Sanksi adalah alat pemaksa agar seseorang menaati norma-norma yang berlaku. Sebagai contoh : sanksi terhadap pelanggaran norma keagamaan adalah pelanggarnya kelak akan mendapat siksa di neraka, sanksi terhadap pelanggaran norma kesusilaan adalah pelanggarnya akan dikucilkan dalam pergaulan masyarakat, sanksi terhadap pelanggaran norma kesopanan adalah pelanggarnya akan mendapat perlakuan yang tidak terhormat. Sanksi terhadap ketiga kelompok norma tersebut sepenuhnya tergantung kepada kesadaran perseorangan, sehingga fungsi sanksi sebagai alat pemaksa lebih banyak tergantung kepada kata hati nurani seseorang.
Bila seseorang tidak percaya kepada suatu ajaran agama, bertindak semaunya sendiri, dan tidak mempunyai kesopanan, maka ia tidak akan mempunyai rasa bersalah dan penyesalan terhadap perbuatan buruk yang telah ia lakukan dan ia tidak peduli apakah akan dianggap baik atau buruk oleh masyarakat. Akibat dari perbuatan-perbuatan seperti itu akan ada banyak kepentingan dalam pergaulan hidup di masyarakat yang kurang mendapatkan perlindungan. Atau bahkan akan saling berbenturan di antara kepentingan-kepentingan dalam masyarakat tersebut.
Oleh karenanya demi ketertiban umum, dirasakan perlu untuk diadakan kelompok norma lain, yaitu norma hukum. Pada norma hukum akan diadakan sanksi yang lebih mengikat sebagai alat pemaksa. Sedangkan pelaksana alat pemaksa itu diserahkan atau dapat diserahkan kepada penguasa.
Perbedaan yang utama tentang sanksi pada norma hukum dibandingkan dengan norma-norma yang lain adalah :
- Sanksi terhadap pelanggaran norma hukum diserahkan atau dapat diserahkan kepada pengasa, sedangkan terhadap norma-norma yang lain tidak.
- Sanksi terhadap pelanggaran norma hukum berupa hukuman yang bisa dengan segera dapat dirasakan oleh pelanggarnya, sedangkan terhadap norma-norma yang lainnya belum tentu dapat dirasakan oleh pelanggarnya.
1. Sanksi Terhadap Norma Hukum.
Hukum terbagi atas hukum publik dan hukum privat (perdata). Terhadap norma-norma hukum tersebut, kecuali mengenai ketentuan-ketentuan yang tidak ada hubungannya dengan tingkah laku manusia seperti pada hukum tata negara, akan selalu dikaitkan dengan sanksi tertentu. Misalkan, pada norma hukum administrasi dikaitkan dengan sanksi administrasi, pada norma hukum perdata dikaitkan sanksi ganti rugi, batalnya suatu perjanjian, dan lain-lain, sedangkan pada norma hukum pidana dikaitkan sanksi pidana berupa pidana mati, pidana penjara, dan lain sebagainya. Dengan demikian tugas sanksi adalah :
- Merupakan alat pemaksa atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh setiap orang.
- Merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum.
Sanksi dapat sekaligus merupakan alat preventif (mencegah), dan dalam hal telah terjadi pelanggaran norma, maka sanksi akan menjadi alat represif.
2. Sanksi Hukum Pidana.
Dengan adanya sanksi-sanksi terhadap norma-norma tersebut, diharapkan akan terjamin pentaatan terhadap norma-norma tersebut. Tetapi pada kenyataannya tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan. Pelanggaran terhadap norma-norma tersebut selalu ada. Oleh karena itu, pelanggaran yang dirasakan sebagai lebih bersifat merusak kepentingan umum, perlu diadakan sanksi yang lebih berat, yang disebut sanksi hukum pidana. Penentuan sanksi pidana didasarkan pada benar-benar diperlukan adanya alat pemaksa tertinggi (ultimum remedium) untuk menjamin suatu norma. Itulah sebabnya, hukum pidana sering disebut sebagai benteng dari hukum atau Het strafrecht is het citadel van het recht.
Sanksi pidana dalam perundang-undangan di Indonesia adalah :
- Pidana pokok, yang berupa pidana mati, penjara, kurungan, dan denda.
- Pidana tambahan, berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang, dan lain-lain.
- Tindakan perbaikan (maatregel), yaitu apabila anak dibawah umur melakukan suatu tindak pidana (tertentu), maka ia dapat dikembalikan kepada orang tuanya atau diserahkan kepada pemerintah untuk dididik paksa.
Bisa juga terhadap suatu norma hukum pidana dikaitkan dengan dua macam sanksi (sanksi ganda), di mana salah satu sanksi bukan merupakan sanksi pidana, seperti tercantum dalam pasal 284 KUH Pidana.
3. Cara Merumuskan Norma Dalam Hukum Pidana.
Terdapat tiga macam cara dalam merumuskan norma dalam hukum pidana, yaitu :
- Menentukan unsur-unsur dari suatu tindakan terlarang atau yang diharuskan. Cara ini lebih sering dijumpai dalam perumusan undang-undang. Misalkan, pasal 224 KUH Pidana tentang sanksi yang tidak memenuhi panggilan, pasal 281 KUH Pidana tentang pelanggaran kesusilaan.
- Menyebut nama atau kualifikasi dari tindakannya saja. Misalkan, pasal 352 KUH Pidana yang hanya menyebut "penganiayaan".
- Unsur dan namanya (kualifikasinya) sama-sama disebutkan. Misalkan, pasal 362 KUH Pidana di mana selain dari unsur-unsur disebutkan juga namanya yaitu "pencurian". Demikian juga dalam pasal 368 KUH Pidana tentang pemerasan, pasal 372 KUH Pidana tentang penggelapan, pasal 378 KUH Pidana tentang penipuan, dan lain sebagainya.
4. Cara Merumuskan Sanksi Dalam Hukum Pidana.
Pada umumnya terdapat dua macam cara dalam merumuskan sanksi dalam hukum pidana, cara tersebut adalah :
- Dalam KUH Pidana pada umumnya kepada tiap-tiap pasal, atau juga ayat-ayat dari suatu pasal, yang berisikan norma langsung diikuti dengan suatu sanksi.
- Dalam beberapa undang-undang hukum pidana lainnya, pada pasal-pasal awal ditentukan hanya norma-norma saja tanpa diikuti secara langsung dengan suatu sanksi pada pasal tersebut. Sanksi dicantumkan pada pasal-pasal akhir.
Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian sanksi.
Semoga bermanfaat.