Asas-Asas Hukum Perjanjian

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak terlepas dari perjanjian, baik perjanjian tertulis atau tidak tertulis. Perjanjian yang dibuat pada dasarnya adalah untuk menjamin kepastian, menjamin hak dan kewajiban bagi pembuat perjanjian tersebut.

Dalam membuat suatu perjanjian, tidak akan lepas dari asas-asas suatu perjanjian, yang dalam hukum perjanjian (overeenkomstrecht) dikenal beberapa asas (asas-asas dalam hukum perjanjian), yaitu :
  1. Asas kebebasan berkontrak (beginsel der contract vrijheid).
  2. Asas hukum penambahan (aanvullendsrecht).
  3. Asas sistem terbuka (open systeem).
  4. Asas konsesual (sepakat).

Keempat asas tersebut dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berlaku di Indonesia.

Baca juga : Pengertian Serta Hubungan Antara Perjanjian, Persetujuan, Kontrak, Perikatan, Dan Kesepakatan

1. Asas kebebasan berkontrak (beginsel der contract vrijheid).
Asas kebebasan berkontrak dapat dilihat dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : 
  • Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut, mengandung  pengertian bahwa perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan mengikat bagi kedua belah pihak atau pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Pengertian itu disebut "pacta sunt servanda". Kekuatan berlakunya bagi pihak-pihak tersebut adalah dengan beberapa pembatasan, yaitu :
  • Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum.
  • Tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan.
  • Tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum memaksa (dwingendsrecht).


2. Asas penambahan (aanvullendsrecht).
Asas penambahan ini mengandung arti, bahwa secara prinsip menghendaki pihak-pihak yang membuat isi perjanjian harus secara lengkap dan sempurna tanpa mempunyai kekurangan. Akan tetapi apabila isi perjanjian yang dibuat tersebut terdapat kekurangan, maka kekurangan akan ditambah atau dilengkapi dari pasal-pasal undang-undang yang berlaku. Asas ini menunjukkan bahwa yang diutamakan dalam perjanjian itu, kehendak dan maksud kedua belah pihak secara bebas, dan jika dalam isi perjanjian yang dibuat tersebut terdapat kekurangan, maka akan ditambah atau dilengkapi dari aturan yang termuat dalam pasal-pasal yang terdapat pada buku III KUH Perdata. 

Jadi dapat dilihat, bahwa buku III KUH Perdata bersifat sebagai hukum penambah (aanvullendsrecht) dari perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak tersebut. Contoh dari hukum penambah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah ketentuan mengenai syarat batal suatu perikatan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal pasal 1266 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
  1. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
  2. Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
  3. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.
  4. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim adalah leluasa untuk, menuntut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.


3. Asas terbuka (open systeem).
Maksud sistem terbuka ini adalah dalam membuat perjanjian, diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak untuk menentukan isi perjanjian dan hukum apa yang akan dipergunakan demi kebebasan asasi setiap orang, yang dijamin oleh hukum. Asas terbuka suatu perjanjian, selain terdapat dalam ketentuan pasal 1338 KUH Perdata, juga terdapat dalam ketentuan pasal 1339 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
  • Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Setiap orang tidak dapat dipaksa oleh siapapun dan ia bebas menciptakan keadilan dan kepatutan menurut kehendak pihak-pihak tersebut secara bersama-sama. Kalau para pihak telah bersepakat secara terbuka dalam memberlakukan hukum yang disepakatinya, maka perjanjian itu mengikat seperti undang-undang bagi pihak-pihak yang bersepakat tersebut. Sebagaimana yang ditegaskan dalam ketentuan pasal 1338 dan pasal 1339 KUH Perdata.


4. Asas konsensual (sepakat).
Asas konsensual ini secara prinsip terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian, yang menyebutkan bahwa: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :
  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
  3. suatu hal tertentu.
  4. suatu sebab yang halal.

Maksud dari asas konsensual adalah bahwa dalam perjanjian yang dibuat haruslah berdasarkan kesepakatan para pihak. Secara tegas bahwa para pihak telah menyetujui adanya perjanjian itu dengan suatu konsensus, baik secara lisan maupun secara tertulis. Kalau para pihak telah saling mempercayai, maka konsensus tersebut cukup dengan lisan, tetapi untuk lebih memperkuat konsensus (kesepakatan) hendaknya dibuat secara tertulis ataupun dengan suatu akta, baik akta bawah tangan maupun akta otentik (akta notaris). 


Jadi dalam membuat suatu perjanjian, kita mesti memperhatikan keempat asas perjanjian tersebut, dengan demikian akan dihasilkan suatu perjanjian yang tidak merugikan salah satu pihak pembuat perjanjian.

Demikian penjelasan berkaitan dengan asas-asas hukum perjanjian.

Semoga bermanfaat.