Paksaan (Dwang) Dalam Terjadinya Suatu Perjanjian

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Prof. Subekti, SH berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), pengertian tentang perjanjian dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
  • Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Suatu perjanjian yang dibuat oleh dua orang atau lebih akan sah dan mengikat para pihak yang membuatnya, apabila memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, yang menjelaskan bahwa : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
  3. suatu hal tertentu.
  4. suatu sebab yang halal.

Dari ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata butir 1 tersebut di atas ditegaskan bahwa sepakat (kesepakatan) dari para pihak yang membuat perjanjian merupakan salah satu syarat sahnya dari suatu perjanjian. Hal tersebut berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus dilandaskan pada kerelaan tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak pembuat perjanjian.

Baca juga : Penafsiran Perjanjian Dan Paksaan Serta Penipuan Dalam Perjanjian

Selanjutnya ketentuan Pasal 1323 KUH Perdata, menyebutkan bahwa : 
  • Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat.

Dari ketentuan Pasal 1323 KUH Perdata tersebut jelaslah bahwa suatu perjanjian  yang terjadi di bawah paksaan  (dwang) dapat dibatalkan. Sedangkan perjanjian yang telah dibuat tersebut tetap merupakan perjanjian yang mengikat kedua belah pihak, selama perjanjian tersebut belum dibatalkan.

Ketentuan Pasal 1323 KUH Perdata tersebut juga menyatakan bahwa ancaman tidak harus datang langsung dari pihak lawan perjanjian, tetapi ancaman dapat juga datang dari siapa saja, termasuk jika lawan perjanjiannya tidak tahu tentang adanya ancaman itu, atau bahkan tidak pernah menyuruh orang lain untuk melakukan ancaman.

Baca juga : Sistem Terbuka Dan Asas Konsensualisme Dalam Hukum Perjanjian

Selain dalam ketentuan Pasal 1323 KUH Perdata tersebut, paksaan juga diatur dalam ketentuan Pasal 1324, 1325, 1326, dan 1327 KUH Perdata.

1. Pasal 1324 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
  1. Paksaan telah terjadi, apabila apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kenyataannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata
  2. Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan.

Dari ketentuan Pasal 1324 KUH Perdata tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan paksaan (dwang) adalah setiap perbuatan yang dilakukan yang ancaman terhadap kerugian kepentingan hukum seseorang, tidak hanya sebatas pada kekerasan fisik saja melainkan termasuk juga tekanan psikologis salah satu pihak, yang mengakibatkan tidak adanya kehendak sama sekali untuk menutup suatu perjanjian. Paksaan harus menimbulkan rasa takut sebagai akibat dari adanya kekerasan fisik maupun psikologis.

2. Pasal 1325 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
  • Paksaan mengakibatkan batalnya suatu perjanjian tidak saja apabila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap suami atau isteri atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah.

Dari ketentuan Pasal 1325 KUH Perdata, dapat disimpulkan bahwa : 
  • Paksaan dari pihak lain tidak harus selalu ditujukan kepada orang yang membuat perjanjian, tetapi bisa juga ditujukan kepada orang lain. Hanya saja, yang dimaksud dengan orang lain di sini dibatasi, yaitu terhadap suami atau isteri atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah. Adanya pembatasan tersebut berhubungan erat dengan rasa takut akan timbulnya kerugian atas kepentingan hukum orang yang dipaksa. 
  • Perjanjian yang dibuat di bawah paksaan dapat dibatalkan, tetapi paksaan tidak menjadikan perjanjian batal demi hukum, melainkan hanya batal dengan keputusan pembatalan atas tuntutan.

3. Pasal 1326 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
  • Ketakutan saja karena hormat terhadap ayah, ibu, atau sanak keluarga lain dalam garis ke atas tanpa disertai kekerasan, tidaklah cukup untuk pembatalan perjanjian.

Ketentuan Pasal 1326 KUH Perdata tersebut menegaskan bahwa untuk dapat dibatalkannya suatu perjanjian tidak cukup hanya berupa ancaman saja, melainkan harus ada rasa takut yang disertai kekerasan, baik kekerasan secara fisik maupun psikologis.

4. Pasal 1327 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
  • Pembatalan suatu perjanjian berdasarkan pembatalan tidak dapat dituntut lagi, bila setelah paksaan berhenti perjanjian itu dibenarkan, baik secara tegas maupun secara diam-diam, atau jika telah dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan oleh undang-undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya.

Lebih luas lagi dapat ditarik kesimpulan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, bahwa suatu paksaan atau ancaman yang dapat mengakibatkan dibatalkannya suatu perjanjian, harus berupa tindakan yang mempunyai sifat yang tidak dibenarkan oleh undang-undang.

Baca juga : Kecakapan Bertindak Dalam Perjanjian

Pitlo merumuskannya bahwa paksaan, yang tidak dibenarkan oleh hukum, dalam membuat perjanjian terjadi jika seseorang tersebut :
  • Melalui suatu sarana, yang tidak dibenarkan oleh undang-undang, berusaha mencapai tujuan yang tidak dibenarkan oleh undang-undang. Misalnya : mengancam akan dibunuh jika tidak menandatangani suatu perjanjian.
  • Melalui sarana yang dibenarkan oleh undang-undang berusaha untuk mencapai tujuan yang tidak dibenarkan oleh undang-undang. Misalnya : mengancam akan melaporkan tindakan kejahatan yang pernah dilakukan ke pihak kepolisian, apabila seseorang tidak mau menandatangani suatu perjanjian, di mana isi perjanjian tersebut suatu hal yang tidak pernah dilakukannya, seperti menandatangani surat hutang.
  • Melalui sarana yang tidak dibenarkan oleh undang undang-undang untuk mencapai tujuan yang dibenarkan oleh undang-undang. Misalnya : mengancam akan dibunuh apabila seseorang tidak mau menandatangani suatu perjanjian yang berisi pembayaran sejumlah bunga tertentu atas hutang yang ia pernah terima.

Baca juga : Dapatkah Perkara Perdata Diproses Menjadi Perkara Pidana ?

Dari batasan paksaan tersebut, terdapat jenis paksaan yang tidak mengakibatkan cacatnya suatu perjanjian, yaitu paksaan atau tekanan yang dibenarkan oleh undang-undang. Akan tetapi, jika sarana yang dibenarkan oleh undang-undang tersebut dipakai sebagai sarana pemaksa untuk mencapai tujuan yang tidak dibenarkan oleh undang-undang, maka sarana tersebut menjadi onrechtmatige.

Demikian penjelasan berkaitan dengan paksaan (dwang) dalam terjadinya suatu perjanjian.

Semoga bermanfaat.