Sumber Dan Asas Hukum Acara Perdata Di Indonesia

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Hukum Acara Perdata atau disebut juga sebagai hukum perdata formil merupakan semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil. Sudikno Mertokusumo, dalam "Hukum Acara Perdata Indonesia", menyebutkan bahwa hukum acara perdata sebagai peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. 

Lapangan keperdataan
memuat peraturan-peraturan tentang keadaan hukum dan perhubungan hukum yang mengenai kepentingan-kepentingan perseorangan, yang meliputi perkawinan, jual beli, sewa menyewa, warisan, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan perkara perdata adalah perkara mengenai perselisihan antara kepentingan perseorangan atau antara kepentingan suatu badan pemerintah dengan kepentingan perseorangan, misalnya perselisihan tentang perjanjian jual beli atau sewa menyewa, pembagian warisan, dan lain sebagainya.

Dalam hukum acara perdata, pihak (orang) yang merasa bahwa haknya dilanggar disebut sebagai penggugat, sedang bagi pihak (orang) yang ditarik kemuka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak pihak lain (seseorang atau beberapa orang ) disebut sebagai tergugat.


Sumber Hukum Acara Perdata. Hukum acara perdata di Indonesia sampai dengan saat ini masih berpedoman atau bersumber pada hukum acara perdata kolonial Belanda. Yang dimaksud dengan sumber hukum acara perdata adalah tempat di mana dapat ditemukannya ketentuan-ketentuan hukum acara perdata. Pengaturan hukum acara perdata di Indonesia masih tersebar di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Secara umum, hukum acara perdata di Indonesia bersumber pada tiga kodifikasi hukum, yaitu :
  • HIR (Herziene Inlandsch/Indonesche Reglement) atau sering diterjemahkan dengan RIB (Reglemen Indonesia yang Diperbaharui), Stb. 1848 Nomor : 16 jo. Stb. 1941 Nomor : 44, yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura.
  • RBg (Rechts-reglement Buitengewesten), Stb. 1927 Nomor : 227, yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura.
  • Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) atau sering disebut dengan Reglemen Hukum Acara Perdata untuk Golongan Eropa, Stb. 1847 Nomor : 52 dan Stb. 1849 Nomor : 63.


Asas Hukum Acara Perdata. Terdapat beberapa asas dalam hukum acara perdata, yaitu :

1. Iudex no procedat ex officio (hakim bersifat menunggu).
Dalam asas ini ditentukan bahwa gugatan perdata dalam tingkat pertama yang pemeriksaannya menjadi wewenang pengadilan negeri diajukan oleh penggugat atau oleh seorang kuasanya. Hakim bersifat menunggu, maksudnya adalah inisiatif pengajuan gugatan berasal dari penggugat, hakim (pengadilan) hanya menunggu diajukannya tuntutan hak oleh penggugat. Yang mengajukan tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan. Apabila tidak ada pengajuan gugatan atau tuntutan hak, maka tidak ada hakim. Dengan kata lain, hakim baru akan bekerja setelah tuntutan diajukan kepadanya. Apabila tuntutan atau perkara diajukan kepadanya, maka hakim atau pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, dengan alasan bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.

Asas Iudex no procedat ex officio dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 118 HIR, Pasal 142 RBg, dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Lijdelijkeheid van rechter (hakim bersifat pasif).
Menurut asas ini, dalam memeriksa suatu perkara perdata, hakim bersikap pasif. Maksud dari asas ini adalah bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Asas lijdelijkeheid van rechter atau hakim bersifat pasif, mengandung beberapa makna, diantaranya adalah :
  • inisiatif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak pernah dilakukan oleh hakim.
  • hakim wajib mengadili seluruh tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (Pasal 178 HIR dan Pasal 189 RBg).
  • hakim mengejar kebenaran formil, kebenaran yang hanya didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus disertai keyakinan hakim.
  • para pihak yang berperkara bebas pula untuk mengajukan atau untuk tidak mengajukan upaya hukum, bahkan untuk mengakhiri perkara di pengadilan dengan perdamaian.

