Hikayat Dewi Sri

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Dewi Sri adalah dewi padi yang menyebabkan kesuburan dan dan keberhasilan panen. Tanah loh jinawi merupakan akibat dari campur tangan kekuatan magis Dewi Sri. Di kalangan masyarakat, Dewi Sri merupakan satu kepercayaan yang berkembang di masyarakat Jawa. Bahkan, hingga saat ini masih menjadi rujukan bagi petani. Bau dan warna akibat kekuatan Dewi Sri menghiasi tradisi tanam padi.

gambar : scoop.it
Di Jawa Barat, Dewi Sri lebih akrab dikenal dengan nama Nyi Pohaci atau Sang Hyang Sri. Sedangkan masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur sampai ke Bali, memanggil Dewi Sri.

Cerita kelahiran Dewi Sri ke bumi sangat bervariasi. Masyarakat Jawa Barat cenderung percaya bahwa Dewi Sri berasal dari sebuah telur yang menetas, kemudian menjelma menjadi gadis cantik yang merupakan ibu dari segala tumbuhan di alam raya ini. Tak berbeda jauh dengan legenda Timun MasSementara di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, legenda yang mengalir menyebutkan bahwa Dewi Sri tersebut merupakan jelmaan dari ular piton yang menguntungkan petani. Kenapa menguntungkan ? Karena ular piton tersebut  membasmi berbagai macam hama di ladang dan sawah. Dari mana pun asal muasal Dewi Sri, yang jelas keberadan Dewi Sri di bumi ini adalah sebagai sosok yang selalu membawa berkah, dewi pembawa kesuburan, dewi panen, dewi bumi, dewi benih, serta senantiasa memberikan keberhasilan dan kemakmuran.

Menurut cerita legenda bercorak Hindu Jawa yang berkembang di Indonesia, diceritakan bahwa Dewi Sri merupakan isteri Betara Guru. Pada suatu masa, Dewi Sri dikejar-kejar oleh dewa bawahan Betara Guru karena terpesona dengan kecantikannya. Karena kesal, dewa bawahan itu pun kemudian dikutuk oleh Dewi Sri menjadi babi hutan. Namun, walaupun sudah berubah menjadi babi hutan, dewa bawahan tersebut rupanya masih juga terus mengejar Dewi Sri. Selanjutnya Dewi Sri pun memohon agar ia berubah menjadi tanaman agar tidak dikejar-kejar babi hutan itu lagi. Kemudian ia menjelma menjadi tanaman padi di sawah. Akan tetapi, ternyata babi hutan tersebut terus mengejar Dewi Sri dengan menjelma menjadi hama bagi tanaman padi.

Orang Jawa dulu/tradisional memiliki tempat khusus di tengah rumah mereka untuk Dewi Sri. Maksudnya agar Dewi Sri mau singgah sehingga mereka mendapatkan kemakmuran. Tempat khusus itu dihiasi dengan ukiran ular. Di masyarakat pertanian, ular yang masuk ke dalam rumah tidak diusir karena dianggap dapat meramalkan panen yang berhasil sehingga malah diberi sesajen. Sementara di Bali, masyarakat menyediakan kuil khusus untuk Dewi Sri di sawah.

Versi lain dari Dewi Sri, berasal dari Jawa Timur. Diceritakan bahwa Dewi Sri adalah putri Raja Purwacarita, dan mempunyai saudara laki-laki bernama Raden Sadhana. Karena Dewi Sri dan Raden Sadhana tidak mau tinggal di keraton, maka mereka dikutuk oleh Raja Purwacarita. Dewi Sri menjadi ular sawah dan Raden Sadhana menjadi burung sriti. Mereka berdua pun pergi entah kemana. Dalam perjalanannya, ular sawah yang merupakan jelmaan dari Dewi Sri sampai di dusun Wasutira salah satu wilayah dalam negeri Wirata. Karena rasa lelahnya, sang ular tertidur melingkar di  tegah-tengah padi. Di dusun Wasutira inilah ular sawah diletakkan di petanen. Ular sawah ini nantinya akan menjaga bayi yang dikandung oleh Ken Sanggi, isteri dari Kyai Brikhu, karena bayi yang dikandung adalah titisan Dewi Tiksnawati. Apabila ular itu mati, maka bayi itu juga akan mati.  Maka dari itu,  Kyai Brikhu tetap merawat ular sawah tersebut dengan sangat hati-hati jangan sampai mati. Demikianlah pada suatu malam Ken Sanggi melahirkan anak perempuan dengan selamat. 

Sewaktu Kyai Brikhu tertidur, ular sawah tersebut menemuinya dalam mimpi dan berkata agar tidak diberi makan katak, melainkan sesaji berupa sirih ayu, bunga, dan lampu yang menyala terus. Setelah Kyai Brikhu terbangun dari tidur, ia langsung menyiapkan sesaji seperti apa yag diminta ular sawah tadi. Dewi Tiksnawati yang menitis pada tubuh bayi tersebut rupanya membuat gonjang ganjing kahyangan, tempat para dewa, karena ternyata Dewi Tiksnawati tidak memberi tahu atau minta ijin dari Sang Hyang Jagadnata, saat hendak menitis ke bayi, anak dari Kyai Brikhu. 

