Tempus Delicti (Waktu Terjadinya Tindak Pidana) : Pengertian, Arti Penting, Tujuan, Dan Teori Tentang Tempus Delicti (Waktu Terjadinya Tindak Pidana)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Tempus Delicti. Ketentuan Pasal 143 Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyebutkan bahwa :

(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda-tangani serta berisi :
  • a. Nama Lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan perkerjaan tersangka.
  • b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan (tempus dan locus delicti, pen).
(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

Ketentuan Pasal 143 KUHAP tersebut menegaskan bahwa dalam surat dakwaan, penuntut umum harus mencantumkan selain tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti), juga harus mencantumkan juga waktu terjadinya tindak pidana (tempus delicti). Jika dalam surat dakwaan, penuntut umum tidak mencantumkan tempat dan waktu terjadinya tindak pidana, maka akan berakibat batalnya surat dakwaan dimaksud.

Istilah “tempus delicti” merupakan penggabungan dari dua kata, yaitu “tempus” atau tempo yang berarti waktu, dan “delicti” yang berarti delik atau tindak pidana. Sehingga berdasarkan pengertian tersebut, istilah “tempus delicti” dapat diartikan sebagai waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana. Lebih luas lagi, penentuan tempus delicti sangat penting untuk menentukan apakah suatu undang-undang dapat diterapkan terhadap suatu tindak pidana.

Moeljatno, dalam “Azas-Azas Hukum Pidana”, menjelaskan bahwa penentuan waktu terjadinya tindak pidana (tempus delicti) sangat diperlukan, meskipun tidak ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai hal tersebut dalam dalam undang-undang hukum pidana. Lebih lanjut, Moeljatno menyebutkan bahwa keberadaan tempus delicti diperlukan karena berkaitan dengan hal sebagai berikut :
  • untuk memecahkan persoalan tentang berlakunya peraturan hukum pidana atau kewenangan instansi untuk menuntut dan mengadili (bersama dengan locus delicti).
  • memiliki arti penting bagi lex temporis delicti maupun hukum transitor, dan mengenai keadaan jiwa atau umur dari terdakwa, serta berlakunya tenggang daluwarsa.


Arti Penting Tempus Delicti. Selaras dengan pendapat dari Moeljatno tersebut, dapat disebutkan bahwa arti penting dari tempus delicti adalah berkaitan dengan :

1. Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana).
Ketentuan Pasal 1 KUH Pidana berkaitan dengan berlakunya hukum pidana menurut waktu (tempus), di mana ketentuan Pasal 1 KUH Pidana, menyebutkan bahwa :

(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
(2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.


Ketentuan Pasal 1 KUH Pidana tersebut untuk menentukan apakah perbuatan atau tindak pidana yang bersangkut paut pada waktu itu sudah dilarang dan diancam dengan pidana atau belum, hal tersebut berarti bahwa :
  • suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Oleh karena itu pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan;
  • ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada daripada perbuatan itu, dengan kata lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu ketentuan tersebut tidak berlaku surut (asas non retroaktif), baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya.

Dalam kaitannya dengan berlakunya hukum pidana menurut waktu (tempus), terdapat tiga asas pokok dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana, yaitu :
  • asas legalitas (nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenali). Tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu.
  • asas larangan berlaku surut. Larangan memberlakukan undang-undang yang baru lahir terhadap suatu tindakan pidana yang sebelumnya belum diatur dalam undang-undang. Jadi sifat undang-undang pidana adalah berjalan ke depan dan tidak ke belakang.
  • asas larangan penggunaan analogi. Analogi terjadi apabila suatu peraturan hukum menyebut dengan tegas suatu kejadian yang diatur, tetapi peraturan itu dipergunakan juga bagi kejadian lain yang terang tidak disebut dalam peraturan itu, tetapi banyak terjadi dengan kejadian-kejadian lainnya.

Sedangkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa. Jadi, sepanjang menguntungkan terdakwa, maka pemberlakuan hukum pidana yang baru (meskipun berlaku surut) dapat dilaksanakan. Beberapa hal yang terkait dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana adalah :

a. Perubahan undang-undang.
Terdapat tiga teori berkaitan dengan perubahan undang-undang, yaitu :

a.1. Teori Formil.
Menurut Hoge Raad Raad dalam keputusannya tanggal 3 Desember 1906 apabila ada perubahan redaksional undang-undang misalnya : undang-undang perdata yang berhubungan dengan undang-undang pidana maka perubahan itu juga dikategorikan sebagai perubahan undang-undang sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana walaupun perubahan itu sendiri tidak disebut dalam redaksi suatu pasal dalam undang-undang pidana itu sendiri.

a.2. Teori Materiil Terbatas.
Teori materiil terbatas menjelaskan bahwa setiap perubahan dalam perundangundangan yang sesuai dengan perubahan perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat undang-undang. Jadi tidak boleh diperhatikan suatu perubahan keadaan karena waktu.

