Putusnya Kontrak Leasing Karena Wanprestasi

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Wanprestasi atau breach of contract merupakan salah satu sebab sehingga berjalannya kontrak menjadi terhenti. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan wanprestasi adalah salah satu pihak atau lebih tidak melaksanakan prestasinya sesuai dengan kontrak. Menurut pendapat dari Abdul Kadir Muhammad, dalam bukunya yang berjudul "Hukum Perikatan", yang dimaksud dengan wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.

gambar : csileasing.com
Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyebutkan bahwa :
  • Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.

Ketentuan Pasal 1239 KUH Perdata tersebut menentukan bahwa dalam hal satu pihak melakukan wanprestasi, maka pihak lainnya dapat menuntut diberikan ganti rugi berupa biaya, rugi, dan bunga.


Untuk kontrak leasing, berbagai kemungkinan wanprestasi dapat terjadi dengan konsekuensi yuridis yang berbeda-beda. Kemungkinan-kemungkinan wanprestasi tersebut antara lain dapat disebutkan sebagai berikut :

a. Wanprestasi Yang Didiamkan.
Hukum yang berlaku di Indonesia tidak mengenal doktrin Substantial Performance, yaitu doktrin yang mengajarkan bahwa yang dianggap tidak melaksanakan wanprestasi oleh salah satu pihak sehingga pihak lainnya dapat memutuskan kontrak adalah jika prestasi yang tidak dilaksanakan tersebut cukup substantial dalam kontrak yang bersangkutan. Jika prestasi yang gagal dilaksanakan tersebut tidak substantial, yakni jika hanya prestasi kecil saja, maka menurut doktrin Substantial Performance, kontrak leasing belum bisa diputuskan oleh pihak lain.

Walaupun dalam sistem hukum Indonesia, doktrin Substantial Performance tidak dikenal, tapi dalam praktek praktek lewat berbagai cara, konsekuensi dari doktrin Substantial Performance juga tetap berlaku, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut :
  1. Sistem Pasif. Jika salah satu pihak mendiamkan saja wanprestasi yang dilakukan oleh pihak yang lain dalam kontrak  tersebut, seolah-olah tidak terjadi wanprestasi, maka akibat yuridisnya sama saja dengan seandainya berlaku doktrin Substantial Performance tersebut. Artinya, pihak yang dirugikan di akhir masa kontrak masih dapat menuntut ganti kerugian 'demi hukum', tanpa perlu menyebutkan hal tersebut secara eksplisit dalam kontrak. 
  2. Sistem Waiver. Terkadang, untuk menghindari keragu-raguan di mana pelanggaran kontrak tersebut sudah dimaafkan oleh pihak lain, sehingga pihak lain tersebut tidak dapat meinta kerugian di akhir masa kontrak, sering juga disebutkan secara eksplisit dalam kontrak leasing bahwa jika salah satu pihak mendiamkan saja terhadap adanya pelanggaran kontrak, tidak berarti bahwa pihak lain setuju atas pelanggaran kontrak tersebut, sehingga tidak berarti pula yang bersangkutan tidak perlu membayar ganti rugi di akhir masa kontrak. Dalam praktek, klausula seperti ini sering disebut dengan waiver clause.
  3. Sistem Item. Kemungkinan lain, yaitu dengan memperinci item-item yang apabila dilanggar oleh salah satu pihak, maka pihak lain dapat memutuskan kontrak leasing, dengan kewajiban pergantian kerugian atas pihak yang telah menyebabkan kerugian. Ini berarti, item-item tersebut merupakan semacam substantial performance bagi para pihak. Konsekuensi selanjutnya dari sistem item seperti ini adalah bahwa karena para pihak dari semula menginginkan bahwa salah satu pihak baru dapat memutuskan kontrak jika pihak lain tidak melakakukan prestasi-prestasi seperti tersebut dalam item-item yang telah terperinci tersebut, maka ini berarti pihak lain tersebut dapat memutus kontrak leasing jika salah satu pihak tidak melakukan prestasinya. 

