Non Compos Mentis Dalam Pasal 44 KUH Pidana : Tidak Mampu Bertanggung Jawab

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Orang yang tidak mampu bertanggung jawab dalam hukum pidana (non compos mentis) diatur dalam pasal  44 sampai dengan pasal 47 KUH Pidana. Pasal 44 KUH Pidana, berbunyi :

  1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.
  2. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
  3. Ketentuan tersebut dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Menurut ketentuan pasal 44 KUH Pidana tersebut, yang termasuk dalam kelompok orang yang tidak mampu bertanggung jawab dalam hukum pidana, dan oleh karenanya kepada mereka akan terbebas dari pidana adalah :
  • Orang yang jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (gebrekkige ontwikkeling). Maksudnya adalah seseorang yang sudah dewasa, tetapi perilakunya seperti anak-anak sebagai akibat dari keterlambatan pertumbuhan jiwa seseorang. Misalnya : idiot. 
  • Orang yang jiwanya terganggu karena penyakit (ziekelijke storing). Maksudnya adalah seseorang yang awalnya mempunyai jiwa yang sehat, tetapi karena sesuatu hal kemudian mengalami gangguan jiwa. Misalnya : gila.

Dasar dari perumusan ketentuan pasal 44 KUH Pidana tersebut adalah karena para pembuat undang-undang beranggapan bahwa pada asasnya setiap orang mampu bertanggung jawab, karena dianggap setiap orang mempunyai jiwa yang sehat. Oleh karena itulah dalam ketentuan pasal 44 KUH Pidana dirumuskan mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab. Dengan demikian pertanyaannya adalah siapakah orang yang dianggap mampu bertanggung jawab ? Pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan menggunakan penafsiran terbalik (redenering a contrario), bahwa orang yang mampu bertanggung jawab adalah orang yang tidak mempunyai keadaan sebagaimana disebutkan dalam pasal 44 KUH Pidana tersebut.

Selain dari apa yang disebutkan dalam pasal 44 KUH Pidana tersebut, masih terdapat lagi kelompok orang yang dianggap tidak mampu bertanggung jawab dalam hukum pidana, yaitu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 45 KUH Pidana yaitu mereka yang umurnya belum genap 16 tahun. Dalam hal demikian, hakim dapat memerintahkan untuk menyerahkan anak yang bersalah tersebut kepada pemerintah, seseorang tertentu, atau lembaga yang ditunjuk untu mendidik yang bersangkutan dalam waktu tertentu paling lama sampai umur anak tersebut mencapai 18 tahun. Ketentuan-ketentuan untuk itu akan ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 46 KUH Pidana).

Termasuk juga orang yang dianggap tidak mampu untuk bertanggung jawab sebagaimana ketentuan pasal 44 KUH Pidana tersebut adalah seseorang yang dihinggapi penyakit jiwa sementara atau kadang sehat kadang terganggu jiwanya (kumat-kumatan) dan seseorang yang mempunyai kelainan jiwa untuk melakukan hal-hal tertentu. Orang-orang dalam kelompok ini, apabila melakukan suatu tindak pidana pada saat penyakit jiwanya kambuh, maka bebas dari tuntutan pidana. Meskipun demikian masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hal tersebut diantara para ahli hukum pidana. Sebagian ahli hukum pidana sependapat dengan hal tersebut, sebagaian lainnya tidak sependapat (menolak). Dalam kondisi seperti itu, hakimlah yang akan menentukan apakah seseorang tersebut dianggap mampu bertanggung jawab atau tidak.

Yang termasuk orang yang mempunyai kelainan jiwa untuk melakukan hal-hal tertentu yang termasuk dalam ketentuan pasal 44 KUH Pidana adalah :
  • Kleptomania, yaitu orang yang mempunyai kelainan jiwa, untuk mencuri sesuatu barang tertentu tanpa disadarinya atau di luar kehendaknya. 
  • Pyromanie, yaitu orang yang mempunyai kelainan jiwa untuk melakukan suatu pembakaran, tanpa alasan dan tanpa kehendak sama sekali.
  • Nymphomanie, yaitu seorang laki-laki yang mempunyai kelainan jiwa untuk berbuat tidak layak apabila bertemu dengan seorang wanita.
  • Epilepsie atau penyakit ayan.
  • Insania moralis, yaitu orang yang mempunyai kelainan jiwa tertentu mengenai kesopanan atau kesusilaan.
Berkaitan dengan hal tersebut, hakim berdasarkan nasehat dari ahli kejiwaan akan memutuskan apakah seseorang yang mengindap kelainan jiwa tersebut di atas, telah memenuhi ketentuan pasal 44 KUH Pidana atau tidak. Nasehat dari ahli kejiwaan tersebut dapat berupa :
  • Benar tidaknya seseorang mempunyai kelainan jiwa seperti yang ditentukan dalam pasal 44 KUH Pidana tersebut.
  • Diagnosa atau analisa tentang tingkatan dari kemampuan bertanggung jawan dari penderita kelainan jiwa tersebut. 

Ketentuan pasal 44 KUH Pidana tersebut merupakan unsur terkait dari tindak pidana, maksudnya adalah ketentuan tersebut dengan sendirinya merupakan salah satu unsur dari setiap tindak pidana, akan tetapi mengenai pembuktiannya baru diadakan pada saat ada keragu-raguan tentang kesehatan jiwa  dari pelaku tindak pidana. 

Hubungan pasal 44 KUH Pidana dengan kesalahan (schuld) sebagai unsur dari suatu tindak pidana. Pada umumnya unsur kesalahan tidak ada atau lebih tepat ditiadakan pada seseorang yang ditentukan dalam ketentuan pasal 44 KUH Pidana tersebut. Ada atau tidak adanya kesalahan harus selalu dibuktikan. Jika seseorang pelaku tindak pidana diduga  mempunyai kelainan jiwa seperti tersebut dalam pasal 44 KUH Pidana, maka dalam rang pembuktian ada atau tidak adanya kesalahan padanya harus diadakan pemeriksaan atau penelitian terhadap keadaan jiwa pelaku tindak pidana. Jika dari hasil pemeriksaan, ternyata keadaan jiwa pelaku tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam pasal 44 KUH Pidana berarti dengan sendirinya kesalahan pelaku tindak pidana tidak ada atau ditiadakan. Hal tersebut berarti juga bahwa pidana kepadanya ditiadakan (geenstraf zonder schuld).

Semoga bermanfaat.