Dalam cerita kuno dikatakan bahwa orang Jawa itu anak keturunan atau berasal dari dewa. Dalam bahasa Jawa ngoko, orang Jawa disebut wong Jawa. Wong berasal dari kata wahong, yang artinya anak keturunan dewa. Jadi wahong Jawa berarti orang Jawa adalah anak keturunan dewa. Begitu pula sebutan dalam bahasa Jawa krama inggil (bahasa Jawa yang lebih halus). Dalam bahasa Jawa krama inggil, orang Jawa disebut tiyang Jawa. Tiyang Jawa berasal dari kata Ti Hyang Jawa, yang artinya sama, yaitu anak keturunan dewa. Selain itu ada pula sebutan jawata, yang artinya adalah swa, gurunya orang Jawa.
gambar : mediametafisika.com |
Menurut pedalangan wayang kulit, keindahan pulau Jawa saat itu telah menarik dewa dewi dari kahyangan. Sehingga mereka turun ke marcapada, tanah Jawa, dan selanjutnya membangun kerajaan di Jawa Dwipa. Raja Kediri, Jayabaya adalah Dewa Wisnu yang turun dari kahyangan. Jayanaya amat populer di kalangan masyarakat Jawa, dengan bukunya yang terkenal yaitu Jangka Jayabaya, berisi ramalan yang akurat mengenai sejarah perjalanan negeri ini. Juga berisi nasehat-nasehat bijak bagi mereka yang memegang tampuk pimpinan negara. Ajarannya mengenai perilaku yang baik dan benar mempunyai nilai kebenaran yang universal.
Jawa Dwipa, menurut salah satu sumber adalah kerajaan dewa pertama di pulau Jawa. Letaknya di gunung Gede, Merak, dengan rajanya bernama Dewo Eso atau Dewowarman yang bergelar Wisnudewo. Permaisurinya bernama Dewi Pratiwi, yaitu nama dari Dewi Bumi. Dia adalah putri dari seorang begawan Jawa yang terkenal yaitu Begawan Lembu Suro, yang tinggi ilmu dan pengetahuan spiritualnya, yang mampu hidup di tujuh dimensi alam (Garbo Pitu). Begawan Lembu Suro tinggal di Dieng (Jawa Tengah). Dieng berasal dari kata Adhi Hyang, artinya suksma yag sempurna. Perkawinan Wisnu dewo dengan Dewi Pratiwi melambangkan turunnya dewa yang berupa suksma untuk menetap di bumi.
Baca juga : Hikayat Asal Usul Aksara Jawa
Kecantikan pulau Jawa bahkan menarik hati raja para dewa, yaitu Batara Guru, untuk mendirikan kerajaan di bumi. Betara Guru selanjutnya mendirikan kerajaan di gunung Mahendra (sekarang disebut gunung Lawu, teletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur) yang berarti surga yang agung, dengan gelar Ratu Mahadewa. Betara Guru mempunyai nama lain, yaitu Sang Hyang Jagat Nata yang berarti ratunya jagat raya, dan Sang Hyang Girinata yang artinya ratunya gunung-gunung.
Kecantikan pulau Jawa bahkan menarik hati raja para dewa, yaitu Batara Guru, untuk mendirikan kerajaan di bumi. Betara Guru selanjutnya mendirikan kerajaan di gunung Mahendra (sekarang disebut gunung Lawu, teletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur) yang berarti surga yang agung, dengan gelar Ratu Mahadewa. Betara Guru mempunyai nama lain, yaitu Sang Hyang Jagat Nata yang berarti ratunya jagat raya, dan Sang Hyang Girinata yang artinya ratunya gunung-gunung.
Keraton kerajaan Mahendra dibangun mirip seperti keratonnya yang berada di kahyangan. Di kerajaan Mahendra inilah, piranti-piranti kerajaannya di kahyangan dibuat, diantaranya :
- Gamelan, yaitu seperangkat alat musik untuk hiburan para dewa. para dewa menikmati alunan suara gamelan yang merdu sambil menari (olah beksa). Menari/olah beksa itu bukanlah sekedar mengayunkan raga menikuti ritme musik, melainkan merupakan latihan untuk berkonsentrasi dan selanjutnya berkontemplasi untuk mengenal jati diri dan menemui Sang Pencipta (seperti Yoga dalam arti yang sebenarnya). Nama gamelan itu disebut Lokananta.
- Patung-patung penjaga istana, yaitu Cingkarabala dan Balaupata, yang diletakkan di kanan dan kiri pintu gerbang istana.
- Pusaka, berupa keris, cakra, tombak, panah, dan lain-lain yang dibuat oleh empu terkenal, yaitu Empu Ramadhi.
Beberapa anak keturunan Betara Guru yang menikahi putri pribumi, ditunjuk untuk meneruskan memimpin kerajaan, tidak hanya di Kerajaan Mahendra, tetapi juga di kerajaan-kerajaan lain di pulau Jawa, Sumatera, dan Bali.
Tanah Jawa atau tanah Jawi, maksudnya adalah : 'ta' - sira yang berarti kamu atau anda, dan 'nah' dari mrenah yang artinya bertempat tinggal (di Jawa atau Jawi), dan njawi artinya di luar, di jagad ini. Jadi tanah Jawa atau tanah Jawi berarti kamu/anda sudah tidak tinggal lagi di alam gaib, alam kedewatan, alam suksma, dan kini kamu/anda tinggal di luar, di jagat ini. Hal tersebut merupakan ungkapan untuk suksma yang turun dan tinggal di jagat ini.
Jadi sebenarnya, kehidupan manusia di bumi mestinya tidak memisahkan antara kehidupan suksma yang berasal dari alam gaib dan kehidupan raganya di dunia ini. Suksma dan raga selalu melekat tak terpisahkan dari dalam diri seorang manusia. Persatuan suksma dan raga mestinya dalam keadaan sempurna, sinkron. Kalau satu hari raganya rusak, maka suksma akan kembali lagi ke alam asalnya, yaitu yang disebut "alam suksma, alam gaib, alam kadewatan". Hal inilah yang mendasari ajaran spiritual Jawa, yaitu ajaran bahwa suksma itu hidup langgeng dan abadi, yang rusak itu hanya raga. Oleh karena itu, ada ungkapan kebatinan yang mengatakan "asal mula bali marangmula-mula", yang artinya "suksma, roh kembali ke alam asalnya, keharibaan Tuhan".
Baca juga : Hikayat Dewi Sri
Baca juga : Hikayat Dewi Sri
Orang Jawa memang senang mengungkapkan segala sesuatunya dengan perlambang, dengan simbol-simbol. Maka bagi orang-orang yang belum terbiasa, bisa terjebak dalam menangkap artinya. Mereka terjebak karena mengartikan simbol-simbol tersebut secara harafiah. (dari buku Hikayat Bumi Jawa, Agustina Soebachman)
Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.