Sang Hyang Jagadnata pun menjadi murka dan mengutus para dewa untuk memberi bencana pada sang bayi. Akan tetapi, upaya tersebut gagal karena pengaruh tolak balak yang telah diberikan oleh Kyai Brikhu (berdasarkan permintaan dari ular sawah tadi). Setelah beberapa kali gagal, tahulah Sang Hyang Jagadnata bahwa semua itu berasal dari Dewi Sri. Kemudian Sang Hyang Jagadnata atau Betara Guru mengutus para bidadari untuk menemui Dewi Sri. Dia akan dijadikan bidadari untuk melengkapi bidadari yang ada di kahyangan. Permintaan Sang Hyang Jagadnata diterima oleh Dewi Sri, akan tetapi, ia memohon agar Raden Sadhana yang dikutuk menjadi burung sriti dapat diruwat menjadi manusia kembali. Dan ternyata, Raden Sadhana telah diruwat menjadi manusia oleh Begawan Brahmana Marhaesi (putra dari Sang Hyang Brahma). Kemudian Raden Sadhana dijodohkan dengan putri yang bernama Dewi Laksmitawahni. Sedangkan ular sawah tersebut kemudian di ruwat oleh para bidadari dan kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewi Sri.

Sepeninggal para bidadari, Kyai Brikhu yang tengah membersihkan petanen terkejut melihat ular sawah telah tidak ada, dan yang ada adalah seorang wanita cantik. Kyai Brikhu pun akhirnya tahu bahwa Dewi Sri adalah putri dari Raja Purwacarita. Sebelum Dewi Sri pergi meninggalkan Kyai Brikhu dan keluarganya, ia berpesan agar mereka memberikan sesajen di depan petanen atau kamar tengah agar sandang pangan mereka selalu tercukupi. Setelah itu Dewi Sri moksa.

Itulah sebabnya di senthong (kamar) tengah pada rumah orang Jawa selalu diberi gambar ular sebagai lambang kewanitaan. Tentu saja wanita yang dimaksud adalah Dewi Sri yang dianggap memberikan kemakmuran. Para petani berkeyakinan, apabila ada ular masuk ke dalam rumah merupakan pertanda bahwa sawah mereka akan diberikan hasil yang baik. Artinya, mereka akan banyak rejeki. Karena itulah mereka tidak mau mengganggu ular sawah dan selalu memberikan sesaji.

Nilai Sakral Senthong Bagi Masyarakat Perani.


Masyarakat Jawa adalah salah satu kelompok yang tidak hanya menjadikan bertani sebagai mata
pencaharian, tetapi juga sebagai urat nadi seluruh kehidupan. Kepercayaan masyarakat Jawa di masa sebelum masuknya Islam banyak dipengaruhi oleh kegiatan agraris. Begitupun dengan peran ruang-ruang pada tempat tinggal (rumah). Dalam legenda Dewi Sri yang beredar di masyarakat Jawa, disebutkan masyarakat petani Jawa menyediakan ruangan (senthong) di dalam rumah. Senthong tengah merupakan ruang yang mewadahi kebutuhan manusia untuk melaksanakan ritual yang erat kaitannya dengan pertanian dan Dewi Sri.

Senthong memiliki arti "ruang yang diberi sekat". Terletak di sisi belakang rumah, senthong berupa bilik/kamar tertutup yang memiliki bukaan untuk masuk (bisa berdaun pintu atau dipasangi tirai). Ada tiga buah senthong pada setiap rumah Jawa. Dalam rumah Jawa, yang selalu menghadap ke selatan, ketiga senthong ini saling berjajar, disebut senthong barat, senthong tengah, dan senthong timur.

Fungsi senthong sangat berkaitan erat dengan kegiatan bertani. Senthong barat biasa digunakan untuk menyimpan bahan makanan dan senthong timur untuk menyimpan alat pertanian. Yang istimewa adalah senthong tengah, yaitu tempat yang segaja dikosongkan (hanya ada sebuah amben/dipan/tempat tidur rendah untuk menyimpan baeang berharga) dan tidak dipakai untuk kegiatan apapun.

Ruang senthong tengah dianggap berada di tempat yang terbaik di rumah, sehingga diperlakukan sebagai tempat paling suci, tempat Dewi Sri "berkunjung". Suasana dalam ruang ini hening dan mistis, terpisah dari kegiatan sehari-hari yang bersifat keduniawian. Di ruang ini, secara periodik pemilik rumah melakukan ritual pemujaan terhadap arwah nenek moyang (dipersonifikasikan sebagai Dewi Sri). Ritual meletakkan sesajen dilakukan sebagai penghormatan terhadap sang pelindung padi agar keluarga itu senantiasa diberi hasil padi yang melimpah dan kesejahteraan dalam berumah tangga. (dari buku Hikayat Bumi Jawa, Agustina Soebachman)