Bahasa Sastra : Pengertian Dan Karakteristik Bahasa Sastra, Serta Berbagai Gaya Bahasa Dalam Sastra

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Bahasa Sastra. Bahasa merupakan alat komunikasi sosial, di mana pikiran dan perasaan seseorang disimbolisasikan agar dapat menyampaikan arti kepada orang lain secara sederhana. Bahasa juga dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati.

Sebagai salah satu jenis karya seni, karya sastra tidak lepas dari aspek estetika atau aspek keindahan. Namun, perwujudan keindahan dalam karya sastra berbeda dengan karya seni lainnya. Apabila aspek keindahan dalam karya seni lain dapat diamati secara langsung melalui bentuknya, karya sastra tidaklah demikian. Karya sastra mampu memancarkan keindahan dalam dirinya tidak hanya dari bentuk, namun yang lebih utama adalah dari bahasa yang digunakan di dalamnya.

Secara umum, bahasa sastra dapat diartikan sebagai bahasa yang khas yang digunakan dalam suatu karya sastra, yang menyimpang dari penuturan yang bersifat otomatis, rutin, biasa dan wajar, di mana penuturan dalam karya sastra selalu diusahakan dengan cara lain, baru, dan belum pernah dipakai sebelumnya. Bahasa sastra juga dapat berarti penghubung antara sesama anggota masyarakat dalam kegiatan sosial dan kebudayaan, dengan penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Burhan Nurgiyantoro, dalam “Teori Pengkajian Fiksi”, menjelaskan bahwa penggunaan bahasa sastra lebih ditujukan pada tujuan estetik karena di dalamnya hanya menggunakan unsur emotif dan bersifat kononatif.

Selain itu, pengertian bahasa sastra juga dapat dijumpai dalam beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah :
  • Rachmat Djoko Pradopo, dalam “Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya”, menjelaskan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang bukan persis sama dengan arti pada umumnya, melainkan lebih menyaran pada makna intensional, yaitu makna yang ditambahkan. Unsur bahasa sastra mengalami “ketegangan” antara pemahaman konvensi di satu pihak dengan penyimpangan dan pelanggaran konvensi di pihak lain atau lebih dikenal dengan istilah “bahasa bersayap”.
  • Paul Simpson, dalam “Stylistics”, menyebutkan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang istimewa. Keistimewaan bahasa dalam sastra dapat dilihat pada pengolahan kata dan kalimat yang kesemuanya mampu menciptakan nuansa keindahan di dalamnya.

Baca juga : Semiotik Sastra

Karakteristik Bahasa Sastra. Keberadaan bahasa sastra telah diakui dan diterima karena bahasa sastra mempunyai karakteristik khusus yang membedakannya dengan bahasa non sastra. Terdapat beberapa hal yang merupakan karakteristik atau ciri-ciri dari bahasa sastra, diantaranya adalah :

1. Bersifat konotatif.
Maksud dari bersifat konotatif adalah tambahan atau arti sekunder di samping arti primernya. Dalam karya sastra, nilai konotasi sangat penting. Dalam karya sastra, setiap pilihan kata mempunyai pengertian tersendiri dan tidak sama.

2. Bersifat simbolis.
Maksud dari bersifat simbolis adalah bahasa sastra bukan saja mengungkapkan yang tersurat, tapi juga mengungkapkan makna yang tersirat.

3. Bersifat multitafsir.
Maksud dari bersifat multitafsir adalah bahasa sastra cenderung mengundang penafsiran ganda dari pembacanya. Hal itu terjadi karena sifat konotatif bahasa sastra serta pengalaman masing-masing pembaca berbeda dan beragam.

4. Memperhatikan efek musikalitas.
Maksud dari efek musikalitas adalah efek suara atau bunyi yang mampu membangkitkan rasa merdu. Kemerduan bunyi bahasa sastra dapat dimunculkan lewat pola persajakan atau rima atau kadang dibentuk lewat perulangan bunyi yang sama dalam setiap bait atau kalimat.

