Hukum Perdata Internasional : Hukum Antar Tata Hukum Serta Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Internasional

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Hukum Perdata Internasional merupakan keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang menentukan hukum perdata dari negara mana yang harus diterapkan pada suatu perkara yang berakar di dalam lebih dari satu negara. Menurut R.H. Graveson, Hukum Perdata Internasional berkaitan erat dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung fakta yang relevan yang berhubungan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena teritorialitasnya dapat menimbulkan permasalahan hukum sendiri atau hukum asing, untuk memutuskan memutuskan perkara atau menimbulkan masalah pelaksanaan yurisdiksi pengadilan sendiri atau asing.

Untuk lebih memahami Hukum Perdata Internasional, terlebih dahulu mesti memahami Hukum Antar Tata Hukum. Oleh karena Hukum Perdata Internasional merupakan Hukum Antar Tata Hukum yang bersifat ekstern.

Hukum Antar Tata Hukum. Hukum Antar Tata Hukum merupakan suatu studi mengenai berbagai sistem hukum dan tradisi hukum. Hukum Antar Tata Hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Hukum Antar Tata Hukum yang Bersifat Intern.
Hukum Antar Tata Hukum yang bersifat intern meliputi :
  • Hukum antar golongan (intergentil). Secara historis, Hindia Belanda (Indonesia) diatur oleh ketentuan pasal 131 IS dan 163 IS, yang mempertahankan dualisme hukum dan menetapkan pembedaan golongan, yaitu golongan pribumi, timur asing, dan eropa.
  • Hukum antar tempat. Di Indonesia dikenal beragam adat istiadat dan juga kekhususan atau keistimewaan daerah tertentu.
  • Hukum antar waktu. Di Indonesia, terdapat aturan hukum yang tumbuh, berkembang, dan hilang atau digantikan dengan aturan baru.
  • Hukum antar agama. Dalam konstitusi Indonesia mengakui adanya kebebasan beragama dan menganut kepercayaan. Hukum antar agama termasuk dalam hukum intergentil.

Beberapa asas yang berkembang dalam Hukum Antar Tata Hukum yang bersifat intern diantaranya adalah sebagai berikut :
  • pengakuan anak harus dilakukan menurut hukum orang yang mengakui.
  • warisan diatur oleh hukum dari orang yang meninggal atau pewaris.
  • hukum dari barang-barang yang dapat dipindahkan mengikuti orang yang bersangkutan.
  • hukum dari orang yang melakukan perbuatan melawan hukum digunakan pada perbuatan melawan hukum.
  • maksud dari para pihak menentukan hukum yang berlaku dalam hukum perjanjian.
  • miliu di mana dilangsungkannya perjanjian menentukan berlakunya hukum adat setempat.

Hukum Antar Tata Hukum yang bersifat intern mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
  • ruang berlakunya hukum pada tempat yang sama. 
  • daya berlaku hukum, yang meliputi waktu, person, dan soal (materi hukum) berbeda.
atau bisa juga ruang berlakunya hukum pada waktu dan tempatnya sama, tetapi daya berlaku hukum (person atau soal/materi hukum) berbeda. Seperti terjadi pada hukum antar golongan atau hukum antar agama. 

2. Hukum Antar Tata Hukum yang Bersifat Ekstern.
Hukun Antara Tata Hukum yang bersifat ekstern adalah Hukum Perdata Internasional. Menurut Martin Wolff,  hal tersebut karena Hukum Perdata Internasional lahir sebagai akibat adanya unsur asing dalam suatu peristiwa. Sedangkan persoalan yang muncul dalam Hukum Antar Tata Hukum yang bersifat ekstern, diantaranya adalah :
  • hakim mana yang berwenang untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi.
  • kaedah hukum mana yang akan diberlakukan.
  • bagaimana hakim nasional harus memperhatikan putusan hakim asing.

Hukum Antar Tata Hukum yang bersifat ekstern mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
  • ruang berlakunya hukum pada waktu yang sama. 
  • daya berlaku hukum, yang meliputi tempat, person, dan soal (materi hukum) berbeda.

