Sultan Thaha Syaifuddin

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Sultan Thaha Syaifuddin, lahir di Jambi pada tahun 1816. Beliau merupakan putra dari Sultan Fahruddin, Sultan Thaha Syaifuddin dilahirkan di Keraton Tanah Pilih. Sejak kecil beliau telah dididik untuk menjadi seorang bangsawan yang rendah diri dan suka bergaulan dengan rakyat biasa. Maka tidak mengherankan apabila Sultan Thaha Syaifuddin sangat dicintai oleh rakyatnya. 

Sejak Sultan Thaha Syaifuddin diangkat menjadi Sultan Jambi pada tahun 1855, hubungan antara Kerajaan Jambi dan Belanda tidaklah seharmonis dibandingkan saat ayahnya menjadi sultan. Beliau menyadari bahwa kerja sama yang dibuat oleh sultan-sultan terdahulu hanya menguntungkan Belanda dan merugikan Kesultanan Jambi. Oleh karena itu, Sultan Thaha Syaifuddin tidak lagi mengakui adanya perjanjian-perjanjian kerja sama antara Kesultanan Jambi dan Belanda. Bahkan beliau mengumumkan pendiriannya, bahwa beliau tidak lagi mengakui kekuasaan Belanda di wilayah Kesultanan Jambi. 

Pendirian Sultan Thaha Syaifuddin tersebut membuat Belanda marah. Pada tanggal 25 September 1958, Belanda mengirimkan pasukan perangnya, yang terdiri dari tigapuluh kapal perang ke Muara Kumpeh untuk menyerang Kesultanan Jambi. Pertempuran sengit pun terjadi antara pasukan Kesultanan Jambi dan pasukan Belanda.  Serangan dari Sultan Thaha Syaifuddin tersebut berhasil membuat Belanda kewalahan, sehingga Belanda meminta bantuan dari pasukan Belanda yang berada di Aceh. Meskipun demikian, pasukan Belanda tetap mengalami kekakalahan.

Mengalami hal tersebut, Belanda pun melakukan berbagai siasat untuk dapat mengalahkan Sultan Thaha Syaifuddin, termasuk dengan melakukan siasat adu domba, Belanda berusaha mengangkat sultan baru dari kerabat kesultanan. Mula-mula Belanda hendak mengangkat Pangeran Ratu sebagai sultan baru di Kesultanan Jambi, tapi hal tersebut ditolak. Belanda tidak putus asa, akhirnya Belanda berhasil membujuk paman dari Sultan Thaha Syaifuddin, yaitu Panembahan Prabu untuk diangkat sebagai Sultan Jambi. Pada tanggal 2 Nopember 1859, Panembahan Prabu dinobatkan sebagai Sultan Jambi dengan gelar Ratu Akhmad Nazaruddin. 


Sultan Nazaruddin sangat mematuhi Belanda, ia memenuhi keinginan Belanda dengan menanda tangani perjanjian yang pada pokoknya berisi :
  • Kesultanan Jambi merupakan bagian dari jajahan Belanda.
  • Kasultanan Jambi harus tunduk dan setia kepada pemerintah Hindia Belanda.
  • Batas Kasultanan Jambi ditentukan oleh Belanda.
Sultan Thaha Syaifuddin yang mengetahui hal tersebut, tetap tidak mengakui pengangkatan Sultan Nazaruddin dan perjanjian yang dibuatnya. Dengan bantuan dan dukungan dari rakyat Jambi, Sultan Thaha Syaifuddin terus berjuang melawan Belanda. Perlawanan dari Sultan Thaha Syaifuddin dan pasukananya tersebut membuat Belanda kewalahan.

Pada tanggal 31 Juli 1901, pasukan bantuan dari Magelang datang di Surolangun. Kedatangan pasukan Belanda tersebut mendapat perlawanan sengit dari pasukan Sultan Thaha Syaifuddin. Pasukan Belanda berhasil mendesak pasukan Sultan Thaha Syaifuddin, benteng-benteng pertahanan yang dibangun oleh rakyat Jambi dihancurkan. Hal ini membuat posisi Sultan Thaha Syaifuddin semakin terjepit. 

Dengan berbagai tipu muslihat yang dilakukan, akhirnya pada tahun 1904, pasukan Belanda berhasil menyerbu markas Sultan Thaha Syaifuddin di Sungai Aro. Dalam penyerbuan ini, Sultan Thaha Syaifuddin berhasil meloloskan diri, tapi banyak pasukannya yang gugur termasuk dua orang panglima perangnya. 

Penyerangan pasukan Belanda ke Sungai Aro tersebut telah berhasil membuat pasukan Sultan Thaha Syaifuddin tercerai berai. Sehingga akhirnya perlawanan pasukan Sultan Thaha Syaifuddin beserta rakyat Jambi berakhir dengan wafatnya Sultan Thaha Syaifuddin pada tanggal 26 April 1904 di Muara Tebo. Selama perjuangannya dalam memerangi Belanda, Sultan Thaha Syaifuddin tidak pernah ditangkap Belanda. Beliau wafat dalam usia lanjut yaitu 88 tahun.

Atas jasa-jasanya dalam memerangi Belanda tersebut, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi Sultan Thaha Syaifuddin gelar sebagai Pahlawan Nasional, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 079/TK/1077, tanggal 24 Oktober 1977.

Semoga bermanfaat.