Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang laki-laki yang bernama Baruklinting. Karena dikutuk oleh seorang penyihir jahat, Baruklinting berubah menjadi seorang anak yang tubuhnya penuh luka, dan dari lukanya itu tercium bau yang sangat tajam dan amis. Karena luka-lukanya dan bau yang ditimbulkan luka-luka itu, menyebabkan tidak ada seorangpun yang mau dekat dan berteman dengannya.
Dalam suatu perjalanannya Baruklinting sampai di sebuah desa yang makmur, ia melihat banyak anak di desa itu sedang bermain. Ia ingin sekali ikut bermain dengan anak-anak desa tersebut, namun anak-anak itu menolaknya malah mereka memaki, mengejek, dan mengusir Baruklinting. Dengan sedih Baruklinting meninggalkan anak-anak desa itu, dalam perjalanan selanjutnya Baruklinting merasa sangat lapar, iapun mendatangi satu rumah dan meminta makanan, bukannya diberi makanan, ia malah dimaki-maki dan diusir, begitu terus yang terjadi ketika ia meminta makanan dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Hingga suatu hari Baruklinting bertemu dengan seorang nenek yang bernama Nyai Latung, ia mau memberi makan Baruklinting, dan memberikan tempat istirahat untuk Baruklinting.
Setelah selesai makan dan cukup beristirahat, Baruklinting-pun berterima kasih dan pamit kepada Nyai Latung, sambil berkata : "Nyai, kalau nanti Nyai mendengar suara kentongan, Nyai harus segera naik ke atas lesung (tempat untuk menumbuk padi) ya !". Nyai Latung mengiyakan perkataan itu, walaupun sebenarnya ia tidak tau apa maksud dari perkataan Baruklinting tersebut. Saat Nyai Latung hendak menanyakan maksud perkataan itu, Baruklinting sudah pergi meninggalkan gubugnya.
Baca juga : Lutung Kasarung, Hikayat Monyet Yang Tersesat
Baruklinting kembali menyusuri jalan desa. Di tengah perjalanan, Baruklinting kembali bertemu dengan anak-anak desa yang sering memaki-maki dan menghinanya. Seperti biasanya, anak-anak desa itupun langsung memaki dan mengusir Baruklinting dengan kata-kata kasar. Akhirnya kesabaran Baruklinting pun habis, ia tidak terima dengan perlakuan anak-anak desa itu. Dengan marah ia menancapkan sebatang lidi yang ditemukan disekitar situ, sambil mengeluarkan sumpah, "Kalau ada yang bisa mencabut lidi ini, maka aku akan pergi meninggalkan desa ini". Anak-anak yang mendengar sumpah Baruklinting tersebut menertawakannya. Mereka berpikir, apa susahnya mencabut lidi yang terancap di tanah itu. Kemudian salah seorang dari anak-anak itu maju ke depan untuk mencabut lidi itu, ternyata ia tidak bisa mencabut lidi itu dari tanah. Semakin ia berusaha, semakain ia mengeluarkan banyak tenaga, lidi itupun semakin kuat tertancap di tanah. Mereka semua pada heran, karena penasaran satu persatu dari anak-anak itu maju untuk mencoba mencabut lidi itu, tapi semuanya gagal, tidak ada satu anakpun yang sanggup mencabut lidi itu dari tanah. Berita itupun menyebar ke seluruh desa, banyak warga desa berdatangan ingin mencoba mencabut lidi tersebut. Mulai dari anak-anak sampai orang tua mencoba berusaha untuk mencabut lidi itu dari tanah, tapi semuanya gagal, lidi itu tidak bisa tercabut dari tanah.
