntutan wanprestasai karena kekhilafan jika terdapat kondisi sebagai berikut :
  • Apabila pembeli melakukan kekhilafan, dan penjual berdasarkan pengetahuannya atas barang yang dijualnya tersebut, telah memberitahukan kepada pembelinya bahwa ia mempunyai gambaran yang keliru tentang hakekat benda yang hendak dibelinya tersebut, tetapi pembeli tetap mau membeli barang itu, maka dalah hal demikian dikemudian hari tidak  bisa dilakuakan tuntutan wanprestasi atas dasar kekhilafan. Hal itu karena pembeli sudah diberitahu oleh penjual mengenai kekeliruanya tentang sifat hakekat dari barang yang hendak dibelinya, dan ia dengan sadar tetap membeli barang tersebut. 
  • Apabila pembeli melakukan kekhilafan atas barang yang dibelinya, sementara pihak penjual benar-benar tidak mempunyai pengetahuan atas barang yang dijualnya tersebut atau paling tidak penjual tidak bisa diharapkan bahwa ia tahu kalau pembelinya melakukan kekhilafan, maka dalam hal demikian tidak adil apabila si penjual diharuskan memikul kerugian. 


Suatu kekhilafan harus mengenai hakekat bendanya, yaitu ciri-ciri benda, yang bagi salah satu pihak, merupakan dasar diadakannya perjanjian, yang diketahui oleh pihak lain. Atau dengan kata lain, tidak terjadi kekhilafan, apabila dalam hal-hal tertentu pihak yang satu telah memberitahukan kepada pihak yang lain atau memberikan keterangan kepada lawan janjinya mengenai hakekat benda yang menjadi obyek perjanjian. Sedangkan Hofmann berpendapat, bahwa kelalaian untuk memberitahukan saja tidak selalu mengakibatkan dapat dibatalkannya perjanjian berdasarkan kekhilafan, apabila pembeli karenanya mempunyai gambaran yang salah tentang ciri-ciri bendanya.

Demikian penjelasan berkaitan dengan kekhilafan/kesesatan (dwaling) dan wanprestasi.

Semoga bermanfaat.