Dalam suatu proses persidangan hakim akan menjatuhkan keputusannya berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku dan atas dasar keyakinannya. Dalam melaksanakan persidangan, hakim dan para pihak yang terlibat di dalamnya terikat dengan ketentuan yang diatur dalam hukum acara, berupa proses pelaksanaan acara pidana.
Proses Pelaksanaan Acara Pidana. Proses pelaksanaan acara pidana terdiri dari tiga tingkatan, yaitu :
Proses Pelaksanaan Acara Pidana. Proses pelaksanaan acara pidana terdiri dari tiga tingkatan, yaitu :
- Pemeriksaan pendahuluan (vooronderzoek).
- Pemeriksaan dalam sidang pengadilan (eindonderzoek).
- Pelaksanaan hukuman (strafexecutie).
1. Pemerikasaan Pendahuluan (Vooronderzoek).
Pemeriksaan pendahuluan adalah suatu tindakan pengusutan dan penyelidikan apakah sesuatu sangkaan itu benar-benar beralasan atau mempunyai dasar-dasar yang dapat dibuktikan kebenarannya atau tidak. Dalam tingkat pemeriksaan ini diselidiki ketentuan padana apa yang dilanggar, dan diusahakan untuk menemukan siapa yang melakukannya dan siapakah saksi-saksinya.
Dalam pemeriksaan pendahuluan terdapat tiga pekerjaan yang harus dilakukan, yaitu :
- Pekerjaan pengusutan (opsporing), untuk mencari dan menyelidiki kejahatan dan pelanggaran yang terjadi.
- Penyelesaian pemeriksaan pendahuluan (nasporing), untuk meninjau secara yuridis, yaitu mengumpulkan bukti-bukti dan menetapkan ketentuan pidana apa yang dilanggar.
- Pekerjaan penuntutan (vervolging), yaitu pengajuan perkara ke sidang pengadilan oleh penuntut umum.
Asas yang digunakan dalam pemeriksaan pendahuluan adalah :
- Asas kebenaran materiil (kebenaran dan kenyataan), yaitu usaha-usaha yang ditujukan untuk mengetahui apakah benar-benar telah terjadi tindak pidana.
- Asas inkwisitor, yaitu bahwa si tersangka hanyalah merupakan obyek dalam pemeriksaan, tidak mempunyai hak apa-apa dan segala tindakan dilakukan dalam keadaan yang tidak terbuka untuk umum.
2. Pemeriksaan Dalam Sidang Pengadilan (Eindonderzoek).
Pemeriksaan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk :
- Meneliti dan menyaring apakah suatu tindak pidana itu benar atau tidak.
- Apakah bukti-bukti yang diajukan sah atau tidak.
- Apakah pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) yang dilanggar sesuai perumusannya dengan tindak pidana yang telah terjadi.
Pemeriksaan di muka sidang pengadilan bersifat akusator, yaitu terdakwa mempunyai kedudukan sebagai "pihak" yang sederajat menghadapi pihak lawan, yaitu Penuntut Umum, seolah-olah kedua pihak sedang "bersengketa" di muka hakim yang nantinya akan memutuskan "persengketaan" tersebut.
Pemeriksaan di muka sidang pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum, kecuali kalau peraturan menentukan lain.
Setelah pemeriksaan selesai Penuntut Umum (jaksa), membacakan tuntutan (requisitoir) dan menyerahkan tuntutan itu kepada hakim. Setelah hakim memperoleh keyakinan dengan alat-alat bukti yang sah akan kebenaran perkara-perkara tersebut, maka ia kan mempertimbangkan hukuman apa yang akan dijatuhkannya. Keputusan hakim (vonnis) dapat berupa :
- Pembebasan dari segala tuduhan, apabila sidang pengadilan menganggap bahwa perkara tersebut kurang cukup bukti.
- Pembebasan dari segala tuntutan, apabila perkara yang diajukan itu dapat dibuktikan akan tetapi tidak merupakan kejahatan maupun pelanggaran.
- Menjatuhkan pidana (hukuman), apabila tindak pidana itu dapat dibuktikan bahwa terdakwalah yang melakukan dan hakim mempunyai keyakinan akan kebenarannya.
3. Pelaksanaan Hukuman (Strafexecutie).
Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat harus dilaksanakan dengan segera oleh atau atas perintah jaksa (penuntut umum), dengan ketentuan :
- Oleh jaksa, jika keputusan itu mengenai hukuman denda atau hukuman perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu dari terhukum.
- Atas perintah jaksa, jika mengenai hukuman lainnya.
Demikian penjelasan berkaitan dengan pelaksanaan acara pidana. Tulisan tersebut bersumber dari buku Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, karangan Drs, C.S.T. Kansil, SH.
Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.