Asas praduga tidak bersalah, bisa diartikan sebagai prinsip di mana seseorang yang bermasalah dengan hukum harus diduga tidak bersalah sampai pengadilan menyatakan ia bersalah. Asas praduga tidak bersalah ini dianut oleh sistem hukum Indonesia, di mana ketentuan tentang asas praduga tidak bersalah diatur di dalam :
1. Penjelasan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAPidana) butir ke-3 huruf c, yang berbunyi :
- Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapakan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi :
- Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapakan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sedangkan M. Yahya Harahap, SH dalam bukunya yang berjudul 'Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan', dalam kaitannya dengan asas praduga tidak bersalah menyatakan :
- Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subyek, bukan obyek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi obyek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tidak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.
Sementara itu Prof. Andi Hamzah, mengatakan bahwa asas praduga tidak bersalah tidak bisa diartikan secara letterlijk (apa yang tertulis). Jika asas praduga tidak bersalah diartikan secara letterlijk, maka tugas kepolisian tidak akan bisa berjalan. Asas praduga tidak bersalah adalah hak-hak tersangka sebagai manusia diberikan.
Asas praduga tidak bersalah yang tercantum dan menguraikan prinsip-prinsip KUHAPidana tersebut sesungguhnya merupakan asas hukum yang dikembangkan untuk melindungi hak setiap orang dari kesewenang-wenangan kekuasaan, yaitu aparat negara dalam proses peradilan pidana. Asas praduga tidak bersalah juga merupakan salah satu penghormatan terhadap hak asasi manusia, dalam hal perlindungan terhadap hak-hak hukum tersangka. Sebagai contoh terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana, asas praduga tidak bersalah tetap melekat kepadanya.
Hanya saja, asas praduga tidak bersalah ini sering sekali disalah-gunakan oleh beberapa pihak, terutama oleh mereka yang mempunyai kekuasaan. Mereka cenderung menggunakan asas praduga tidak bersalah untuk melindungi diri dan kekuasaannya. Oleh karenanya, untuk mencegah penafsiran hukum yang berbeda terhadap asas tersebut, Kovenan memberikan solusi dengan memerinci luas lingkup atas tafsir hukum "hak untuk dianggap tidak bersalah" yang meliputi :
- hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan.
- hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan.
- hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda.
- hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan.
- hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu.
- hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawanan dengan yang bersangkutan.
- hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan.
- hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, asas praduga tidak bersalah sangat berkaitan dengan 'Miranda Rights' atau 'Miranda Rule', yaitu suatu aturan yang mengatur tentang hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana, sebelum diperiksa oleh penyidik atau instansi yang berwenang. Miranda Rights meliputi :
- Hak untuk diam, dan menolak untuk menjawab pertanyaan polisi atau yang menangkap sebelum diperiksa oleh penyidik.
- Hak untuk menghubungi penasehat hukum dan mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum yang bersangkutan.
- Hak untuk memilih sendiri penasehat hukum.
- Hak untuk disediakan penasehat hukum, jika tersangka tidak mampu menyediakan penasehat hukum sendiri.
Asas praduga tidak bersalah merupakan pegangan bagi para aparat penegak hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak dan mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap tersangka. Apakah dalam praktek asas praduga tidak bersalah ini sudah benar-benar diterapkan dengan baik ? Jawabannya pasti belum. Masih ada beberapa kasus yang justru tidak memperlihatkan adanya perlindungan terhadap tersangka, masih ada beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh 'oknum' penegak hukum dalam melakukan proses penegakan hukum.
Meskipun secara universal KUHAPidana Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah, tapi secara legal formal KUHAPidana juga menganut asas praduga bersalah. Hal tersebut dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 17 KUHAPidana yang menyebutkan :
- Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Ketentuan pasal tersebut di atas dapat diartikan bahwa untuk melakukan proses pidana terhadap seseorang berdasar diskriptif faktual dan bukti permulaan yang cukup, harus ada suatu praduga bahwa orang tersebut telah melakukan suatu perbuatan pidana yang dimaksudkan.
Semoga bermanfaat.