Perkembangan Hukum Perdata Internasional. Hukum Perdata Internasional berkembang melalui beberapa tahapan, yaitu :

1. Masa Kekaisaran Romawi.
Pada masa Kekaisaran Romawi, pada abad ke-2 sampai 6 M, merupakan masa awal perkembangan Hukum Perdata Internasional. Pada masa ini pola hubungan internasional masih berwujud sederhana, tetapi sudah mulai tampak adanya hubungan antara :
  • warga Romawi dengan penduduk propinsi-propinsi yang menjadi bagian dari wilayah Kekaisaran Romawi, karena penduduk asli propinsi-propinsi tersebut dianggap sebagai orang asing dan tunduk pada hukum mereka sendiri.
  • penduduk propinsi yang berhubungan satu sama lain di dalam wilayah Kekaisaran Romawi, sehingga masing-masing pihak dapat dianggap sebagai subyek hukum dari beberapa yurisdiksi yang berbeda.

Perselisihan yang timbul di antara penduduk diselesaikan dalam suatu peradilan khusus yang disebut preator peregrines. Sedangkan hukum yang digunakan adalah Ius Civile, yaitu hukum yang berlaku bagi bangsa Romawi, yang sudah disesuaikan untuk kepentingan orang asing.

Asas-asas Hukum Perdata Internasional yang berkembang pada saat itu adalah :
  • asas Lex Rei Sitae atau Lex Situs, yaitu perkara-perkara yang menyangkut benda-benda tidak bergerak tunduk pada hukum dari tempat di mana benda itu berada/terletak.
  • asas Lex Domicilii, yaitu hak dan kewajiban perorangan harus diatur oleh hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.
  • asas Lex Loci Contractus, yaitu terhadap perjanjian-perjanjian, yang melibatkan para pihak warga dari propinsi yang berbeda, berlaku hukum dari tempat pembuatan perjanjian.

Ketiga asas tersebut saat ini menjadi asas penting dalam Hukum Perdata Internasional.

2. Masa Pertumbuhan Asas Personal.
Masa ini terjadi sekitar abad ke-6 sampai 10 M. Pada masa ini Ius Civile tidak berlaku lagi, oleh karena adanya penaklukkan Kekaisaran Romawi oleh bangsa 'barbar' dan penduduk wilayah bekas propinsi jajahan Kekaisaran Romawi. Hukum Romawi (Ius Civile) digantikan dengan hukum adat, hukum personal, hukum keluarga, dan hukum agama yang berbeda-beda. Pada masa ini, Hukum Perdata Internasional tidak memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas layaknya pada masa Kekaisaran Romawi. Prinsip-prinsip Hukum Perdata Internasional tumbuh berdasarkan asas genealogis, yaitu :
  • asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian sengketa hukum, hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak tergugat.
  • penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan berdasarkan hukum personal dari masing-masing pihak.
  • proses pewarisan harus dilakukan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris.
  • peralihan hak milik atas benda harus dilakukan sesuai dengan hukum personal pihak transferor.
  • penyelesaian perkara tentang perbuatan melanggar hukum harus dilakukan berdasarkan hukum personal dari pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum.
  • pengesahan suatu pernikahan harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak calon suami.

3. Masa Pertumbuhan Asas Teritorial.
Masa ini terjadi sekitar abad ke-11 dan 12 M. Asas teritorial dalam Hukum Perdata Internasional pertama kali berkembang di Italia. Pada masa ini, asas genealogis mulai kehilangan pengaruhnya. Hal tersebut diakibatkan karena struktur masyarakat di hampir seluruh daratan Eropa yang semakin condong ke arah masyarakat teritorialistik. Keaneka-ragaman sistem hukum lokal (kota-kota) didukung dengan intensitas perdagangan antar kota yang tinggi. Hal tersebut sering kali menimbulkan persoalan mengenai pengakuan terhadap hak asing di wilayah (kota) tertentu. Berangkat dari hal tersebutlah, maka kemudian muncul dan tumbuhnya teori Hukum Perdata Internasional yang disebut dengan teori statuta

4. Masa Pertumbuhan Teori Statuta.
Masa ini terjadi sekitar abad ke-13 sampai 15 M. Teori Statuta pertama kali dikemukakan oleh Accursius. Teori ini muncul karena pesatnya pertumbuhan kota-kota perdagangan di Italia, sehingga Hukum Perdata Internasional berperan penting dalam penyelesaian sengketa di antara para pihak.  Accursius sebagai peletak dasar teori statuta mengatakan bahwa : "bila seseorang yang berasal dari kota tertentu di Italia, digugat di sebuah kota lain, maka ia tidak dapat dituntut berdasarkan hukum dari kota lain itu, karena ia bukan subyek hukum dari kota lain tersebut".   