Sedangkan Paul Simpson menjelaskan bahwa karakteristik dari bahasa sastra adalah :
  • penggunaan bahasa yang estetis atau indah.
  • bahasa sastra merupakan plastik untuk membungkus amanat dalam sebuah cipta sastra. Bahasa dalam karya sastra dijadikan sebagai media untuk menyampaikan amanat berupa ajaran dan berbagai pesan moral kepada pembacanya.
  • bahasa sastra dinamis. Pada hakikatnya, bahasa dalam karya sastra tidaklah berbeda dengan bahasa-bahasa yang digunakan pada umumnya. Perbedaannya hanya terletak pada pemanfaatan bahasa itu sendiri. Jika karya-karya non sastra terkesan kaku dengan aturan-aturan baku tata bahasa formal, maka sastra tidak demikian. Sastra mampu memanfaatkan bahasa secara luas, karena penyusunan bahasa dalam karya sastra lebih dinamis.
  • bahasa sastra bersifat simbolis dan konotatif. Sastra berisi realitas kehidupan manusia. Realitas kehidupan tersebut ada yang dikemukakan oleh pengarang sastra secara lugas dengan menggunakan bahasa-bahasa yang denotatif, namun ada juga yang diungkapkan secara simbolik dengan menggunakan bahasa-bahasa yang konotatif. Bahkan, penggunaan simbol dan bahasa yang konotatif menjadi salah satu ciri bahasa sastra. Dengan bahasa yang simbolis dan konotatif, pengarang sastra dapat mewakilkan kesan pribadinya terhadap sesuatu.


Gaya Bahasa Dalam Sastra. Dalam suatu karya sastra dikenal adanya gaya bahasa atau “majas”. Gaya bahasa atau majas merupakan pemanis dalam suatu karya sastra, yang mewakili perasaan penulisnya.Tujuan dari penggunaan gaya bahasa dalam sastra adalah untuk membuat pembaca mendapatkan efek tertentu yang bersifat emosional dari apa yang mereka baca. Terdapat beberapa gaya bahasa atau majas yang dikenal dalam sastra, yaitu sebagai berikut :

1. Gaya Bahasa (Majas) Perbandingan.
Gaya bahasa perbandingan adalah gaya bahasa yang digunakan untuk membandingkan (menyandingkan) suatu obyek dengan obyek la in melalui proses penyamaan, pelebihan, ataupun penggantian. Gaya bahasa perbandingan terdiri dari :
  • personifikasi, yaitu gaya bahasa yang digunakan seolah-olah menggantikan fungsi benda mati yang bisa bersikap layaknya seperti manusia. Contoh : nyiur melambai.
  • metafora, yaitu gaya bahasa yang digunakan dengan meletakkan sebuah obyek yang bersifat sama dengan pesan yang ingin disampaikan dalam bentuk ungkapan. Contoh : Dia tulang punggung keluarganya.
  • asosiasi, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk membandingkan dua obyek yang berbeda, namun dianggap sama dengan pemberian kata sambung : bagaikan, seperti, atau bak. Contoh : Wajah kedua orang itu bagaikan pinang dibelah dua.
  • hiperbola, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan kesan berlebihan, bahkan hampir tidak masuk akal. Contoh : Ia bekerja memeras keringat membanting tulang untuk mencukupi hidup keluarganya.
  • eufemisme, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk mengganti kata-kata yang dianggap kurang baik dengan padanan yang lebih halus. Contoh : Pemerintah sedang membangun fasilitas untuk kaum difabel. Difabel untuk menggantikan frasa orang yang kurang secara fisik (cacat).
  • metominia, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk membandingkan (menyandingkan) suatu istilah atau merek untuk merujuk pada benda umum. Contoh : Dia ke pasar naik honda. Honda merujuk pada kendaraan bermotor.
  • simile, yaitu gaya bahasa yang hampir sama dengan asosiasi yang menggunakan kata hubung bagaikan, seperti, atau bak, hanya saja simile bukan membandingkan dua obyek yang berbeda, tetapi membandingkan (menyandingkan) sebuah kegiatan dengan ungkapan. Contoh : Apa yang dilakukannya seperti anak ayam kehilangan induknya.
  • alegori, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk membandingkan (menyandingkan) suatu obyek dengan kata-kata kiasan. Contoh : Dia adalah nahkoda dalam keluarga. Nahkoda berarti pemimpin keluarga.
  • sinekdok, terbagi menjadi dua, yaitu : a. sinekdok pars pro toto adalah gaya bahasa yang untuk menyebutkan sebagian unsur untuk menampilkan keseluruhan sebuah benda. Contohnya : Sudah malam begini belum nampak juga batang hidungnya. b. sinekdok totem pro parte adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menampilkan keseluruhan untuk merujuk pada sebagian benda atau situasi. Contoh : Indonesia juara Sea Games.
  • simbolik, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk membandingkan manusia dengan sikap makhluk hidup lainnya dalam ungkapan. Contoh : Gaya wanita itu jinak-jinak merpati.

