Perjanjian lahir apabila terjadi pertemuan kehendak antara kedua belah pihak. Kehendak haruslah murni, bebas, dan dinyatakan dalam suasana yang bebas pula. Akan timbul masalah jika ada cacat pada kehendak dan/atau pernyataan kehendak. Jadi, kekhilafan terjadi apabila kehendak seseorang pada saat membuat perjanjian dipengaruhi oleh kesan atau pandangan yang tidak benar (palsu).
Kekhilafan bisa terjadi mengenai :
Apabila perjanjian yang dibuat beralaskan kekhilafan, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), akan melahirkan hak untuk menuntut pembatalan suatu perjanjian.
Baca juga : Akibat Dari Adanya Kekhilafan/Kekeliruan (Dwaling)
Pembatalan berdasarkan kekhilafan hanya mungkin dalam dua hal, yaitu :
Untuk menuntut atau menggugat berdasarkan kekhilafan (dwaling) harus dipenuhi dua syarat, yaitu :
Von Savigny membedakan kekhilafan (dwaling) menjadi dua kelompok yang mempunyai akibat hukum yang berbeda-beda, yaitu :
Disamping dua hal tersebut, dikenal juga adanya kesesatan dalam motif. Yang dimaksud dengan motif adalah faktor yang pertama-tama yang menimbulkan adanya kehendak. Hal ini dapat terjadi karena kehendaknya muncul atas dasar motif yang keliru.
Kekhilafan bisa terjadi mengenai :
- Hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan.
- Sifat-sifat penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian.
- Orang, dengan siapa diadakannya perjanjian.
Baca juga : Akibat Dari Adanya Kekhilafan/Kekeliruan (Dwaling)
Pembatalan berdasarkan kekhilafan hanya mungkin dalam dua hal, yaitu :
- Apabila kekhilafan terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Hakekat barang adalah sifat-sifat atau ciri-ciri dari barang yang menyebabkan para pihak membuat suatu perjanjian.
- Apabila kekhilafan terjadi diri pihak lawan dalam perjanjian yang dibuat.
Untuk menuntut atau menggugat berdasarkan kekhilafan (dwaling) harus dipenuhi dua syarat, yaitu :
- pihak lawan mengetahui atau seharusnya mengetahui, bahwa ia melakukan perbuatan tersebut berdasarkan ciri-ciri dan keadaan yang keliru.
- pihak yang melakukan kekhilafan selayaknya dapat dan boleh membuat kekeliruan itu.
Baca juga : Batal Dan Pembatalan Suatu Perjanjian
Von Savigny membedakan kekhilafan (dwaling) menjadi dua kelompok yang mempunyai akibat hukum yang berbeda-beda, yaitu :
- Kekhilafan Semu (Oneigelijke Dwaling). Ciri-ciri paling peting dari kekhilafan semu adalah bahwa kehendak dan pernyataan kehendak tidak sama. Kekhilafan semu terjadi pada orang yang dipaksa untuk menandatangani suatu perjanjian. Pada kasus seperti tersebut tidak lahir suatu perjanjian, karena pada orang yang dipaksa untuk menandatangani perjanjian tidak dapat dikatakan mempunyai kehendak.
- Kekhilafan Sebenarnya (Eigelijke Dwaling). Ciri-ciri paling penting dari kekhilafan sebenarnya adalah antara kehendak dan pernyataan sama/sesuai, hanya saja kehendak tersebut terpengaruh/dipengaruhi oleh keadaan yang tidak benar. Dalam keadaan seperti ini lahir suatu perjanjian, dan perjanjian tersebut lahir karena adanya kekhilafan tersebut.
Disamping dua hal tersebut, dikenal juga adanya kesesatan dalam motif. Yang dimaksud dengan motif adalah faktor yang pertama-tama yang menimbulkan adanya kehendak. Hal ini dapat terjadi karena kehendaknya muncul atas dasar motif yang keliru.
Baca juga : Kekhilafan (Dwaling) Mengenai Sifat Hakekat Bendanya
Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, di antaranya harus ada kata sepakat antara kedua belah pihak. Dalam hal peristiwa kekhilafan, memang ada kehendak dan ada pernyataan yang didasarkan atas dan karenanya sama dengan kehendaknya. Dalam hal ada kekhilafan, maka salah satu atau para pihak mempunyai gambaran yang keliru atas obyek atau subyek lawan perjanjian. Karenanya dalam kasus kekhilafan, perjanjian memang telah lahir, hanya masalahnya adalah orang merasakannya sebagai tidak adil, kalau orang yang khilaf harus terikat penuh, tanpa ia dapat melepaskan diri lagi dari keterikatannya. Dalam hal ini dianggap bahwa kesepakatannya diberikan dalam suasana yang tidak wajar atau tidak normal.
Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, di antaranya harus ada kata sepakat antara kedua belah pihak. Dalam hal peristiwa kekhilafan, memang ada kehendak dan ada pernyataan yang didasarkan atas dan karenanya sama dengan kehendaknya. Dalam hal ada kekhilafan, maka salah satu atau para pihak mempunyai gambaran yang keliru atas obyek atau subyek lawan perjanjian. Karenanya dalam kasus kekhilafan, perjanjian memang telah lahir, hanya masalahnya adalah orang merasakannya sebagai tidak adil, kalau orang yang khilaf harus terikat penuh, tanpa ia dapat melepaskan diri lagi dari keterikatannya. Dalam hal ini dianggap bahwa kesepakatannya diberikan dalam suasana yang tidak wajar atau tidak normal.
Baca juga : Pembatalan Perjanjian Berdasarkan Kekhilafan (Dwaling)
Demikian penjelasan berkaitan dengan kekhilafat atau kesesatan/kekeliruan (dwaling).
Semoga bermanfaat.
Demikian penjelasan berkaitan dengan kekhilafat atau kesesatan/kekeliruan (dwaling).
Semoga bermanfaat.