Perjanjian Factoring Sebagai Kontrak Accessoir Dan Unsur-Unsur Factoring (Anjak Piutang)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Perjanjian Factoring Sebagai Kontrak Accessoir. Sebagai suatu perjanjian, terdapat pertanyaan penting berkaitan dengan factoring, yaitu bagaimanakah kedudukan dari suatu perjanjian factoring ? Mengingat di samping perjanjian factoring, masih ada perjanjian lain yang sebelumnya telah dilakukan antara klien dengan customer, misalnya perjanjian jual beli atau perjanjian ekspor-impor. 

Pertanyaan tersebut menjadi penting dalam praktek, terutama jika terhadap perjanjian yang menimbulkan piutang, misalnya jual beli antara pihak klien dengan customer terjadi hal-hal, sehingga perjanjian jual beli tersebut tidak dapat diberlakukan, atau tidak sepenuhnya dapat diberlakukan. Hal-hal yang menyebabkan perjanjian jual beli tidak tersebut tidak dapat atau tidak sepenuhnya dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
  1. Jika dalam perjanjian tersebut terdapat catat hukum. Misalnya tidak terpenuhinya salah satu syarat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
  2. Jika terjadi hal-hal yang dapat digolongkan ke dalam force majeure, sehingga perjanjian menjadi tidak dapat dilaksanakan.
  3. Jika terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak atau oleh semua pihak.

Baca juga : Pengertian Factoring, Jangka Waktu Berlakunya, Dan Dokumen Dalam Factoring (Anjak Piutang)

Salah satu konsekuensi yuridis dari perjanjian accessoir adalah bahwa jika perjanjian pokok tidak dapat dilaksanakan, maka perjanjian accessoirpun tidak mungkin diberlakukan, atau tidak dapat dipaksa berlakunya. Tetapi jika kedua perjanjian tersebut masing-masing interdependent, maka pelaksanaan perjanjian yang satu tidak tergantung dari pelaksanaan perjanjian yang lain. Dalam ilmu hukum kontrak, yang biasanya merupakan perjanjian accessoir adalah perjanjian lain-lain yang melengkapi perjanjian pokok. Atau dengan kata lain  perjanjian pokoklah yang merupakan perjanjian utama, sedangkan yang lainnya merupakan tambahan saja (accessoir).

Melihat kepada masing-masing perjanjian dalam suatu transaksi factoring, maka hubungan antara perjanjian factoring dengan perjanjian yang menyebabkan timbulnya piutang, tidaklah sepenuhnya dapat disamakan dengan hubungan antara perjanjian kredit dengan perjanjian jaminan kredit.

Baca juga : Dasar Hukum Factoring (Anjak Piutang)

Salah satu ciri utama dari perjanjian accessoir adalah bahwa antara perjanjian pokok  dengan perjanjian accessoir terdapat hubungan yang subordinate, artinya kedudukan ke dua macam perjanjian tersebut tidak selevel, yaitu perjanjian pokok lebih tinggi kedudukannya dibandingkan perjanjian accessoir. Sementara dalam perjanjian yang interdependent, kedudukan dari masing-masing perjanjian tersebut bersifat coordinate, artinya antara perjanjian yang satu dengan yang lain saling berhubungan tetapi tetap berdiri sama kedudukannya. Dalam perjanjian factoring, sungguhpun merupakan perjanjian interdependent dengan perjanjian yang menyebabkan terbitnya piutang, tetapi akibatnya sama dengan seandainya hal tersebut perjanjian yang accessoir. Sebab dalam perjanjian factoring, jika perjanjian yang menyebabkan timbulnya piutang tersebut batal, maka perjanjian factoringpun juga batal. Hal ini bukan dikarenakan perjanjian yang satu mengikuti perjanjian yang lainnya, akan tetapi karena piutang yang merupakan obyek perjanjian tersebut tidak ada. Sehingga perjanjian factoring tersebut tidak memenuhi syarat obyek tertentu seperti yang disyaratkan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

Baca juga : Subrogasi, Novasi, Dan Cessie Dalam Factoring (Anjak Piutang)

Unsur-Unsur Factoring. Terdapat beberapa unsur utama dari suatu transaksi factoring yaitu adanya :

1. Perusahaan Factor.
Yang dimaksud perusahaan factor adalah perusahaan yang akan membeli atau menerima pengalihan piutang, yang berfungsi semacam perantara klien dan customer.
Yang dapat menjadi perusahaan factor adalah :
  • Perusahaan yang bergerak dalam bidang factoring.
  • Perusahaan multi finance, yang di samping bergerak di bidang factoring, juga bergerak di bidang usaha lain finansial lainnya, seperti leasing, customer finance, kartu kredit, dan lain sebagainya.
  • Bank juga diperkenankan beroperasi di bidang usaha factoring. Pada saat ini bank semakin cenderung menjadi semacam Financial Supermarket, yaitu yang meramu berbagai kegiatan, seperti kegiatan bank konvensional, brokerage, merchant bank, atau factoring.