3. 0penbaarheid van rechtspraak (persidangan terbuka untuk umum).
Asas ini dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa :

(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

Asas openbaarheid van rechtspraak atau persidangan terbuka untuk umum, mengandung makna bahwa :
  • masyarakat secara umum dapat hadir dalam persidangan, mendengarkan dan menyaksikan jalannya persidangan, kecuali ditentukan lain oleh undang undang dan persidangan dinyatakan dilakukan dengan pintu tertutup.

Secara formal asas ini membuka kesempatan adanya “sosial kontrol”, yang bertujuan :
  • untuk menjamin peradilan yang tidak memihak, adil, obyektif, berproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • untuk memberi perlindungan hak hak asasi manusia di bidang peradilan, sehingga terjadi pemeriksaan
  • yang fair dan obyektif dan didapat putusan yang obyektif.

Sebagai akibat dari asas ini, maka putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan pengadilan tidak sah dan batal demi hukum apabila tidak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umuum (Pasal 13 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009).

4. Audi et alteram partem.
Asas ini menentukan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Maksud dari asas ini adalah :
  • pengadilan harus memperlakukan kedua belah pihak sama, memberi kesempatan yang sama kepada para pihak untuk memberi pendapatnya, dan tidak memihak.
  • pengadilan tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.

Asas audi et alteram partem dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 121 dan 132 HIR, Pasal 145 dan 157 RBg, serta Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 48 tahun 2009.

5. Motivering plicht-voeldoende gemotiveerd (putusan harus disertai alasan).
Asas ini menentukan bahwa setiap putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam suatu pengadilan harus disertai dengan alasan. Alasan tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim atas putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, ilmu hukum sehingga mempunyai nilai obyektif. Kewajiban mencantumkan alasan dalam setiap keputusan yang dijatuhkan oleh hakim ditentukan dalam ketentuan Pasal 184 HIR, Pasal 195 RBg, Pasal 50 dan 53 Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009, serta Pasal 68A Undang-Undang Nomor : 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor : 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Ketentuan Pasal 68A Undang-Undang Nomor : 49 Tahun 2009, menentukan bahwa :

(1) Dalam memeriksa dan memutus harus bertanggungjawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.


6. Beracara dikenakan biaya.
Asas ini menentukan bahwa dalam beracara di pengadilan dikenakan biaya. Biaya perkara tersebut akan digunakan untuk biaya kepaniteraan, biaya panggilan, biaya pemberitahuan, biaya materai, dan lain sebagainya yang memang diperlukan, seperti biaya pemeriksaan setempat. Namun demikian, apabila pihak yang berperkara (penggugat atau tergugat) tidak mampu membayar perkara, maka dimungkinkan untuk berperkara secara “pro deo” atau berperkara secara cuma-cuma (Pasal 237 HIR dan Pasal 273 RBg).

Asas berperkara dikenakan biaya dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 121 ayat (4), 182 dan 183 HIR. Pasal 145 ayat (4), 192, dan 194 RBg, serta Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009.

7. Sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan mengandung makna sebagai berikut :
  • sederhana, maksudnya adalah acaranya jelas, mudah dipahami, dan tidak berbelit-belit.
  • cepat, maksudnya adalah proses atau jalannya peradilan dan proses penyelesaian perkara tidak berlarut larut.
  • biaya ringan, maksudnya adalah biaya yang dikeluarkan oleh para pihak dalam berperkara haruslah serendah mungkin sehingga dapat terjangkau.

Dengan demikian, asas ini menuntut bahwa dalam dalam mengadili suatu perkara, hakim harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan perkara dalam tempo yang tidak terlalu lama, sehingga biaya yang dikeluarkan oleh para pihak dalam berperkara dapat ditekan seringan mungkin. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009.

8. Bebas dari campur tangan pihak di luar pengadilan.
Dalam asas ini, hakim dituntut sungguh-sungguh mandiri, maksudnya adalah :
  • hakim mempunyai otonomi yang selalu harus dijaga agar proses peradilan berjalan menuju sasaran, yaitu peradilan yang obyektif, fair, jujur dan tidak memihak.
  • hakim tidak boleh terpengaruh oleh hal-hal di luar pengadilan, seperti pengaruh uang, pengaruh kekerabatan, pengaruh kekuasaan dan lain sebagainya.


Demikian penjelasan berkaitan dengan sumber dan asas hukum acara perdata di Indonesia.

Semoga bermanfaat.