Ridha Dalam Islam : Pengertian, Bentuk, Fungsi, Dan Tahapan Menuju Ridha, Serta Perbedaan Antara Ridha Dan Ikhlas

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Ridha. Allah berfirman dalam QS. Al Bayyinah : 8, yang artinya :

Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya, yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.”

Mereka yang ridha adalah mereka yang dapat menghayati hikmah dan kebaikan dari Dzat yang mendatangkan ujian. Mereka tidak berburuk sangka kepada-Nya. Ia juga menghayati betapa Dia Maha Agung, Maha Mulia dan Maha Sempurna.

Secara etimologi, istilah “ridha” berasal dari bahasa Arab, yaitu “radiya” yang berarti senang hati (rela). Sedangkan secara terminologi, istilah “ridha” berarti menerima semua yang terjadi atas dirinya dengan lapang dada dan senang hati, dan meyakini bawa semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah. Menurut syariah, ridha adalah menerima dengan senang hati atas segala yang diberikan Allah, baik berupa hukum (peraturan-peraturan) maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.

Abu Ḥamid Muḥammad Ibn Muḥammad Al-Ghazali atau lebih dikenal sebagai Imam Al-Ghazali, dalam “Ihya ‘Ulumiddin”, menjelaskan bahwa :
  • ridha adalah salah satu buah dari cinta (mahabbah). Apabila kecintaan kepada Allah telah ada dalam jiwa atau qalbu seseorang, maka bukan suatu hal yang mustahil jika menjalankan semua perintah-Nya adalah suatu kesenangan dan kegembiraan. Kecintaan kepada Allah dapat dilakukan apabila qalbu telah suci dari segala sesuatu yang bisa menghilangkan kecintaan kepada-Nya, sehingga hati tidak ditutupi oleh kesalahan serta kegelisahan.
  • hakikat ridha adalah menutup diri dari segala hal yang dapat menjauhkan diri dari Allah. Seseorang dapat bersikap ridha apabila ia telah berlatih sabar dan syukur. Artinya, ia senantiasa sabar manakala mendapatkan cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan nikmat. Tanpa dua hal itu, ridha tidak dapat dilakukan dengan sempurna.

Ridha mencerminkan ketenangan jiwa seseorang. Orang yang mempunyai sikap ridha, akan dapat merasakan nikmat yang telah diberikan oleh Allah dan juga mensyukuri segala nikmat yang Allah berikan. Orang yang berperilaku ridha juga akan tabah dan sabar dalam menerima cobaan atau musibah yang menimpanya

Orang yang ridha ketika ditimpa musibah, dia akan mencari hikmah yang terkandung di balik ujian tersebut. Ia yakin, Allah telah memilihnya (untuk menerima ujian itu), dan Dia sekali-kali tidak menghendaki keburukan dari ketentuan cobaan bagi makhluk-Nya. Apabila ridha ini sudah mengakar dalam sanubari manusia, maka hilanglah semua rasa sakit yang diakibatkan oleh berbagai musibah yang menimpanya.


Bentuk Ridha. Ridha dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk. Sebagian para ahli hikmah berpendapat bahwa ridha dapat dikelompokan menjadi tiga bentuk, yaitu :
  • ridha kepada Allah, adalah fardu ain.
  • ridha pada apa yang datang dari Allah, termasuk ubudiah yang sangat mulia.
  • rida pada qada Allah, yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : ikhtiyar ad-din wa syar’i (pilihan keagamaan dan syariat) dan ikhtiyar kauni kadari (pilihan yang berkenaan dengan alam dan takdir). Takdir yang tidak dicintai dan diridhai Allah adalah perbuatan aib dan dosa-dosa.

Selain itu, ridha juga dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk, yaitu :

1. Ridha terhadap perintah dan larangan Allah.
Berdasarkan QS. Al Bayyinnah : 8 tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila kita ridha terhadap perintah Allah, maka Allah pun ridha terhadap kita.

2. Ridha terhadap taqdir Allah.
Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika ia tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan, yaitu :
  • ridha, merupakan keutamaan yang dianjurkan.
  • sabar, merupakan keharusan dan kemestian yang perlu dilakukan oleh seorang muslim.

