Kekhilafan terjadi, apabila seseorang pada waktu membuat perjanjian dipengaruhi oleh kesan atau pandangan yang keliru. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, sehingga seandainya orang tersebut tidak khilaf menganai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
Baca juga : Kekhilafan Atau Kesesatan/Kekeliruan (Dwaling)
Kekhilafan yang demikian itu, merupakan alasan bagi orang yang khilaf untuk minta pembatalan perjanjian.
Pembatalan Perjanjian Berdasarkan Kekhilafan (Dwaling). Pembatalan perjanjian berdasarkan kekhilafan (dwaling) hanya mungkin dalam 2 hal, yaitu :
- Apabila kekhilafan terjadi mengenai hakekat barang (obyek hukum) yang menjadi pokok perjanjian. Misalnya, membeli barang yang disangkanya antik, tapi ternyata bukan. Sehubungan dengan syarat, bahwa kekhilafan itu harus mengenai hakekat dari barangnya, maka perlu dijelaskan apakah yang dimaksud dengan perkataan tersebut. Hakekat barang adalah sifat-sifat/ciri-ciri dari batangnya yang bagi para pihak merupakan alasan dibuatnya perjanjian yang menyangkut barang tersebut. Sedangkan menurut Hoge Raad, hakekat barang adalah keadaan dari barangnya yang menjadi dasar dibuatnya perikatan oleh para pihak.
- Apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya (subyek hukum) dalam perjanjian yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut. Misalnya, mengadakan perjanjian dengan seseorang yang dikiranya penyanyi terkenal, tetapi bukan.
Baca juga : Kekhilafan Atau Kesesatan/Kekeliruan (Dwaling)
Kekhilafan yang demikian itu, merupakan alasan bagi orang yang khilaf untuk minta pembatalan perjanjian.
Kekhilafan dapat berupa :
- Kekhilafan dalam motif. Motif merupakan faktor pertama yang menimbulkan suatu kehendak. Hukum pada asasnya tidak memperhatikan motif seseorang.
- Kekhilafan semu. Terjadi apabila kehendak dan pernyataan kehendak tidaklah sama.
- Kesesatan yang sebenarnya. Terjadi apabila kehendak dan pernyataan kehendak sama.
Baca juga : Kekhilafan/Kesesatan (Dwaling) Dan Wanprestasi
Untuk menilai bahwa suatu tindakan merupakan kekhilafan, dapat digunakan dua pendapat yang sekaligus menjadi ukuran, yaitu :
Baca juga : Kekhilafan (Dwaling) Mengenai Sifat Hakekat Bendanya
Untuk menggugat berdasarkan kekhilafan (dwaling) harus memenuhi dua syarat, yaitu :
Untuk menilai bahwa suatu tindakan merupakan kekhilafan, dapat digunakan dua pendapat yang sekaligus menjadi ukuran, yaitu :
- Teori obyektif (ukuran obyektif). Dikatakan teori obyektif karena yang menjadi ukuran adalah pendapat umum masyarakat mengenai ciri dari benda yang dipakai sebagai obyek perjanjian. Menurut teori ini, suatu ciri adalah ciri essensiil, bila tidak adanya ciri tersebut menjadikan benda yang bersangkutan menjadi benda yang lain. Pencetus teori ini adalah von Savigny. Sehingga berdasarkan teori ini, sudah cukup terpenuhi adanya kekhilafan mengenai hakekat bendanya, kalau yang khilaf adalah salah satu pihak saja.
- Teori subyektif (ukuran subyektif). Teori ini mengatakan bahwa suatu ciri adalah ciri yang essensiil, kalau kedua pihak yang mengadakan perjanjian tertuju pada ciri tersebut.
Baca juga : Kekhilafan (Dwaling) Mengenai Sifat Hakekat Bendanya
Untuk menggugat berdasarkan kekhilafan (dwaling) harus memenuhi dua syarat, yaitu :
- Pihak lawan mengetahui atau seharusnya mengetahui, bahwa ia justru melakukan perbuatan itu berdasarkan ciri-ciri dan keadaan yang keliru tersebut.
- Dengan memperhatikan semua keadaan, pihak yang melakukan kekhilafan tersebut selayaknya dapat dan boleh membuat kekeliruan itu.
Baca juga : Akibat Dari Adanya Kekhilafan/Kesesatan (Dwaling)
Pasal 1321 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
- Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Pasal 1322 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
- Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian.
Baca juga : Dapatkah Perkara Perdata Diproses Menjadi Perkara Pidana ?
Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa dengan dari adanya kekhilafan mengakibatkan dapat dibatalkannya suatu perjanjian. Atau dengan kata lain, selama belum dibatalkannya perjanjian tersebut, maka perjanjian tersebut tetap berlaku dan mengikat kedua belah pihak.
Demikian penjelasan berkaitan dengan pembatalan perjanjian berdasarkan kekhilafan (dwaling).
Semoga bermanfaat.