Baca juga : Hapusnya Suatu Perjanjian Dan Akibat-Akibat Perjanjian

b.. Wanprestasi Pemutus Kontrak Leasing.
Karena alasan-alasan tertentu, salah satu pihak memutuskan kontrak leasing yang bersangkutan. Alasan pemutus kontrak adalah karena pihak lain telah melakukan wanprestasi terhadap satu atau lebih klausula dalam kontrak leasing. Tidak peduli apakah prastasi yang tidak dipenuhi tersebut substansial ataupun tidak. Dalam suatu kontrak leasing, banyak item, yang apabila dilanggar terutama oleh lessee, maka kontrak dianggap putus. Yang paling penting di antaranya tentu apabila lessee tidak membayar uang cicilan pada saat jatuh tempo.

Baca juga : Pengaturan Tentang Cacat Tersembunyi Terhadap Barang Dalam Jual Beli

c.. Wanprestasi Karena Barangnya Cacat.
Secara yuridis, konsekuensi dari cacat/rusaknya barang leasing sangat tergantung kepada situasi cacatnya/ rusaknya barang tersebut. Untuk itu ada beberapa kemungkinan yuridis, yaitu sebagai berikut :
  • Cacat Tersembunyi. Menurut hukum tentang jual beli, sebagaimana disebut dalam pasal 1491 KUH Perdata, bahwa yang bertanggung jawab terhadap cacatnya barang yang tersembunyi adalah pihak penjual. Hanya saja dalam kasus leasing masalahnya berbeda dengan jual beli. Sebab dalam transaksi leasing, pihak lessor bukanlah penjual barang melainkan pihak yang menyediakan dana. Sedangkan pihak yang menjual barang adalah supplier. Maka pantaslah kalau yang bertanggung jawab secara hukum terhadap adanya cacat tersebunyi pada barang yang dijual tersebut adalah pihak supplier. Sehingga untuk mempermudah penyelesaian terhadap masalah tersebut, sudah sepatutnya kalau supplier ikut menjadi para pihak dalam perjanjian leasing, dan ikut menandatangani kontrak leasingnya.
  • Cacat Tidak Tersembunyi. Jika barang leasing tersebut mengandung cacat tetapi tidak tersembunyi, berarti pelaksanaan kontrak tidak sesuai dengan yang tertulis dalam kontrak. Ini sudah berarti wanprestasi. Jika terdapat cacat yang tidak tersembunyi, maka penyelesaiannya sama saja dengan kasus-kasus wanprestasi terhadap kontrak leasing lainnya.
  • Barang Rusak Karena Kesalahan Lessee. Begitu krusialnya kedudukan barang leasing baik bagi lessee maupun bagi lessor, maka biasanya dalam kontrak leasing ditentukan bahwa jika barang leasing rusak karena kesalahan lessee, biasanya kontrak langsung dianggap putus, dengan berbagai konsekuensinya, antara lain lessee harus mengembalikan semua dana yang telah dikeluarkan oleh lessor plus bunga dan biaya-biaya lainnya.
  • Barang Rusak Bukan Karena Kesalahan Lessee. Jika barang leasing rusak bukan karena kesalahan lessee, biasanyaada dua model penyelesaian, yaitu yang pertaman, dianggap sama penyelesaiannya dengan barang rusak karena kesalahan lessee, dengan berbagai konsekuensi yuridisnya. Yang kedua adalah model penyelesaian yang memasukkan rusaknya barang leasing yang bukan kesalahan lessee ke dalam kategori force majeure. 

Baca juga : Perbedaan Antara Leasing Dengan Sewa Menyewa

Demikian penjelasan berkaitan dengan putusnya kontrak leasing karena wanprestasi. Tulisan tersebut bersumber dari buku Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek, Munir Fuady, SH, MH, LLM.

Semoga bermanfaat.