2. Gaya Bahasa (Majas) Pertentangan.
Gaya bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata kias yang bertentangan dengan maksud asli penulis. Gaya bahasa pertentangan terdiri dari :
  • paradoks, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan situasi asli dengan situasi yang berkebalikannya. Contoh : Dia tetap tersenyum walaupun dalam hatinya menangis.
  • litotes, yaitu gaya bahasa yang digunakan dengan tujuan untuk merendahkan diri, meskipun dalam kenyataannya tidak seperti itu. Gaya bahasa litotes kebalikkan dari gaya bahasa  hiperbola. Contoh : Silahkan datang ke gubug kami besok hari Minggu.
  • antitesis, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk memadukan pasangan kata yang memiliki arti bertentangan. Contoh : Cepat lambat kamu pasti bisa mendapatkannya.
  • kontradiksi Interminis, yaitu gaya bahasa yang merupakan suatu ungkapan untuk menyangkal ujaran yang telah dipaparkan sebelumnya, dan biasanya diikuti dengan konjungsi, kecuali atau hanya saja. Contoh : Semua pakaian yang ada di lemari bagus, kecuali yang berada di laci bawah sudah usang.

3. Gaya Bahasa (Majas) Sindiran.
Gaya bahasa sindiran adalah gaya bahasa yang digunakan dengan tujuan untuk menyindir seseorang, perilaku, atau kondisi tertentu. Gaya bahasa sindiran terdiri dari :
  • ironi, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk mempertentangkan sesuatu dengan fakta yang ada atau sebenarnya. Contoh : Rapi sekali mejamu, sampai susah menaruh barang ini.
  • sinisme, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk menyampaikan sindiran secara langsung. Contoh : Malas sekali, sampai rumahmu seperti kapal pecah.
  • sarkasme, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk menyampaikan sindiran langsung yang sifatnya kasar dan cenderung seperti hujatan. Contoh : Kalian semua seperti sampah masyarakat.

4. Gaya Bahasa (Majas) Penegasan.
Gaya bahasa penegasan adalah gaya bahasa yang digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan pengaruh kepada pembaca agar menyetujui ujaran atau kejadian yang diungkapkan. Gaya bahasa penegasan terdiri dari :
  • pleonasme, yaitu gaya bahasa yang digunakan dengan memakai kata-kata yang bermakna sama sehingga terkesan tidak efektif, tapi memang sengaja untuk menegaskan sesuatu hal. Contoh : Dia masuk ke dalam gedung itu, dan dia dipanggil untuk maju ke depan panggung.
  • repetisi, yaitu gaya bahasa yang digunakan dengan mengulang kata-kata dalam sebuah kalimat. Contoh : Dia yang makan, dia yang menghabiskan semuanya, dia yang rakus.
  • retorika, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk memberikan penegasan dalam bentuk kalimat tanya yang tidak perlu dijawab. Contoh : Cuma tinggal satu-satunya, masih mau kamu habiskan ?
  • klimaks, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk mengurutkan sesuatu dari tingkatan yang rendah ke tingkatan yang lebih tinggi. Contoh : Orang menuntut ilmu itu harus di mulai dari TK, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi.
  • anti klimaks, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk mengurutkan sesuatu dari tingkatan yang tinggi ke tingkatan yang lebih rendah. Contoh : Tidak perduli tua, muda, atau anak-anak harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
  • pararelisme, yaitu gaya bahasa yang digunakan dengan mengulang-ulang sebuah kata dalam berbagai definisi yang berbeda. Gaya bahasa pararelisme biasa digunakan dalam puisi. Jika pengulangan kata terjadi di awal disebut anafora, dan jika pengulangan kata terjadi di akhir disebut epifora. Contoh : Cinta itu putih, cinta itu suci, cinta tidak pernah menyakiti.
  • tautologi, yaitu gaya bahasa yang digunakan dengan memakai kata-kata yang memiliki sinonim untuk penegasan sesuatu. Contoh : Dunia akan terasa cerah, indah, dan damai jika kita saling mencintai.


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian dan karakteristik bahasa sastra, serta berbagai macam gaya bahasa dalam sastra.

Semoga bermanfaat.