Calonarang merupakan salah satu cerita rakyat dari daerah Jawa dan Bali dengan latar belakang sejarah abad ke-12. Alkisah, Calonarang adalah sosok yang dimusuhi masyarakat. Ia adalah seorang janda dari desa Dirah, Bali. Ia dianggap mempunyai kekuatan yang mempu mengancam keselamatan orang banyak. Raja Erlangga, pemimpin yang terkenal di Bali mengutus Empu Barada, untuk menyingkirkan Calonarang.
gambar : indonesiakaya.com |
Kolaborasi dalam Bedaya Legong dalam lakon Calonarang merupakan penyatuan elemen tarian Jawa dan Bali secara fisik, namun tidak berusaha menyatukan gaya menari Jawa dan Bali menjadi sebuah tarian baru. Tarian ini dibawakan oleh sembilan penari Legong yang mengimbangi formasi Bedaya yang selalu terdiri dari sembilan penari perempuan. Saat para penari Legong masih berada di atas panggung, sembilan penari Bedaya muncul dari balik kegelapan. Hal ini menandai pergantian adegang sesuai alur cerita.
Semua penari Legong menggunakan kain bercorak kotak-kotak hitam dan putih yang menandakan baik dan buruknya kehidupan di dunia. Mereka juga dilengkapi aksesoris berupa sayap burung. Sementara, penari Bedaya menggunakan kain batik dan kemban beraksen hitam dan dilengkapi dengan senjata.
Musik menjadi unsur paling penting dalam pementasan tarian Bedaya Legong Calanarang. Kolaborasi gamelan Jawa dan gending Bali mengantarkan jalinan adegan demi adegang yang ditarikan dengan gaya dan karakter sangat berbeda.
Walaupun merupakan akar tarian klasik, tarian Bedaya dan Legong memiliki latar belakang budaya yang berlainan. Bedaya adalah tarian halus untuk perempuan dengan tata gerak penuh kelembutan. Hingga kini, Bedaya masih dilestarikan dalam tata cara upacara keagamaan keraton Yogyakarta dan Surakarta. Sementara Legong adalah tarian energik, ekspresif, anggun, dan bersemangat. Meskipun sering disebut Legong keraton, tarian ini lahir dan berkembang di luar puri dan berevolusi dari tarian penolah bala Sanghyang Dedari. (majalah Sekar)