a.3. Teori Materiil yang Tidak Terbatas.
Teori materiil yang tidak terbatas menjelaskan bahwa setiap perubahan undang-undang baik dalam perasaan hukum dari pembuat undang-undang maupun dalam keadaan karena waktu boleh diterima sebagai suatu perubahan dalam undang-undang menurut arti kata ketentuan Pasal 2 ayat (1).

b. Undang-undang yang diberlakukan pada tersangka, jika terjadi perubahan undang-undang.
Apabila terjadi perubahan undang-undang ketika tersangka sedang dalam proses penyidikan atau peradilan, maka undang-undang yang dipilih adalah undang-undang yang paling menguntungkan si tersangka, baik dari segi hukuman maupun segala sesuatu yang mempunyai pengaruh atas penilaian suatu delik. Semakin banyak unsur biasanya akan semakin menguntungkan terdakwa karena jaksa akan semakin kesulitan untuk melakukan pembuktian.

2. Pasal 44 KUH Pidana.
Ketentuan Pasal 44 KUH Pidana berkaitan dengan pelaku tindak pidana yang tidak mampu bertanggung jawab (di bawah pengampuan), di mana ketentuan Pasal 44 KUH Pidana menyebutkan bahwa :

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.


Ketentuan Pasal 44 KUH Pidana tersebut untuk menentukan apakah terdakwa saat melakukan tindakan pidana mampu bertanggung jawab atau tidak.

3. Pasal 45 KUH Pidana.
Ketentuan Pasal 45 KUH Pidana berkaitan dengan pelaku tindak pidana yang masih di bawah umur (belum dewasa), di mana ketentuan Pasal 45 KUH Pidana, menyebutkan bahwa :

Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.


Ketentuan Pasal 45 KUH Pidana tersebut untuk menentukan apakah terdakwa ketika melakukan perbuatan sudah berumur 16 tahun atau belum, jika belum berumur 16 tahun, maka boleh memilih antara ketiga kemungkinan, yaitu :
  • mengembalikan anak tersebut kepada orang tuanya tanpa memberi sanksi apapun.
  • menyerahkan anak tersebut kepada pemerintah untuk dimasukkan ke dalam panti rehabilitasi anak.
  • menjatuhi pidana seperti orang dewasa, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 47 KUH Pidana.

4. Pasal 79 KUH Pidana.
Ketentuan Pasal 79 KUH Pidana berkaitan dengan daluwarsa (verjaring)-nya suatu tindak pidana, di mana ketentuan Pasal 79 KUH Pidana, menyebutkan bahwa :

Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut:
  1. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan.
  2. mengenai kejahatan dalam pasal-pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia.
  3. mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a, tenggang dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, dipindah ke kantor tersebut.

Daluwarsa atau “verjaring” dihitung mulai dari :
  • hari setelah perbuatan pidana terjadi.
  • diketahuinya perbuatan dalam keadaan tertangkap tangan.


Tujuan Tempus Delicti. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penentuan tempus delicti bertujuan untuk :
  • menentukan waktu atau kapan terjadinya suatu tindak pidana.
  • menentukan apakah suatu undang-undang pidana dapat diberlakukan untuk mengadili tindak pidana yang terjadi tersebut. Suatu undang-undang yang pemberlakuannya setelah terjadi suatu delik atau tindak pidana tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk memeriksa dan memutuskan suatu tindak pidana. Oleh karena itu hal ini berkaitan dengan undang-undang tidak berlaku surut.
  • keperluan kadaluarsa dan hak penuntutan.
  • apakah si pelaku sudah mampu bertanggung jawab atau belum


Teori Tempus Delicti. Sebagaimana dalam “locus delicti”, dalam tempus delicti juga dikenal adanya beberapa teori. Teori yang berlaku dalam “tempus delicti” tidak berbeda dengan teori yang berlaku dalam “locus delicti”, yaitu :

1. De leer van de lichamelijke daad.
De leer van de lichamelijke daad atau “teori perbuatan materiel (fisik)” merupakan teori yang menjelaskan kapan suatu delik dilakukan oleh tersangka.

2. De leer van het instrument.
De leer van het instrument atau “teori bekerjanya alat yang digunakan” merupakan teori yang menjelaskan mengenai kapan suatu alat yang digunakan untuk melakukan suatu delik itu diaktifkan dan berakhir hingga memberikan akibat bagi korbannya, misalnya: racun, bom dan sebagainya.

3. De leer van het gevolg.
De leer van het gevolg atau “teori akibat” merupakan teori yang menjelaskan mengenai kapan akibat mulai timbul ketika terjadi suatu delik.

4. De leer van de meervoudge tijd.
De leer van de meervoudge tijd atau “teori waktu yang jamak” merupakan teori yang menjelaskan kapan saja waktu tindak pidana terjadi.


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian tempus delicti (waktu terjadinya tindak pidana), arti penting dan tujuan tempus delicti, serta teori tentang tempus delicti (waktu terjadinya tindak pidana).

Semoga bermanfaat.