3. Ridha terhadap perintah orang tua.
Ridha orang tua memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan kita, sehingga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah, mempersyaratkan adanya keridhaan orang tua. Hal tersebut sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Keridhaan Allah tergantung keridhaan orang tua, dan murka Allah tergantung murka orang tua.”

4. Ridha terhadap peraturan dan undang-undang negara.
Mentaati peraturan yang belaku merupakan bagian dari ajaran Islam dan merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah, karena dengan demikian akan menjamin keteraturan dan ketertiban sosial. Hal tersebut sebagaimana firman Allah dalam QS. An Nisa : 59, yang artinya :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Yang dimaksud dengan “ulil amri” adalah orang-orang yang diberi kewenangan, seperti : ulama dan umara (ulama dan pemerintah). Ulama dengan fatwa dan nasehatnya, sedangkan umara dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.


Fungsi Ridha. Fungsi ridha dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu :

1. Bagi kehidupan pribadi.
Bagi kehidupan pribadi, ridha berfungsi :
  • menjadikan hidup tidak tamak.
  • membuat jiwa tenang, rela terhadap semua pemberian Allah, dan selalu mensyukuri semua nikmat Allah yang dilimpahkan kepadanya.
  • mencari kebahagiaan di akhirat, selain kebahagiaan di dunia dengan tetap berikhtiar.

2. Bagi kehidupan bermasyarakat.
Bagi kehidupan bermasyarakat, ridha berfungsi :
  • tidak tamak dan tidak ambisi terhadap kekayaan dan kedudukan yang dimiliki orang lain.
  • tidak akan terperdaya oleh kemewahan hidup di dunia.
  • suka menegakkan kalimat Allah.


Tahapan Menuju Ridha. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk dapat sampai pada sikap ridha. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ridha merupakan maqam tertinggi yang dimiliki orang-orang yang dekat (muqarrabun) kepada Allah. Untuk mencapai maqam ridha seorang harus melewati beberapa maqam atau tahapan sebagai berikut :

1. Taubat.
Taubat (al-taubah) adalah tahap pertama yang harus dilewati. Taubat mengandung makna :
  • kembali”. Apabila seseorang bertaubat maka ia berniat kembali kepada fitrahnya semula. Dengan kata lain, orang yang bertaubat berarti ia kembali ke jalan yang benar setelah hidup dijalan yang salah. Bertaubat dari dosa dengan kembali kepada Allah, merupakan pemulaan bagi orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah.
  • penyesalan”. Yaitu berkaitan dengan pengetahuan tentang dosa serta akibatnya pada masa sekarang, dan keinginan untuk meninggalkan segala dosa yang telah dilakukan dimasa lalu dan dimasa yang akan datang.

Pada hekekatnya, taubat adalah menyesali perbuatan dosa yang dilakukan di masa lalu dan akibatnya yaitu terhalangnya ia dari yang dicintai (Allah) karena dosa, lalu bertekad untuk menghentikan seluruh dosa tersebut agar terjalin kembali hubungan mesra dengan-Nya.

2. Sabar.
Sabar (al-shabr) adalah sebagian dari iman. Sabar merupakan derajat serta kedudukan dalam agama. Sabar dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu :
  • sabar yang berkaitan dengan fisik, seperti : ketabahan dan ketegaran memikul beban dengan badan.
  • sabar yang terpuji dan sempurna, merupakan kesabaran yang berkaitan dengan jiwa dalam menahan diri dari berbagai keinginan diri dan tabiat atau tuntutan hawa nafsu.

3. Kefakiran.
Kefakiran (al-faqr) adalah ketidak-tersediaannya apa yang dibutuhkan oleh seseorang atau sesuatu. Dalam arti ini, seluruh wujud, selain Allah, adalah fakir karena mereka membutuhkan bantuan Allah untuk kelanjutan wujudnya. Orang yang memiliki sikap fakir mempercayai bahwa dengan kefakiran itu tidak ada yang menghalangi antara hamba dengan Allah, bahkan orang yang memiliki sikap fakir percaya bahwa kekayaan dalam segi harta membuat seorang hamba berpaling dari Allah. Selain itu, fakir juga dapat berarti kekurangan manusia dalam segi harta. Meskipun demikian seseorang yang memiliki sikap fakir percaya bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik yang diberikan Allah SWT.