Baca juga : Hikayat Dewi Sri
Karena sudah tidak ada lagi warga desa yang mau mencoba mencabut lidi itu, akhirnya Baruklinting sendiri yang mencabutnya, karena hanya memang ia yang mampu untuk mencabut lidi itu dari tanah. Karena kesaktian Baruklinting, bersamaan dengan tercabutnya lidi dari tanah, maka keluarlah air dari tanah bekas lidi itu menancap. Semakin lama air yang keluar dari tanah tempat lidi itu menancap semakin besar dan deras. Penduduk desa itu berusaha untuk menghentikannya, tapi semakin mereka menutup tanah sumber keluarnya air itu maka lobang bekas lidi itu menancap semakin besar, dan air yang keluar semakin kuat dan deras. Akhirnya banjir bandang tak terelakan membanjiri desa itu. Warga desa itu serentak membunyikan kentongan untuk memberitahukan warga yang lain untuk menyelamatkan diri, tapi semuanya sudah terlambat, seluruh warga desa yang angkuh dan kikir itu semuanya tewas tenggelam dalam banjir yang semakin luas menutup seluruh wilayah desa yang makmur itu. Sementara Nyai Latung, begitu mendengan suara kentongan, ia teringat perkataan dari Baruklinting, segera ia menaiki lesung yang ada disamping gubugnya. Nyai Latung pun menjadi satu-satunya warga desa itu yang selamat. Dan Baruklinting sendiri, setelah air banjir semakin besar, iapun merubah wujud dirinya menjadi seekor ular besar, yang setia menjaga desa yang telah menjadi danau atau rawa tersebut.
Cerita tentang kejadian inipun diceritakan oleh Nyai Latung kepada para penduduk desa-desa tetangga desanya. Begitulah cerita dari Nyai Latung itu menyebar, dan diceritakan secara turun temurun, dari generasi ke generasi hingga menjadi cerita yang melegenda, terutama bagi masyarakat sekitar danau Rawa Pening.
Demikianlah akhir dari hikayat terbentuknya Rawa Pening.
Rawa Pening adalah sebuah danau seluas lebih kurang 2.600-an hektar, yang wilayahnya mencakup empat kecamatan, yaitu Kecamatan Tuntang, Kecamatan Bawen, Kecamatan Ambarawa, dan Kecamatan Banyubiru, yang semuanya termasuk di dalam wilayah Kabupaten Semarang. Kalau suatu ketika anda bepergian dari Semarang menuju Surakarta, maka Rawa Pening akan terhampar di sebelah kanan jalan saat anda memasuki Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang.
Saat ini Rawa Pening menjadi penopang kehidupan masyarakat di sekitar danau tersebut. Dari nelayan, petani, pedagang, sampai pengrajin kerajinan tangan. Banyaknya tanaman enceng gondok di Rawa Pening memunculkan kelompok-kelompok perajin enceng gondok disekitar Rawa Pening. Dari sektor wisata, Rawa Pening juga menyajikan wisata air. Jika anda melakukan perjalanan antara Ambarawa - Salatiga lewat jalur banyubiru, anda akan menemui tempat wisata dipinggir Rawa Pening yang dikenal dengan nama Bukit Cinta. Disitu anda bisa sekadar duduk-duduk sambil ngobrol atau bisa juga berperahu di Rawa Pening. Kalau anda bosan, anda bisa jalan-jalan ke Musium Kereta Api yang ada di Ambarawa, Musium Kereta Api pertama yang pernah ada di Indonesia.
Baca juga : Hikayat Ken Dedes Sang Permaisuri Pertama Kerajaan Singosari
Jadi, sempatkanlah mampir ke Rawa Pening apabila anda kebetulan lewat, anda akan banyak mendengar cerita mistis tentang Rawa Pening.
Semoga bermanfaat.
Rawa Pening adalah sebuah danau seluas lebih kurang 2.600-an hektar, yang wilayahnya mencakup empat kecamatan, yaitu Kecamatan Tuntang, Kecamatan Bawen, Kecamatan Ambarawa, dan Kecamatan Banyubiru, yang semuanya termasuk di dalam wilayah Kabupaten Semarang. Kalau suatu ketika anda bepergian dari Semarang menuju Surakarta, maka Rawa Pening akan terhampar di sebelah kanan jalan saat anda memasuki Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang.
Baca juga : Hikayat Ken Dedes Sang Permaisuri Pertama Kerajaan Singosari
Jadi, sempatkanlah mampir ke Rawa Pening apabila anda kebetulan lewat, anda akan banyak mendengar cerita mistis tentang Rawa Pening.
Semoga bermanfaat.