Leasing, berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia, Menteri Perindustrian Republik Indonesia, dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : KEP-122/MK/IV/2/1974, Nomor : 32/M/SK/2/1974, dan Nomor : 30/Kpb/I/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing, diartikan sebagai :
- Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) dari perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Baca juga : Pengertian Keadaan Memaksa (Overmarcht/Force Majeure) Dalam Hukum Perdata
Kontrak leasing dapat berakhir karena beberapa sebab, salah satunya adalah karena terjadinya force majeure. Sebelum membicarakan putusnya atau berakhirnya kontrak leasing karena force majeure, kita mesti mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan force majeure. Force majeure adalah suatu keadaan di luar kendali manusia yang terjadi setelah diadakannya perjanjian, yang menghalangi pihak yang berhutang untuk memenuhi prestasinya kepada pihak terhutang. Atas keadaan memaksa ini, pihak yang berhutang tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko.
- Keadaan yang menimbulkan keadaan memaksa tersebut harus terjadi setelah dibuatnya perjanjian
- Keadaan yang menghalangi pemenuhan prestasi harus mengenai prestasinya sendiri.
- Pihak yang berhutang tidak harus menanggung resiko.
- Peristiwa yang terjadi yang menghalangi pemenuhan prestasi tersebut di luar kendali pihak yan berhutang.
Baca juga : Putusnya Kontrak Leasing Karena Wanprestasi
Force majeure memaksa putusnya berlakunya suatu perjanjian dan menimbulkan berbagai akibat, yaitu :
- Pihak yang terhutang tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi.
- Pihak yang berhutang tidak lagi dapat dinyatakan lalai, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi.
- Resiko tidak beralih kepada pihak yang berhutang.
- Pihak yang terhutang tidak dapat menuntut pembatalan pada perjanjian timbal balik.
Baca juga : Pengertian Wanprestasi (Ingkar Janji) Dan Akibat-Akibat Wanprestasi
Dalam kontrak leasing, ketentuan tentang resiko jika terjadi force majeure tidak sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut di atas. Dalam perjanjian leasing biasanya berlaku bahwa sungguhpun hak milik atas barang leasing belum beralih kepada lessee sebelum hak opsi beli dilaksanakan, tetapi karena lessor memang dari semula bertujuan hanya sebagai penyandang dana, bukan sebagai pemilik, maka sudah selayaknya jika beban resiko dari suatu leasing yang dalam keadaan force majeure dibebankan kepada lessee. Dalam kontrak leasing biasanya lessor tidak ingin mengambil resiko, jadi pengaturan resiko pada transaksi leasing lebih condong ke resiko yang ada pada transaksi jual beli daripada sewa menyewa.
Dalam praktek leasing, resiko tidak begitu menjadi soal, karena biasanya barang leasing yang bersangkutan telah diasuransikan. Bahkan sering juga dalam bentuk asuransi "all risk". Di mana hak untuk menerima ganti kerugian dari ansuransi ini telah dialihkan kepada lessor (dilakukan cessie asuransi).
Baca juga : Pembelaan Debitur Yang Dituduh Lalai (Wanprestasi)
Baca juga : Pembelaan Debitur Yang Dituduh Lalai (Wanprestasi)
Tapi pengaturan resiko ini tetap penting mengingat jika terjadi sesuatu dan lain hal yang menyebabkan pihak asuransi tidak dapat atau tidak mau membayar seluruhnya atau sebagian dari ganti kerugian jika terjadi force majeure. Misalnya dengan alasan bahwa asuransi bukan untuk "all risk", atau perusahaan asuransi jatuh pailit, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam hal seperti tersebut, pihak lessee lah yang akhirnya menjadi pihak yang harus menanggung resiko. Dalam praktek, hal inilah yang terjadi (diikuti sepenuhnya).
Demikian penjelasan berkaitan dengan putusnya kontrak leasing karena force majeure.
Semoga bermanfaat.