4. Zuhud
Zuhud (al-zuhd) adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian atau celaan, karena keakrabannya dengan Allah. Zuhud bukan berarti menjauhi segala bentuk kehidupan dunia, akan tetapi zuhud yang sebenarnya menilai bahwa kehidupan dunia lebih rendah dibandingkan dengan kehidupan di akhirat. Dengan kata lain, zuhud merupakan suatu sikap yang lebih mengutamakan kehidupan diakhirat dibandingkan dengan kehidupan di dunia. Tanda zuhud adalah :
  • tidak bergembira dengan yang ada dan tidak bersedih karena ada yang hilang.
  • sama saja baginya orang yang mencela dan orang yang memujinya.
  • hendaknya ia bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan dan cinta Allah.

5. Tawakkal.
Tawakkal (al-tawakkul) adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu suatu akibat dari suatu keadaan. Tawakal juga dapat berarti menjadikan Allah, secara bersungguh-sungguh, sebagai wakil. Tawakal merupakan suatu sikap mental seseorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah. Tingkatan tawakkal adalah :
  • keadaan menyangkut hak Allah dan keyakinannya kepada jaminan dan perhatian-Nya adalah seperti keyakinannya kepada wakil.
  • keadaan bersama Allah adalah seperti keadaan anak kecil bersama ibunya, di mana ia tidak mengenal yang lainnya, dan tidak bersandar kecuali kepadanya.
  • keadaan tawakkal yang paling tinggi, adalah hendaknya ia berada di hadapan Allah dalam semua gerak dan diamnya, seperti mayat yang ada di tangan orang yang memandikannya. Ia punya keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT adalah penggerak semua gerak, kekuatan, kemauan, pengetahuan dan semua sifat yang lainnya.

6. Cinta Illahi.
Cinta illahi (al-mahabbah) adalah puncak maqam tertinggi yang ditempuh oleh seorang hamba. Sesudah kecintaan kepada Allah tidak ada maqam lagi kecuali buah dari kecintaan tersebut. Adapun maksud atau cara mencintai Allah adalah dengan taat menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

7. Ridha.
Sikap ridha, tidaklah bisa dilakukan apabila mengingkari kecintaan kepada Allah. Sebaliknya apabila kecintaan kepada Allah telah ada dalam jiwa (qalbu) dan hilangnya duka-cita dengan kecintaan itu, maka tidaklah mustahil, bahwa kecintaan itu menjadikan keridhaan dengan segala perbuatan orang yang dicintai. 

Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa ridha merupakan maqam terakhir, yang terkait erat dengan cinta. Kalau cinta kepada Allah telah tertanam di hati seseorang, maka cinta tersebut akan menimbulkan rasa ridha atau senang atas semua perbuatan Allah, karena dua alasan : 
  • cinta bisa menghilangkan rasa sakit atau luka yang menimpa diri seseorang.
  • ia mungkin merasakan kesakitan atas apa yang menimpa dirinya, tetapi ia merasa ridha atasnya.


Perbedaan Antara Ridha dan Ikhlas. Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan dalam HR. Tirmidzi, yang artinya :

Sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia mengujinya. Barang siapa ridha terhadap ujian-Nya, maka dia memperoleh ridha-Nya dan barang siapa tidak suka, maka mendapat murka-Nya.”

Terdapat hal yang membedakan antara ridha dan ikhlas. Perbedaan dimaksud adalah :

1. Ridha :
  • berkaitan dengan sikap hati yang rela menerima apa yang telah terjadi dalam hidupnya.
  • mempercayai dengan sungguh-sungguh bahwa apa yang menimpa kita baik suka maupun duka adalah yang terbaik menurut Allah.
  • kelapangan jiwa dalam menerima takdir Allah.

2. Ikhlas :
  • berkaitan dengan niat akan perbuatan seseorang.
  • suatu sikap perbuatan yang dilakukan hanya demi dan karena Allah semata tanpa mengharapkan imbalan dan pujian dari orang lain.
  • menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal.


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian ridha, bentuk, fungsi dan tahapan menuju ridha, serta perbedaan antara ridha dan ikhlas.

Semoga bermanfaat.