Dalam perjalanannya, teori statuta dikaji lebih lanjut dan dikembangkan oleh Bartolus de Sassoferato, yang dikenal sebagai "Bapak Hukum Perdata Internasional". Ia mengklasifikasikan teori statuta menjadi tiga kelompok, yaitu :
  • statuta personalia, yang obyek pengaturannya bersifat pribadi dan keluarga, serta bersifat ekstrateritorial.
  • statuta realia, yang obyek pengaturannya adalah benda dan statuta hukum dari benda dan berprinsip teritorial.
  • statuta mixta, yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan hukum berdasarkan prinsip teritorial.

5. Masa Pertumbuhan Teori Universal.
Masa ini terjadi pada abad ke-19. Teori Universal muncul berawal dari pemikiran seorang ahli hukum berkewarganegaraan Jerman, yaitu C.G. Von Wacher, yang mengkritik teori statuta Italia yang dianggapnya menimbulkan ketidak-pastian hukum, oleh karena sifat ektrateritorialnya yang mengakibatkan timbulnya kewajiban hukum di negara asing. Ia berasumsi bahwa :
  • hukum intern forum hanya dibuat untuk dan hanya diterapkan pada kasus-kasus hukum lokal saja. Karena itu kaidah perkara Hukum Perdata Internasional, forumlah yang harus menyediakan kaidah Hukum Perdata Internasional.
Selanjutnya C.G. Von Wacher berpendapat bahwa titik tolak penentuan hukum yang seharusnya diberlakukan dalam suatu perkara Hukum Perdata Internasional adalah hukum dari tempat yang merupakan tempat kedudukan dari dimulainya suatu hubungan hukum tertentu. Dengan demikian, lex fori (hukum di mana pengadilan berada) yang seharusnya diberlakukan sebagai hukum yang berwenang dalam perkara Hukum Perdata Internasional.

Pemikiran dari C.G. Von Wacher tersebut kemudian dikembangkan oleh Friedrich Carl Von Savigny, yang juga berkebangsaan Jerman, sehingga muncullah teori Hukum Perdata Internasional Universal. Ia berasumsi bahawa setiap jenis hubungan hukum dapat ditentukan tempat kedudukan hukumnya dengan melihat pada hakekat dari hubungan hukum tersebut. Friedrich Carl Von Savigny berpandangan bahwa :
  • untuk setiap jenis hubungan hukum, dapat ditentukan legal seat atau tempat kedudukan hukumnya dengan melihat hakekat dari hubungan tersebut.
  • jika orang hendak menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam suatu perkara yang terbit dari suatu hubungan hukum.
  • legal seat atau tempat kedudukan hukum harus ditetapkan terlebih dahulu dan caranya adalah dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dari  hubungan hukum itu melalui bantuan titik-titik taut.
  • jika tempat kedudukan hukum dari suatu jenis hubungan hukum telah dapat ditentukan, sistem hukum dari tempat itulah yang akan digunakan sebagai lex causae.
  • asas hukum itulah yang menjadi asas Hukum Perdata Internasional yang menurut pendekatan tradisional mengandung titik taut penentu yang harus digunakan dalam rangka menentukan lex causae.
  • menggunakan sebuat asas Hukum Perdata Internasional yang bersifat tetap untuk menyelesaikan berbagai perkara Hukum Perdata Internasional

Sehingga jika seseorang hendak menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam suatu perkara dalam suatu hubungan hukum, hakim berkewajiban untuk menentukan tempat kedudukan dari hubungan hukum itu dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum itu dengan bantuan titik-titik taut. 

Demikian penjelasan berkaitan dengan hukum perdata internasional : hukum antar tata hukum serta sejarah perkembangan hukum perdata internasional.

Semoga bermanfaat.