Kartu kredit dapat diartikan sebagai suatu kartu yang umumnya dibuat dari bahan plastik, dengan dibubuhkan identitas dari pemegang dan penerbitnya, yang memberikan hak terhadap siapa kartu kredit diisukan untuk menandatangani tanda pelunasan pembayaran harga dari jasa atau barang yang dibeli di tempat-tempat tertentu, seperti toko, hotel, restoran, dan lain-lain, selanjutnya membebankan kewajiban kepada pihak penerbit kartu kredit untuk melunasi harga barang atau jasa tersebut ketika ditagih oleh pihak penjual barang atau jasa, dan kemudian kepada pihak penerbitnya diberikan hak untuk menagih kembali pelunasan harga tersebut dari pihak pemegang kartu kredit ditambah dengan biaya-biaya lainnya, seperti bunga, biaya tahunan, uang pangkal, denda, dan lain sebagainya.
gambar : creditcard-revolution.com |
A. Dasar Hukum Kartu Kredit.
Dasar hukum atas legalisasi pelaksanaan kegiatan kartu kredit di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian Antara Para Pihak Sebagai Dasar Hukum.
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyebutkan bahwa :
- setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut dikenal sebagai asas kebebasan berkontrak. Dengan berlandaskan ketentuan tersebut, maka asal perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, baik secara lisan maupun tertulis, yang terlibat dalam kegiatan kartu kredit, akan berlaku dan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak tersebut.
Dengan demikian pula, secara mutatis mutandis, pasal-pasal tentang perikatan dalam buku ketiga KUH Perdata berlaku terhadap perjanjian-perjanjian yang berkenaan dengan kartu kredit.
2. Perundang-undangan Sebagai Dasar Hukum.
Berbagai perundang-undangan yang dengan tegas menyebut dan memberi landasan hukum terhadap penerbitan dan pengoperasian kartu kredit adalah :
a. Keputusan Presiden Nomor : 61 Tahun 1988.
Dalam Keputusan Presiden Nomor : 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan :
a. Keputusan Presiden Nomor : 61 Tahun 1988.
Dalam Keputusan Presiden Nomor : 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan :
- ketentuan Pasal 1 Ayat (7) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perusahaan Kartu Kredit adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam rangka pembelian barang atau jasa dengan mempergunakan kartu kredit.
- ketentuan Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dari lembaga pembiayaan adalah melakukan usaha kartu kredit.
- ketentuan Pasal 3 menyebutkan bahwa yang dapat melakukan kegiatan lembaga pembiayaan tersebut, termasuk kegiatan kartu kredit adalah Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank (sekarang sudah tidak ada lagi dalam sistem hukum keuangan di Indonesia), dan Perusahaan pembiayaan.
b. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1251/KMK.013/1988.
Dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan :
- ketentuan Pasal 2 menyebutkan bahwa salah satu dari kegiatan lembaga pembiayaan adalah usaha kartu kredit.
- ketentuan Pasal 7 menyebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan kartu kredit dilakukan dengan cara penerbitan kartu kredit yang dapat dipergunakan oleh pemegangnya untuk pembayaran pengadaan barang atau jasa.
c. Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998.
Dalam Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998 entang Perbankan Nasional, yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor : 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dijelaskan bahwa sejauh yang berhubungan dengan perbankan, maka kegiatan yang berkenaan dengan kartu kredit mendapat legitimasi. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa salah satu kegiatan bank adalah melakukan usaha kartu kredit.
d. Berbagai peraturan perbankan lainnya.
Berbagai peraturan perbankan lain, seperti :
- Peraturan Bank Indonesia, Nomor : 14/2/PBI/2012, tanggal 6 Januari 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor : 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.
Baca juga : Hak Dan Kewajiban Para Pihak Yang Terlibat Dalam Kartu Kredit
B. Karakteristik Yuridis Kartu Kredit.
Ditinjau dari segi yuridis, kartu kredit mempunyai karakteristik yurisdis tertentu, yang berbeda dengan alat pembayaran lainnya, seperti cek, wesel, atau uang tunai. Karakteristik yuridis kartu kredit dapat ditinjau dari :
1. Dalam hubungan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Dalam hubungannya dengan KUH Perdata, bagaimanakah sifat dari perjanjian yang ada sangkut pautnya dengan suatu kartu kredit ? Dari segi hukum, perjanjian yang terjadi antara para pihak yang terlibat dalam pengeluaran dan pemakaian kartu kredit, dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu :
- Perjanjian penggunaan kartu kredit. Merupakan perjanjian tertulis atau tidak tertulis yang terjadi antara pihak yang terkait tersebut, pada galibnya dapat berbentuk perjanjian tiga pihak.
- Perjanjian penerbitan kartu kredit. Merupakan perjanjian antara pihak pemegang kartu kredit dengan pihak penerbitnya. Dalam hal ini terjadi perjanjian bilateral, bukan perjanjian segitiga.
2. Dalam hubungan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Dalam hubungannya dengan KUHD, apakah suatu kartu kredit dapat dikategorikan sebagai 'Surat Berharga' ? Dalam KUHD disebutkan adanya beberapa jenis surat berharga, seperti cek, wesel, aksep, dan sebagainya. Suatu surat berharga mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai berikut :
- Sebagai alat bayar (alat tukar pengganti uang).
- Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (dapat diperjualbelikan).
- Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi).
Ditinjau dari fungsi surat berharga tersebut di atas, ternyata kartu kredit dalam pengertian hukum tidak dapat dipandang (tidak termasuk) dalam suatu surat berharga. Sebab, kartu kredit hanya berfungsi sebagai alat pembayaran (pengganti uang kontan).
Baca juga : Pengertian Cyber Crime (Kejahatan Dunia Maya)
C. Modus Operandi Kejahatan Kartu Kredit.
Semakin maju dan berkembangnya teknologi, dibarengi juga dengan semakin canggihnya tindak kejahatan. Tidak terkecuali dengan kejahatan yang berhubungan dengan kartu kredit. Biasanya kejahatan yang berhubungan dengan kartu kredit adalah pemalsuan kartu kredit. Kejahatan seperti ini digolongkan sebagai kejahatan 'kerah putih' atau White Collar Crime, yaitu suatu kejahatan yang dilaksanakan oleh orang-orang intelek (orang berdasi).
Ciri-ciri dari kejahatan kartu kredit ini adalah mereka biasanya menggunakan modus operandi yang cukup canggih, sering dilakukan oleh suatu sindikat kejahatan, baik yang bersifat nasional, regional, bahkan juga sindikat internasional. Modus operandi dari pemalsuan kartu ini banyak macam ragamnya, antara lain sebagai berikut :
- Hilangnya kartu kredit (Lost/Stolen Card). Modus operandi dalam hal ini sederhana, pihak pemegang kartu kredit berpura-pura menyatakan kartu kreditnya hilang, dan dia minta dikeluarkan kartu kredit baru. Kecurangan dilakukan dengan masih menggunakan kartu lama, sebelum dapat dipantau sepenuhnya oleh pihak bank.
- Kartu kredit palsu (Counterfeit Card). Dalam hal ini dibuat kartu kredit palsu yang persis sama dengan kartu kredit yang asli. Lengkap dengan logo pihak penerbit dan magnetric stripe-nya. Kasus seperti ini biasanya melibatkan sindikat nasional, regional, maupun internasional. Jaringan sindikat tersebut mulai dari pembuatan kartu kredit palsu, pemberi informasi nomor kartu kredit palsu, pengedar kartu sampai dengan pemilik toko.
- Mengubah kartu kredit (Re-Embossed Card/Altered Card). Modus operandi dari perubahan kartu ini juga relatif simpel. Di mana kartu kredit yang sudah habis masa berlakunya diratakan nomor dan tanggal berakhirnya kartu tersebut. Selanjutnya ditimpa lagi dengan nomor dan tanggal baru.
- Pencetakan berulang-ulang (Record of Charge Pumping). Dalam hal ini tokonya yang nakal, di mana penjual barang atau jasa mencetak kartu kredit dari konsumennya pada lebih dari satu slip. Dan slip yang berlebihan itu kemudian diisi dengan transaksi fiktif.
- Kartu putih (White Plastic). Modus operandi ini juga dilakukan oleh penjual yang nakal. Penjual meniru relief nomor-nomor di permukaan kartu kredit pelanggannya. Kemudian berdasarkan relief tersebut dibuatlah kartu putih yang tidak diberi logo dan tanda-tanda visual lainnya, hanya dibubuhi nomor kartu yang ditiru tersebut dan dipasangi magnetic strip atas kartu putih tersebut.
- Pemecahan tagihan (Split Charge). Modus operandi seperti ini memerlukan kerja sama antara pemegang kartu dengan penjual barang atau jasa. Dalam hal ini slip pembayaran yang sebenarnya berisi harga yang besar dipecah menjadi beberapa slip sehingga menjadi kecil-kecil. Dengan demikian tidak terkena otorisasi. Karena itu pembeli dapat berbelanja jauh di atas batas maksimum di toko yang bersangkutan.
- Penyebaran pembelian (Spending Spread). Pemilik kartu kredit membeli dengan harga yang kecil-kecil di banyak toko, sehingga melebihi jumlah pembelian maksimum.
- Kartu kredit yang tidak diterima (Non-Received Card). Dalam hal ini kartu kredit tidak sampai ke tangan pemegangnya, dan dipergunakan oleh orang yang tidak berhak. Atau ketika ditagih, alamat yang sebenarnya tidak jelas atau alamat palsu.
- Kartu dari bocoran informasi (Solicited Card). Ada pihak-pihak dari penerbit atau karyawan penerbit, ataupun pihak yang dekat dengan pemegang kartu kredit yang membocorkan informasi tentang nomor dan kode kartu kredit kepada suatu sindikat pemalsu kartu kredit. Sehingga kartu kredit tersebut dapat dipalsukan.
- Kejahatan dalam pengiriman kartu (Mail order Fraud). Apabila kartu kredit dikirim dengan pos, maka kartu tersebut tidak sampai ke tangan pemegangnya. Biasanya pelakunya adalah orang dalam kantor pos tersebut.
Baca juga : Kriminologi Sebagai Dasar Dari Hukum Pidana
Demikian penjelasan berkaitan dengan dasar hukum, karakteristik yuridis, serta modus operandi kejahatan kartu kredit. Tulisan tersebut bersumber dari buku Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek, karangan Munir Fuady, SH, MH, LLM dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Semoga bermanfaat.