Jika factoring itu berupa factoring internasional, maka di samping perusahaan factor domestik (import factor), juga terlibat perusahaan factor luar negeri (export factor). Import factor merupakan penghubung dengan klien, sedangkan export factor merupakan penghubung dengan customer.

2. Klien.
Yag dimaksud dengan klien adalah pihak yang mempunyai piutang, piutang mana akan dialihkan kepada perusahaan factor. Sementara dalam pasal 1 huruf m dari Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 1251/KMK.013/1988, mengartikan klien sebagai suatu perusahaan yang menjual dan atau mengalihkan piutang atau tagihannya yang timbul dari transaksi perdagangan kepada perusahaan factor. Dengan begitu, klien disyaratkan haruslah merupakan suatu perusahaan, seperti Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, ataupun Firma.

3. Customer.
Customer adalah pihak debitur yang berhutang kepada klien, yang selanjutnya dengan kegiatan factoring, piutang yang terbit dari hutang tersebut dialihkan kepada perusahaan factor.
Dalam bisbis factoring, customer merupakan unsur yang penting diperhatikan, karena customerlah yang akan melunasi pembayaran, sehingga customer yang menentukan macet tidaknya suatu tagihan. Oleh karenanya, kemampuan bayar customer sangat diperhatikan oleh perusahaan factor, hal tersebut disebabkan karena dalam bisnis factoring pada prinsipnya tidak mengenal agunan/jaminan.

4. Piutang atau Tagihan.
Piutang merupakan hal yang oleh klien dialihkan kepada perusahaan factor. Sungguhpun obyek dari bisnis factoring adalah piutang, tetapi tidak semua jenis piutang sesuai dengan bisnis factoring. Piutang yang merupakan obyek dari bisnis factoring adalah apa yang disebut dengan piutang dagang, yaitu tagihan-tagihan bisnis yang belum jatuh tempo (account receivable), baik yang dikeluarkan dengan memakai surat berharga, seperti Promissory Notes, atau hanya berupa tagihan lewat invoice dagang biasa. Jadi factoring bukan ditujukan terhadap piutang yang sudah macet. Yang termasuk dalam piutang dagang, di antaranya adalah :
  • Piutang yang terdiri dari seluruh tagihan berdasarkan invoice-invoice dari suatu perusahaan yang belum jatuh tempo.
  • Piutang yang timbul dari surat-surat berharga yang belum jatuh tempo.
  • Piutang yang timbul dari suatu proses pengiriman barang, sebagai pengganti dari L/C (Letter of Credit).
  • Piutang yang merupakan tagihan-tagihan tertentu yang belum jatuh tempo. Misalnya yang terbit dari penggunaan kartu kredit, biro perjalanan, dan sebagainya.

5. Pengalihan Piutang.
Dalam proses transaksi factoring, piutang yang dipunyai oleh klien dialihkan (dijual) kepada perusahaan factor. Mengenai proses pengalihan piutang ini, diatur dalam KUH Perdata, mengingat di KUH Perdata ada ketentuan tentang pengalihan piutang yang bersifat insidentil.

Baca juga : Piutang Yang Dialihkan

Dari apa yang diuraikan di atas, dapatlah disebutkan bahwa sesungguhnya Perjanjian Factoring merupakan perjanjian accessoir, karena Perjanjian Factoring hanyalah ikutan dari perjanjian pokok yang hubungannya bersifat subordinasi. Dan untuk dapat dikatakan kegiatan pembiayaan tersebut sebagai Factoring haruslah memenuhi 5 unsur tersebut di atas.

Demikian penjelasan berkaitan dengan perjanjian factoring sebagai kontrak accessoir dan unsur-unsur factoring (anjak piutang).

Semoga bermanfaat.